Resensi Novel Ikan Kecil



Radar Madura, 16 Maret 2020


Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan

Judul               : Ikan Kecil
Penulis            : Ossy Firstan
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan         : Pertama, 2019
Tebal              : 248 halaman
ISBN                : 978-602-0633312
Peresensi       : Agustin Handayani


Cobaan adalah nama lain dari uji kesabaran. Setidaknya itulah kalimat yang pas pada setiap masalah yang sedang dihadapi manusia. Setiap manusia yang hidup dan tumbuh, mereka akan semakin bertemu masalah, mulai dari yang sederhana hingga kompleks. Tidak ada arus yang lurus, begitupun dengan kehidupan manusia. Ada kalanya kita berada di perbelokan yang membuat kita berhenti sejenak untuk berpikir, atau berputar balik arah untuk mendapatkan jalan keluar yang lain. Itulah proses kehidupan.

Novel Ikan Kecin ini contohnya. Mulai dari masalah setelah kita menginjak dewasa. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang bermetamorfosis menjadi sebuah masalah bagi kita. Dimulai dari yang sederhana, sekolah di mana, kapan lulus, kapan nikah, dan kapan punya anak. Pertanyaan sederhana, tapi menimbulkan banyak masalah pada orang yang ditanya.

Kisah Deas dan Coleisa dalam novel ini mengemas semua pertanyaan tersebut. Sudah lama menikah dan belum kunjung dikarunia anak. Pertanyaan-pertanyaan dari kerabat tentang momongan semakin membuat Loi dirundung resah. Apa ada kesalahan dalam dirinya hingga belum bisa mengandung? Banyak praduga yang hinggap dalam pikirannya. perasaan resah, ketakutan hingga menyalahkan diri sendiri pun dirasakannya.

Namun saat Ikan Kecil yang tumbuh dalam perutnya pun lahir, penantian ternyata belum tentu memberikan sebuah kebahagian.

Deas dan Loi kembali diuji seberapa sabar dan kuat mereka mendapatkan cobaan dari Tuhan. Tentang perbedaan yang mengusik dari Ikan Kecil mereka yang bernama, Olei. Penyangkalan, penolakan, berdamai dengan diri hingga penerimaan ternyata fase yang cukup panjang bagi mereka. Kesadaran bahwa Tuhan selalu memberikan cobaan sesuai batas hambanya membuat mereka berusaha menerima apa yang mereka dapatkan.
“Kadang kita juga harus berhenti menyalahkan dan lihat ke depan. Untuk apa ngungkit-ngungkit sebab kalau itu bikin apa yang bisa kita perbaiki terbengkalai.” –Hal. 119
Dalam novel ini, cobaan hidup memang cukup berat. Ikan kecil yang bernama Olei itu mengalami perbedaan dengan anak lainnya, sindrom autis. Peran keluarga dalam memberi dukungan dan juga tindakan segera mungkin sangat penting. Deas sebagai suami digambarkan dengan sosok yang kuat sebagai kepala rumah tangga dan penyayang pada anak. Meski konflik yang dialami sangat mengiris hati, tapi kesabaran orang tua benar-benar menggugah jiwa.

Novel ini juga membuka mata kita pada keistimewaan yang dimiliki masing-masing anak. Bahwa setiap kekurangan, terdapat kelebihan yang tersembunyi di dalamnya. Tugas kita hanyalah menggali seberapa dalam kelebihan itu agar bisa bersinar terang.

Probolinggo, 2 Februari 2020

Agustin Handayani. Perempuan penyuka buku dan anggota FLP Probolinggo.


