Sebenarnya
benar kata orang, cinta memiliki artian yang luas. Bila beberapa orang
memandangnya sempit, itu bukan salah cinta. Melainkan penafsiran sempit dari
cinta itu sendiri. Cinta dan luka, mau tak mau itu adalah sebuah kesatuan yang
tak dapat dipisahkan. Layaknya gelap dan terang. Kita tak akan mengetahui
terang bila tak pernah berada di posisi gelap. Dan aku, merasakan luka setelah
mengalami beberapa kali cinta.
“Aku
mencintainya,” jujurku. Entah sudah keberapa kalinya aku berkata seperti itu
pada Tia. Nyatanya, lidahku seakan tak pernah bosan mengucapkan hal tersebut.
Seperti sebuah mantera yang sudah terapal di luar kepala.
“Tapi
dia tidak mencintaimu.” Tia seakan menjatuhkanku dari ketinggian tak terbatas.
Mengembalikan semuanya pada fakta bahwa perasaanku hanya aku yang merasakan.
Tak terbalas.
Aku
menggeleng pelan. Merasa miris pada hidupku yang sekarang.
“Cobalah
kamu melupakannya,” saran Tia yang sudah keberapa kalinya pada hari ini, bahkan
pada hari sebelumnya juga begitu.
Aku
tetap menggeleng pelan. Sangat sulit rasanya harus melupakan sebuah cinta yang
tertancap sangat dalam di sela-sela hati. Dari awal ini semua salahku. Aku
terlalu percaya bahwa dengannya, perasaanku akan terbalas. Aku kira dia beda.
Dia memiliki sebuah kesabaran dimana sangat sulit untuk aku temukan pada lelaki
lainnya. Hanya saja aku lupa. Sifat manusia tidaklah kekal. Labil dan mudah
terombang-ambing. Lagi, aku salah menilai
orang, batinku.
“Apa
Guntur tahu kamu masih mencintainya?”
“Tidak.
Aku belum mau jujur. Aku takut semakin aku berkata bahwa aku mencintainya, dia
akan menghindar dan semakin jauh,” jawabku lesu. Memang itu yang aku takutkan
bila aku jujur padanya. Rasanya aku belum siap untuk semakin jauh darinya kala
hatiku sendiri masih berporos padanya.
“Bulshit.
Kamu bilang Guntur adalah lelaki yang sangat mengerti kamu, seharusnya dia juga
mengerti bagaimana perasaanmu padanya,” ucap Tia dengan nada yang sedikit
keras.
Aku
menghembuskan napas pelan. Keadaannya sudah beda. Dulu, status kami sangat
intim, dekat. Sekarang status mantan benar-benar memberi jarak yang teramat
jauh. Guntur, lelaki itu pencuri hatiku. Mencuri paksa tanpa izin terlebih
dahulu. Setelahnya, ia dengan sangat mudah membuang rasa-rasa yang timbul.
Percakapan
berakhir tanpa sebuah jalan keluar. Tia tak bisa mendebat perasaanku yang terus
memberontak. Dan aku mengalah karena bukan aku yang ingin bertahan, akan tetapi
hatiku. Seakan hati ini berkata, sekali
lagi untuk bertahan dan mencoba.
“Besok
kita akan bertemu,” ucap Guntur disebuah panggilan pada malam harinya.
Aku
berteriak dalam diam. Sangat senang mendapat sebuah kabar dan janji temu
dengannya. Pikirku, mungkin ini adalah awalan untuk aku dan dia bisa bersama, lagi.
“Besok
aku akan menunggu kamu sampai kamu datang,” janjiku mantap.
Guntur
hanya menjawab dengan deheman pelan. Entah bagaimana ekspresi lelaki itu di
seberang sana. Nyatanya, saluran telepon ini hanya bisa memberikan timbal balik
berupa suara penelpon, bukan wajah dan ekspresinya.
Banyak
orang berkata, hati-hatilah dengan hati. Sekali kamu bermain hati, sakitnya
sangat tak terkendali. Aku paham bahwa aku sudah terlalu jauh bermain hati.
Padahal aku kira,menaruh hati pada lelaki itu adalah sebuah kebenaran yang akan
aku syukuri. Nyatanya sama saja. Aku terluka.
