Dan, Kami adalah Penjuru Mata Angin



Mereka adalah keajaiban-keajaiban yang terjebak dalam sebuah ikatan tak kasat mata. Mereka adalah insan-insan dengan kekuatan yang tak mampu ditandingi oleh siapapun.

Kerap beberapa kali, badai seakan menerjang dan meruntuhkan segala ikatan yang mereka kukuhkan. Namun, dengan sekali hembus, badai itu surut. Kalah pada sebuah perasaan yang menyatu antara mereka.

Mereka adalah takdir yang ditentukan langit untuk bersatu. Dengan kekuatan masing-masing, mereka menjadi lebih kuat dan tak terkalahkan.

Mereka bukan pusat bumi. Namun, penjuru mata angin yang tersebar dan mengokohkan sebuah rumah yang berpondasi cinta dan kasih sayang. 


Mereka hanya insan-insan yang lahir dari tangis haru keluarga masing-masing. Namun, dalam waktu yang tak dapat direncanakan, mereka bersatu untuk bangkit bersama.

Bagai elemen dalam sebuah kekuatan. Iya, mereka adalah elemen kekuatan dalam hidup 

Dia adalah Yuanda Isha. Mata angin di Tanjung Pinang. Wanita Desember dengan segala ketegaran hidupnya. Pantang menyerah dari cekikan dunia. Ia tetap kokoh berdiri sebagai penguat yang lain.

Di jarak berkilo meter lainnya, Blitar. Lahir lelaki pertama dalam hubungan keluarga ini. Seseorang penasehat dan penengah dari segala masalah yang ada. Dia adalah si pondasi penegak dan pelindung dari berbagai ancaman. Andik Prasetya ( Jon Blitar )

Sedang di Bontang. Wanita berdagu lancip. Mata bulat dengan tawanya yang khas. Menjadi seorang wanita yang kuat melebihi baja. Dia adalah si berani dari lainnya, Ellis Purnama Sari

Tanggerang dan segala kelembutannya. Seorang ibu sekaligus isteri yang sholeha. Ia bagai angin sejuk kala udara memanas. Ada sebuah ucap yang selalu didengar bersama. Dia adalah penasehat yang menyejukkan dan pemilih jalan di antara persimpangan, Sutianah.

Sidoarjo, kota cantik dengan wanita paling cantik dalam keluarga ini, Fitri Niswani. Wanita berelemen air dengan suara lemah lembutnya. Pusat kesabaran dan pendinginan dari sebuah amarah yang tak sengaja terpercik di antara kami. Dengan sabar, ia rangkul sebuah kasih sayang untuk kembali bersama.

Di penjuru lainnya. Mata angin yang menunjuk ke arah Timur. Probolinggo menjadi tempat kelahiran bagi seorang gadis belia. Dia adalah elemen paling muda di antara yang lain. Labil dengan segala sifat yang belum stabil. Namun, hidup adalah belajar. Dan dengan berdirinya ia bersama keluarga ini, dia bangkit dan berani bermimpi. Dialah Yani.

Tak lupa, tak akan pernah sedikit kami melupakan elemen satu dengan yang lainnya. Terutama elemen tambahan yang baru bergabung dengan keluarga ini. Andai dia adalah vampir baru, mungkin dia adalah seorang yang kuat dan tegas. Namun, dia bukan vampir. Dia adalah seorang ayah yang menempati posisi lain di pertemuan titik mata angin. Jumhari, Kakak pertama yang lahir dengan kesabaran dan lapang dadanya.

Mereka adalah kasih sayang yang selalu mengait bagai hubungan tali rantai
 
Dan mereka bukan sekadar ingatan yang akan hilang oleh rotasi waktu. Mereka adalah kekekalan dalam hati dan jiwa masing-masing. 

Dan mereka adalah keluarga dari rumah Komunitas Sastra Nusantara. 


Probolinggo, 31 Desember 2018
Dalam rangka harapan untuk keluarga tersayang 

Esok, Kematian (tak) Terduga



Dia adalah wanita yang lahir dari cemoohan warga. Tanpa bapak, ia lahir yatim di tengah gemuruh masa. Saat hati memanas penuh amarah, Ika lahir dengan kekurangan yang tak dapat dipulihkan.

Setiap hari, kala waktu kembali berotasi, hanya isak tangis Ika yang terdengar di sudut kamarnya. Kulitnya memerah dengan bekas-bekas pukulan di paha dan lengannya.

"Ibu, sakit," lirih Ika sambil sesegukan menahan sesak. Raganya sudah lelah. Kaku sekujur tubuhnya setiap melihat bayang-bayang sang ibu yang mendekat

Ika lahir dari kebencian dan dendam ibu kandungnya. Kelahiran yang bersamaan dengan kematian sang ayah membuat Ika menanggung seluruh kemurkaannya.

"Dia anak pembawa sial, kamu jangan main sama dia."

"Tapi, Ma. Ika baik kok."

"Kalo Mama bilang jangan, iya jangan. Lihat saja jarinya hanya 8. Cacat. Ayahnya meninggal saat ia lahir. Kamu mau terbawa sial juga?"

"Nggak, Ma."