Resensi Novel The Magic Book


Dok. Radar Madura, 17 Februari 2020

Harmonisasi Persahabatan pada Masa Kanak-Kanak


Judul               : The Magic Book
Penulis            : Qurrota Aini
Penerbit         : Dar! Mizan
Terbitan         : Pertama, 2019
Tebal              : 196 halaman
ISBN                : 978-602-420-834-9
Peresensi       : Agustin Handayani


Masa kanak-kanak adalah masa yang paling indah dengan aneka ragam cerita. Pada masa ini, anak-anak memiliki banyak keingintahuan yang besar dan mencoba apa saja yang menurut mereka menarik. Antusias yang tinggi yang kadang menuntut para orang tua untuk semakin menemani dan menjadi pengawas siaga agar bisa menggiring keingintahuan itu sesuai dengan porsinya.

Bukan hanya perihal keingintahuan. Namun juga tentang bagaimana anak-anak bersikap dengan lingkungan sekitar, utamanya sosialisasi. Pada masa di mana mereka mulai mengenal kebutuhan hidup, mereka juga dikenalkan dengan hubungan antara manusia yang disebut persahabatan. Persahabatan yang sederhana dan penuh warna. Setidaknya, pada masa ini mereka hanya membutuhkan sahabat untuk teman bermain dan tertawa bersama. Beda halnya dengan persahabatan pada masa remaja dan dewasa ke atas. Pada fase ini pun, keterlibatan orang tua untuk memberikan pengarahan bagaimana cara berinteraksi dengan sosial juga sangat dibutuhkan. Karena sosialisasi primer anak memang berasal dari keluarga terlebih dahulu.

Dalam novel KKPK Delux The Magic Book ini, cerita anak-anak yang dikisahkan dibagi menjadi dua bagian. Kedua cerita yang sama-sama menceritakan persahabatan dan juga keingintahuan. Bagaimana Alisha yang menemukan sebuah buku ajaib yang di dalamnya berisi resep makanan yang mudah. Bukan itu saja, buku ajaib tersebut dapat memberikan alat dan bahan yang dibutuhkan untuk membuat makanan sesuai resep yang tertulis. Dalam kisah pertama ini, keingintahuan Alisha terhadap cara pembuatan makanan serta bagaimana buku ajaib yang membantunya termasuk kisah anak-anak yang penuh dengan fantasi. Kisah yang menghibur dan juga memberikan beberapa pesan moral pada anak-anak tersebut.

Terlebih kisah persahabatan yang diangkat dalam bagian kedua dengan judul My Wonderful Holiday. Kisah tentang persahabatan antara Lizzia, Soffie, dan teman-temannya dalam menikmati liburan. Kisah yang menyenangkan, penuh petualangan, dan juga canda. Mereka semua menikmati liburan dengan cara mereka sendiri sesuai dengan gaya anak pasa umurnya.

Keseluruhan dari cerita ini memang sesuai dengan anak-anak pada usianya. Ditulis dengan penuh penggambaran nyata bahwa dunia anak memang penuh dengan fantasi halus, indah, penuh warna dan cerita. Konflik yang disajikan dengan sederhana dan tampak mudah untuk dipecahakan. Selain mengajarkan tentang persahabatan, dalam cerita ini juga mengajarkan cinta lingkungan dan makhluk hidup yang lain. Pesan moral yang diberikan secara gamblang oleh penulis.

Agustin Handayani. Penikmat buku dan anggota FLP Probolinggo.


Resensi Novel Si Anak Badai



Dok. Radar Mojokerto, 2 Februari 2020 

Ketangguhan Para Anak Badai

Judul               : Si Anak Badai
Penulis            : Tere Liye
Penerbit         : Republika
Terbitan         : I, 2019
Tebal              : 322 halaman
ISBN                : 978-602-5734-93-9
Peresensi       : Agustin Handayani

Kali ini Tere Liye kembali membawa novel serial Anak Nusantara dengan judul Si Anak Badai. Mungkin kisah ini sedikit berbeda dengan serial yang lain, tapi magnet ketertarikannya jelas tidak kalah besar. Bagaimana sebuah novel ini mengisahkan anak-anak yang hidup di kampung Manowa, sebuah kampung yang berada di atas laut. Bangunan rumah, sekolah, masjid, dan lainnya berdiri tegak di atas air. Penggambaran tempatnya cukup menakjubkan.
“Seorang kawan tidak meninggalkan kawannya sendirian.” –Hal. 202