Aku
tak bisa pergi dari tempat ini. Aku sudah berjanji padanya. Aku akan
menunggunya hingga ia datang dan berbalas pandang denganku. Berbicara panjang
lebar hingga larut malam atau hingga fajar datang menjelang. Hanya saja, ini
sudah lebih dari tiga jam aku duduk di taman yang sepi. Menatap arloji dan
jalan di depan sana bergantian. Jam ini terus berputar, sementara lalu lalang
manusia semakin tak terlihat. Tak ada tanda-tanda ia akan datang dan menebus
janjinya. Satu kesadaran muncul, Guntur ingkar, lagi.
Aku
menyerah. Ini sudah tengah malam saat aku melangkah dengan gontai dari taman
ini. Rasa lelah tiba-tiba menyergap jiwa dan ragaku. Bukan hanya tubuh,
melainkan juga hatiku. Terlalu sakit merasakan cinta yang selalu dikecewakan.
“Maaf,
kemarin aku lupa kalo ada janji sama kamu,” ucap Guntur keesokan harinya.
Guntur
sudah menjabarkan perihal ketidakhadirannya. Ternyata ia sibuk bertelpon ria
dengan Vio, perempuan yang ia dekati.
Aku
diam. Menelisik ke dalam matanya yang bulat. Mencari-cari arti aku pada kedua
netra tersebut. nihil. Hanya kekosongan yang aku dapat.
Aku
tersenyum miris, “untuk apa kamu minta maaf? Nyatanya aku adalah wanita bodoh
yang menunggu kamu tanpa batas waktu,” ujarku getir.
“Kamu
bicara apa sih? Aku kan sudah minta maaf!” suaranya mulai meninggi. Pertama
kalinya ia berbicara dengan keras padaku.
“Kamu
minta maaf untuk apa? Untuk ketidakhadiran kamu kemarin? Untuk
ketidakpedulianmu? Atau untuk hatiku yang nggak kamu pikirin? Kamu minta maaf
yang mana, hah?!” teriakku emosi.
Kali
ini, aku ingin mengeluarkan segala kesakitan yang aku pendam sendiri. Aku muak
harus berada di pihak yang memendam dalam diam. Sesak-sesak itu bahkan menjadi
kawan kala kesunyian menyapaku.
“Kamu
diam? Nggak bisa jawab, kan? Atau kamu baru sadar bahwa terlalu banyak
kesalahan yang kamu buat sama aku?” lanjutku lagi, kala Guntur hanya diam
dengan pandangan yang menatapku lekat.
Mungkin
sebelumnya, padangan itu mampu meluluhkan perasaanku. Membuatku bersemu merah
bahkan salah tingkah. Akan tetapi, itu dulu. Sebelum ia menggenggam sebuah luka
dan menaburkannya pada hatiku yang berbunga. Menjadikannya layu hingga hampir
saja nyaris mati.
“Kita
sudah gagal sebelumnya. Dan sekarang kita hanya sebatas sahabat,” jawab Guntur
pelan.
Aku
memalingkan wajahku ke samping. Nyatanya benar pikiranku. Lelaki di depanku ini
memang sudah tidak punya hati untuk sekedar menghargai perasaanku.
“Itu
kamu. Bagaimana dengan aku? Dengan hatiku yang mudah kamu buang?”
“Aku
nggak buang kamu,” bantah Guntur tegas. Suaranya bahkan berhasil memekakkan
gendang telingaku.
Aku
menoleh. Memberanikan membalas netra tajam tersebut. aku kuat, rapalku dalam
hati.
“Aku
nggak pernah buang apalagi nyakitin kamu. Akan tetapi, perpisahan kita memang
jalan terbaik, apalagi untuk kamu. Ini semua untuk kebaikanmu,” lanjutnya yang
berubah kalem seketika.
Aku
tertawa kosoong. Menengadahkan kepalaku guna menahan laju air mata yang sudah
menggenang di pelupuk mata.
“Bulsyit. Nyatanya ini semua nyiksa aku.
Aku tahu aku masih kekanakan. Aku nggak bisa berpikiran dewasa seperti kamu.
Aku jelek, bodoh, murahan, da----“
“STOP!!!”
teriak Guntur memotong bualanku yang semakin melantur.
“Kamu
salah. Kamu cerdas dan berharga. Hanya saja maaf. Jujur, aku lebih suka kita
bersahabat. aku mohon kamu ngerti. Cinta tidak harus memiliki.”