Ini kisah dari Zaenal atau sering disapa Za, seorang anak kelas 6 yang memiliki sahabat dengan berbagai karakter. Seperti anak-anak yang belum tersentuh kecanggihan informasi, Za dan teman-temannya lebih banyak menghabiskan waktu bermain di laut. Menceburkan diri mereka untuk mencari koin yang dilempar oleh para penumpang kapal besar. Tempat tinggal mereka ini memang sangat sering dilewati kapal besar yang menjadi sumber penghasilan mereka dan juga ajang bermain.
“Jangan ada yang berubah.  Jika kita terlihat lebih sedih, kita telah kalah selangkah dari lawan.” –Hal.226

Sebuah surat perintah dari utusan gubernur membuat emosi orang kampong Manowa bergejolak. Pak Kapten yang digambarkan dengan seorang bapak tua dan suka mengutuk anak-anak nakal berwajah sangar. Pak Kapten yang tegas jelas menentang surat perintah tersebut. Menurutnya tanpa pelabuhan besar yang digembor-gemborkan tersebut, Manowa tetap bisa sejahtera dan bahagia.
Namun rupanya, uang menjadi alat penggerak yang paling cepat dan kejam. Pak Kapten disekap oleh orang-orang dibalik kecurangan tersebut. Di sinilah Za dan teman-temannya berjuang untuk menyelamatkan kampung mereka. Apalagi setelah terindikasi kepalsuan yang dilakukan oleh beberapa pihak.

“Banyak hal di dunia ini yang tidak kita tidak tahu jawaban pastinya. Mengapa shalat Magrib tiga rakaat, sementara shalat subuh dua rakaat. Mengapa ikan bisa berenang, sementara burung bisa terbang. Mengapa tidak dibalik saja. ikan-ikan beterbangan di angkasa, sementara burung menyalam di dalam air.” –hal. 58

Si Anak Badai tidak hanya menceritakan bagaimana lokalitas kampung Manowa dan kegiatan masyarkat di sana, tapi ada banyak aspek cerita yang diangkat dan membuat pembaca tertarik. Apalagi nilai religius yang diangkat juga menjadi sebuah pembelajaran bagi kita semua. Aktivitas mengaji yang menjadi budaya anak Manowa sekaligus pertanyaan tentang takdir dan Tuhan.

Novel ini tak kalah menarik dari serial anak Nusantara lainnya. Apalagi sisipan humor dan kepolosan seorang anak kecil menjadi penghiburnya. Pesan moral yang disajikan mudah ditangkap karena banyak dijelaskan secara gamblang.

Probolinggo, 8 Januari 2019
Agustin Handayani. Anggota FLP Probolinggo dan aktivis literasi kota


Resensi Novel Ranjang Sebelah



Doc. Kabar Madura, 09 Januari 2020

Menyikapi Penyesalan dan Penerimaan Takdir

Judul               : Ranjang Sebelah
Penulis            : Wardah T.
Penerbit         : Stiletto Books
Terbitan         : Cetakan I, 2019
Tebal              : 398 halaman
ISBN                : 978-602-339-863-1
Peresensi       : Agustin Handayani

Bahtera rumah tangga ibaratkan sebuah kapal besar yang tengah berlayar di lautan luas. Kadang kala akan ada ombak yang menerjangnya berkali-kali, mencoba menguji seberapa kuat pondasinya. Tidak akan ada jalan yang mulus tanpa rintangan. Semua butuh ombak, butuh cobaan untuk menjadikannya semakin kuat. Seperti itulah pelayaran perahu ke dermaga.

Kisah yang sama dengan bahtera rumah tangga. Seperti yang Wardah ceritakan dalam novel Ranjang Sebelahnya. Kisah cinta yang diangkat dalam sebuah hubungan suami isteri. Bagaimana sebuah awal akan selalu menentukan sebuah akhir, dan bagaimana sebuah penerimaan selalu diawali dengan penolakan.
“Penyesalan bukan untuk diratapi, tapi untuk memperbaiki.” –Hal. 342

Lowee, seorang wanita modern yang menikah diawali dengan rasa terpaksa. Rasa sakit hati dan merasa dicurangi oleh lelaki yang dipanggilnya Abang. Kealpaan lelaki itu dalam hidupnya membuat Lowee memutuskan menikah dengan lelaki yang mengidap OCD (Obsessive Compulsive Disorder) bernama Roshan. Lelaki yang ternyata memiliki hubungan sangat dekat dengan masa lalunya. Takdir seakan mempermainkan wanita modern itu.

Semua berjalan dengan baik dan teratur dari usaha penerimaan yang Lowee berikan pada sang suami. Namun saat rasa iri dan cemburu menguasai hatinya pada sosok masa lalu, hubungan suami isteri menjadi taruhan. Tidak ada lagi keharmonisan, malah hambar dan semakin membuatnya jenuh. Lowee lupa diri bahwa ada lelaki yang mencintainya dengan tulus.  Ia malah terus memandang ke belakang dengan banyak perandaian indah bersama yang terasa mustahil saat itu.

Semua doa-doa buruk yang dirapalkan Lowee setiap waktu, ibaratkan mantera yang minta dikabulkan ternyata menjadi boomerang sendiri bagi Lowee. Penyesalan dan kesedihan membelenggunya hingga kehilangan setengah waras. Setiap sudut dalam ingatannya semakin membuatnya bersedih akan kesalahan sikap buruknya dan doa yang kadung diamini Tuhan.
“Kadang cinta lebih indah dengan jalan penolakan, daripada dimulai dengan penerimaan.” –Hal. 322

Novel Ranjang Sebelah bukan hanya kisah cinta antara penyesalan dan keinginan. Namun juga tentang bagaimana menyikapi segala hal dengan lebih menerima, ketimbang mencaci. Tentang Lowee yang dipermainkan takdir dan berlabuh pada lelaki yang membuatnya berkhianat pada suaminya. Lowee kembali mendapati sebuah jalan yang sama dengan Byan, masa lalunya.

Novel yang cukup menarik ini juga memberikan kita banyak pelajaran tentang bagaimana Islam memulaikan perempuan. Tentang bagaimana harusnya seorang isteri yang menghormati suami, dan hubungan timbal baliknya. Keterlibatan agama dalam novel ini sangat kuat hingga menjadi pandangan hidup bagi setiap sikap dan langkah yang diambil oleh setiap tokoh. Bahwa tidak ada manusia yang bisa adil, kecuali Allah SWT. Penuturan yang halus tentang berpoligami juga disampaikan dengan baik dan mudah dipahami.

Penulis seakan menggiring pembaca untuk mengikuti bagaimana arus tokoh Lowee dengan penyesalannya, bagaimana kehilangan adalah cambuk yang menyakitkan, dan sifat keirian adalah belati yang mematikan. Kisah ini diambil dengan cukup realistis dan banyak terjadi di sekitar. Ini menjadi poin tambahan untuk novel Ranjang Sebelah.
 “Kesalahan adalah kebodohan yang tidak pernah mau diakui.” –Hal. 367

Tutur bahasa penulis yang lembut dan mendayu-dayu cukup mengaduk emosi pembaca. Bagaimana penulis memberikan amanat dalam ceritanya bisa sampai dengan tepat sasaran lewat tokoh Lowee. Novel ini cocok untuk semua kalangan, karena dibalik kisah rumah tangganya, pesan moral cukup mengena ke dalam diri pembaca.

Probolinggo, 13 Desember 2019

Agustin Handayani. Aktivis Literasi kota dan anggota FLP Probolinggo.