“Tapi,
cinta ingin dimiliki, Gun. Nggak akan ada orang yang membiarkan cinta terbang
tanpa usaha. Mereka akan berusaha memiliki cinta tersebut meski pada akhirnya
hanya kehilangan sebagai balasan. Akan tetapi, setidaknya ada kata berjuang,”
bantahku pada persepsi Guntur yang terlalu menganggap bisa bahagai asal orang
yang dicintai bahagia, meski bukan dengan kita. Itu adalah kata-kata terbulsyit
yang pernah aku dengar.
“Nggak
bisakah aku pertahanin kamu? Berjuang sekali lagi atas nama kita?” tanyaku
dengan harap.
Guntur
menggeleng. “Aku sudah bersama Vio,” jujurnya.
Aku
mengangguk. Tersenyum miris hingga berubah tawa-tawa yang menggelegar kosong.
Aku kalah, bahkan sebelum berperang dan berusaha. Kekalahan telak yang mengundang
malu.
“Jadi,
aku sudah tidak berarti apa-apa dalam hidup kamu?”
“Kamu
masih adikku, sahabatku,” jawab Guntur sambil memegang kedua bahuku erat.
Meremasnya pelan seakan memberi kekuatan pada diriku yang mulai goyah.
“Tidak,
tidak. Aku tidak bisa bersama kamu dengan status itu. Status itu malah semakin
menambah garam pada luka yang menganga ini,” jelasku jujur. Aku melepaskan
pegangannya di bahuku. Melangkah mundur untuk memberi jarak.
Air
mata yang sudah sejak kapan mengalir, aku hapus paksa. Tawa-tawa kosong itu aku
tahan. Sekelilingku berubah senyap, bahkan bumi seakan berhenti sesaat. Semilir
angin menyapu kulitku yang terbuka. Memberi bisikan kesepian yang membuatku
merepih.
“Aku
egois kali ini. Bila aku dan kamu sudah tidak bisa menjadi sepasang kekasih,
maka selama itu, aku tak menginginkan status apapun diantara kita. Tidak
sebagai adik atau sahabat.”
“Yan---“
“Tunggu!!”
potongku. Aku mengangkat sebelah tanganku tanda agar ia berhenti berbicara dan
mendengarkan penjelasanku.
“Karena
setelah luka hari ini, aku butuh waktu untuk kembali bangkit. Aku tidak bisa
bila harus melihat kamu degan wanita bernama Vio itu. Rasanya saat itu, kamu
mencabut paksa jantungku. Maka, bila memang kamu tidak menginginkan aku sebagai
kekasihmu, biarkan aku pergi tanpa ada pertemuan kembali. Hatiku benar-benar
sangat tersakiti,” jelasku dengan senyum tipis. Aku memejamkan mataku erat.
Sangat
sakit. Seakan ada lubang-lubang yang tak nampak namun terasa nyata.
Teremas-remas oleh tangan-tangan kesakitan yang tak dapat aku cegah. Nyatanya,
merelakan sangat sakit ketimbang luka itu sendiri.
Dan
lagi, izinkan aku melupakan cinta hari ini setelah kemarin ia ajarkan aku suka
dan duka bersamaan. Entah akan jadi apa aku dikeesokan hari tanpanya. Akan
tetapi, aku akan terus berusaha melupakannya, bangkit dan berusaha untuk tegas.
Menikmati fajar dikeesokan harinya yang memberiku asa baru.
Mempercayai
aka nada sebuah keindahan dibalik luka hari ini. Bukankah pelangi tak akan
datang sebelum hujan? Begitupun keindahan tak akan datang sebelum kesakitan.
Aku percaya itu. Dan berusaha percaya.
Guntur, kamu memang
bukan lelaki yang nantinya akan mengajarkanku arti cinta yang hakiki. Cinta
yang kekal. Bukan kamu, Gun. Aku terlalu memaksa agar itu kamu. Nyatanya,
semakin aku memaksa, maka luka itu yang semakin aku dapatkan. Selamat tinggal,
Guntur. Mungkin pada kehidupan ini, cinta kita hanya sesaat. Akan tetapi, di
kehidupan yang akan datang pun, bila kita bereinkarnasi kembali, aku pun tak
bisa menjamin kita akan memulai cinta lagi atau menjadi dua sosok yang tak
saling kenal. Maka setidaknya, kita sama-sama mensyukuri cerita singkat kali
ini. Terutama aku yang berterima kasih atas cinta dan luka yang aku pelajari
darimu. Sekali lagi, selamat tinggal dan terima kasih.
Tamat.