Resensi Novel Let's Sing With Me



Doc. Kabar Madura, 5 Februari 2020

Belajar Berjuang untuk Mencapai Impian

Judul               : Let’s Sing With Me
Penulis            : Muthia Fadhila
Terbitan         : Pertama, 2019
Penerbit         : Dar! Mizan
Tebal              : 156 halaman
ISBN                : 978-602-420-880-6
Peresensi       : Agustin Handayani

Seperti kisah KKPK yang lain, seri cerita yang satu ini mengangkat sebuah kisah perjuangan seorang siswa untuk meraih impiannya. Seri deluxe ini terdiri dari dua cerita dengan kisah yang sama-sama menggugah hati dengan masalah masing-masing. Sama-sama mengangkat tentang impian, penulis menjabarkan setiap kisah dengan pembawaan yang ringan. Bagaimana sebuah impian yang harus diusahakan untuk menjadi nyata. Bagaimana penulis juga memberikan sebuah gambaran bahwa merutuki nasib tidak akan membuahkan hasil apa pun, kecuali kesedihan. Maka, buku deluxe ini, seakan memberikan lampu pada kelamnya keputusasaan itu sendiri.

Kisah pertama dibuka dengan judul Let’s Sing With Me. Kisah pertama yang kebetulan juga diambil menjadi judul buku ini. Dalam kisah pertama, kita akan berkenalan dengan seorang anak bernama Clarissa Riyadi yang sangat menyukai semua hal berbau K-Pop. Hobinya yang paling utama adalah menyanyi. Hampir di setiap waktu, dia selalu bersenandung lagu K-Pop kesukaannya. Kisah dimulai dengan kepindahannya ke Indonesia untuk merawat sang nenek yang sedang sakit.

“Ketika aku tidak menemukan tempat yang kubutuh, ketika aku tersesat dalam badai, mereka memberiku cinta dan keberanian yang tidak pernah berubah. Aku menyampaikan terima kasihku kepada mereka.” –Hal. 68

Setibanya di Indonesia, rentetan kejadian yang menyedihkan datang padanya. Seakan mendorongnya untuk jatuh semakin dalam. Clarissa yang hampir menyerah dengan takdirnya, berusaha bangkit dan mulai menatap hidupnya yang baru. Dia seakan sadar bahwa dia tidak pernah sendiri. Selalu ada yang mendukungnya dari jauh. Karena itu, Clarissa menunjukkan kelebihannya dalam bernyanyi. Sesuatu yang menjadi kesukaannya sejak dulu. Dia seakan membuktikan bahwa dalam sebuah kekurangan, terdapat kelebihan yang luar biasa dan dimiliki oleh semua orang.

Sedangkan dalam kisah kedua, dengan judul Little Ballerina. Kita akan dikenalkan dengan siswi-siswi yang bersekolah khusus tari ballerina. Meggy, seorang siswi yang baru pulang dari Singapura untuk mengikuti sebuah pertandingan Ballerina dunia. Dia berhasil membawa nama baik sekolah dan membanggakan negara. Bahkan selang beberapa hari setelahnya, dia kembali menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti Singapore Championship. Ajang perlombaan dunia yang diikuti oleh hampir semua negara.

Sikap Meggy yang terus berjuang untuk meraih apa yang dia kerjakan sekarang, adalah bentuk sikap pantang menyerah meski banyak hal yang menghalangi. Misal, banjir saat latihan, atau tersesat saat di perlombaan. Dia terus berusaha untuk memberikan hasil yang memuaskan.

Dua kisah yang sama-sama mengajarkan kita berjuang untuk menunjukkan keahlian yang dimiliki. Kedua kisah yang ditulis dengan pembawaan ringan dan sangat pas dibaca oleh anak-anak ini memiliki banyak hikmah dan amanat di dalamnya. Dan diharapkan semua yang membaca kisahnya menjadi termotivasi dan meneladani amanatnya.

Probolinggo, 20 Januari 2020

Agustin Handayani. Anggota FLP Probolinggo dan aktivis literasi kota.


Resensi Novel 1 Kos 3 Cinta 7 Keberuntungan



Doc. Radar Madura, 27 Februari 2020

Keberuntungan Dibalik Sebuah Perjuangan

Judul               : 1 Kos 3 Cinta 7 Keberuntungan
Penulis            : Astrid Tito
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan         : Cetakan Pertama, 2019
Tebal              : xii+295 halaman
ISBN                : 978-602-06-3016-8
Peresensi       : Agustin Handayani

Angka 7 adalah angka keberuntungan. Sebagian orang-orang masih percaya dengan hal mistis tersebut. Bahkan untuk negara Indonesia yang sangat mengandalkan hal-hal berbau mistis untuk menentukan apa saja yang mereka lakukan. Seperti memilih hari baik untuk sebuah pernikahan, tidak menempati kamar 13 yang berbau sial, atau tidak keluar rumah saat Jumat manis. Itu semua adalah kepercayaan turun temurun yang sampai saat ini dipercaya oleh orang banyak.

Astrid Tito jelas juga mengangkat hal-hal berbua mistis tersebut dalam novelnya. Diawali dengan pemilik kos yang bernama Fathimah Muqadimah tapi suka dipanggil Patty yang mendapatkan sebuah sobekan lembaran bertuliskan angka 1 3 dan 7. Angka-angka yang menjadi sebuah tanya besar dalam hidupnya. Bahkan, secara tidak sengaja semua hal yang berada di sampingnya seakan identik dan berhubungan dengan angka 7. Mulai dari memiliki 1 kos dengan 3 lantai, di mana kamar nomer 7 adalah kamar paling mistis dari lainnya.
“Satu-satunya cara menakhlukkan ketakutan adalah menghadapi ketakutan itu sendiri.” –Hal. 48

Dimulai dari penghuni pertama yang bernama Linda. Pengidap penyakit skizofrenia. Dia sering berteriak tak jelas dan marah-marah. Kamar nomer 7 sering ramai dengan ulah perempuan yang menderita sakit jiwa tersebut. Hingga, penyakit Linda membuat Vika bertemu dengan Rakai. Mereka sama-sama berada di lingkup yang sama, yaitu penyakit jiwa. Bedanya, Vika dan Rakai adalah dua manusia yang mengabdikan hidupnya dalam bidang tersebut di mana mereka sama-sama memiliki luka di masa lalu.
“Aku percaya, manusia yang tidak mengeluh, belum tentu hidupnya ringan-ringan saja.” –Hal. 141

Cerita kedua adalah seorang perempuan cantik dengan sebutan pelakor yang disandangnya. Menjadi isteri kedua sekaligus isteri simpanan seorang om-om tua yang memiliki anak isteri. Perempuan bernama Renata ini juga menempati kamar nomer 7, menggantikan Linda. Orang-orang yang mengenal perempuan cantik itu tidak tahu saja bahwa selalu ada alasan dibalik sebuah keputusan. Bahwa meski Renata selalu menampilkan wajah baik-baik saja dengan senyumnya, ada sebuah kesedihan yang luar biasa. Sangat pas dengan judul kisahnya bahwa pelakor juga manusia yang pastinya memiliki perasaan.
“Nggak semua masalah bisa diselesaikan dengan adu fisik.” –Hal. 194

Kisah terakhir kali ini dari penghuni baru kamar nomer 7 adalah seorang lelaki kemayu  yang dikejar-kejar renternir. Terlalu gila dengan kenikmatan dunia dan salah pergaulan membuat Bram harus berhutang ke renternir yang bunganya berkali lipat.

Novel 1 Kos 3 Cinta 7 Keberuntungan ini bukan hanya novel romatika biasa. Dengan pengemasan sudut pandang berbeda setiap tokoh dengan gaya masing-masing, mereka seakan mengambil porsi untuk menjelaskan semua yang mereka jalani ke pembaca.

Banyak pesan-pesan moral yang mampu diambil dari setiap kisah dalam novel ini. Satu novel dengan tiga kisah. Di mana tokoh Aol, Rendy, Vika, Rakai, Eda, begitupun dengan Patty sama-sama menyajikan perjuangan mereka untuk bangkit dan berdiri tegak dengan usaha mereka sendiri. sebuah pembuktian pada dunia luar bahwa apa yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh akan berbuah manis.

Probolinggo, 7 Januari 2020


Agustin Handayani. Penulis novel dan aktivis literasi Probolinggo.


Resensi Novel Miss Echa



Doc. Kabar Madura, 26 Februari 2020

Harmonisasi Cinta dalam Hidup Manusia

Judul                           : Miss Echa; 10 kisah cinta
Penulis                        : Belinda Gunawan
Penerbit                     : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan                     : Pertama, 2019
Tebal                          : 192 halaman
ISBN                            : 978-602-0634-90-6
Peresensi                   : Agustin Handayani

Sepuluh kisah cinta adalah kumpulan kisah cinta dari segala sudut pandang yang dikisahkan dengan penuturan lembut, penuh nyawa, dan sedikit menyentak pemikiran. Bagaimana bisa? Mungkin itu pemikiran awal. Namun Belinda sebagai penulis jelas bisa dikatakan sangat sukses sebagai pencerita ulung dengan segala sisi romatismenya.
“Tetaplah melajang kalau belum menemukan seseorang yang membuatmu lebih berharga ketimbang hidup melajang.” –hal. 11

Seperti kisah pertama yang berjudul Miss Echa, kisah yang juga menjadi judul buku ini. Penulis menceritakan tentang tuntuan seorang perempuan di usia setengah abad tentang keharusan mencari pasangan hidup. Bukan hanya itu saja, keterlibatan orang tua, utama seorang ibu sangat berpengaruh dalam cerita ini. Ibu yang tidak ingin anaknya sendiri, ibu yang selalu mencari pasangan terbaik untuk anaknya, dan ibu satu-satunya manusia paling mengerti.

Dalam kisah Miss Echa ini, cinta diibaratkan seperti sebuah hujan. Kadang yang dibuat-buat, belum tentu berhasil. Sedang yang tidak ditunggu, kadang turun dengan derasnya. Ben dan Miss Echa, contohnya. Saat mereka sengaja didekatkan, malah semakin menjauh. Dan saat tidak disengaja, mereka jadi cinta.
“Wina, tidakkah kamu tahu bahwa seorang ibu tidak pernah meninggalkan anaknya?” –hal. 138

Kisah berikutnya yang sangat menyentuh adalah kisah dengan judul, Hadir Untuk Wina. Kisah ini juga membawa peran seorang ibu dalam kehidupan kita. Bagaimana cinta ibu yang meski sudah meninggal, akan tetap berada di samping anaknya yang bersedih. Mau dipercaya atau tidak, arwah pun bisa merasakan perasaan sedih orang yang dicintainya. Di sinilah sang ibu datang dengan kuasa Tuhan untuk menampakkan diri pada Wina dan membantu masalahnya.

Dalam kisah ini, cinta bukan saja masalah antara lelaki dan wanita berpasangan. Ada kisah cinta orang tua yang sangat besar dan diceritakan dengan sangat lembut dan penuh perasaan. Kisah yang mengalir dan memberikan makna mendalam yang mampu menyentuh hati paling dalam.
Dalam kesepuluh kisah inilah kita tahu bahwa cinta datang dari hati. Tidak bisa dipaksa, tidak bisa diingkari, dan juga tidak bisa dihindari. Kesepuluh yang terkumpul ini, Belinda sukses membuat perenungan tentang harmonisasi cinta yang selaras antara manusia dari segala segi.

Probolinggo, 25 Januari 2020

Agustin Handayani. Penulis novel asal Probolinggo yang tergabung sebagai aktivis literasi kota dan anggota FLP Probolinggo.


Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...