Selalu seperti itu. Setiap Ika lewat, hardikan anak sial melekat dalam dirinya. Jari-jari tangannya yang cacat, tak seperti orang normal lainnya.

Sang ibu bahkan tak menaruh sedikit pun perasaan iba pada dirinya. Hanya picingan mata dengan tatapan angkuh. Ika tahu, kelahirannya adalah bentuk kesia-siaan hidup. Tak ada kegunaan ia bernapas di dunia ini.

Lahir cacat dengan kebencian sang ibu, sudah cukup mengiris hatinya.

Ika berjalan pelan di sepanjang jembatan gantung. Tatapan kosong dengan kenangan yang berputar bersamaan semilir angin. Pukulan, teriakan, makian, cemoohan, dan segala kutukan menyakitkan.

Adakah yang lebih keji lagi dari hidupnya?
Air di bawah tampak tenang. Mungkin di bawah sana, ikan-ikan bersorak memanggilnya. Ada sebuah dorongan untuk datang dan berenang dengan ikan di bawah sana. Setidaknya, mereka tak memiliki jari dan tak mungkin mencemoohnya.

"Bu, Ika ingin berenang."

Ika tidak bunuh diri. Dia hanya ingin lari dari teriakan dan segala kebencian orang di sekitarnya. Dengan sekali tarikan napas, Ika meloncat dan berkumpul dengan ikan-ikan di bawah sana.

Dan mungkin ini adalah waktu di mana Ika tak mendengar celaan dari sekitar. Tak ada panggilan pembawa sial, cacat, dan lain-lain. Bahkan Ika pun tak perlu lelah menangis dan menanyakan sampai kapan ia bernapas. Sekarang, Ika tak butuh udara lagi. Ia hanya perlu berenang mengikuti arus air bersama ikan-ikan.

Ika kaku tanpa napas.
Dan kematian, memang (tak) pernah terduga sebelumnya.
Semoga tenang, Ika
Berenanglah hingga ke muara
Di mana kau bahagia

Probolinggo, 30 12 2018

Belajar Dongeng Nusantara




Salam Sejahtera bagi seluruh sahabat Pena! 

Kali ini aku membawa sesuatu yang baru. Bukan baru banget sih, lebih tepatnya adalah aku yang baru belajar. Hehe 
Baiklah langsung ke topik.

Dongeng. Pertama kali mendengar kata dongeng, maka kita akan flashback tentang cerita-cerita pengantar tidur, kisah kancil dan kecerdikannya, atau malah saat kita disuruh guru membuat dongeng. 
Sebenarnya apa sih dongeng itu? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Dongeng adalah sebuah cerita rekaan yang bersifat fiktif atau tidak benar-benar terjadi.

Jadi, cerita dongeng itu bersifat fiksi. Dan artinya dongeng-dongeng Nusantara bahkan dongeng 1001 malam adalah sebuah cerita rekaan saja. Apa ciri-cirinya?
1. Bersifat rekaan atau fiksi
2. Memiliki amanat dan pesan moral
3. Bahasa yang mudah di pahami
4. Menghibur

Inti dari dongen sendiri memanglah menghibur pembaca dan memberikan pesan moral bagi seluruh pembaca melalui ceritanya. 

Mari kita telaah satu per satu beberapa dongeng yang terkenal.

1. Kancil dan Buaya
Cerita kancil dan kecerdikannya memang menjadi sebuah dongeng favorit anak-anak sebelum tidur. Dengan kecerdikannya, kancil seakan menjadi jalan keluar dari semua masalah. Inilah yang disukai oleh anak-anak. Selain sifat kancil yang suka mencuri timun dan nakal, kecerdikannya lebih banyak ditonjolkan. Amanat adalah semua permasalahan seberat apapun itu selalu memiliki jalan keluar apabila kita mau berfikir tenang dan menggunakan otak kita dengan sebaik-baiknya. Lewat dongeng inipun, anak-anak dilihatkan sifat terpuji lainnya.

2. Dongeng 1001 Malam. Dongen yang tak akan pernah habis. Dongeng Nusantara yang memiliki banyak pesan moral bagi anak-anak. Memang target pembaca untuk dongeng adalah anak-anak. Dikarenakan anak-anak lebih mudah diarahkan agar bisa mencerna seluruh pesan moralnya.

3. Legenda suatu daerah. Loh? Ini termasuk dongeng? Ada beberapa memang kisah nyata, namun pada umumnya memang tersaji dalam bentuk dongeng. Contoh, Batu Terbelah, Roro Jonggrang, Lutung Kasarung, dll

Ada lagi dongeng yang sering teman-teman dengar? Kalo aku pribadi lebih suka cerita Kancil yang Cerdik. Kancil sendiri memiliki banyak seri yang mudah kita temukan dibeberapa seri buku anak, bahkan beberapa web sudah dapat kita jumpai.

Sekian sekilas tentang dongeng yang saya sampaikan. Kedepannya mungkin aku akan belajar membuat dongeng hehe doakan saja 

Probolinggo, 29 12 2018

Rresensi Novel Across The Ocean




Cara mengobati Hati yang Luka

Judul                            : Across The Ocean
Penulis                         : Ria Destriana
Penerbit                      : Gramedia
Terbitan                      : Jakarta, 2015
Jumlah Halaman        : 168 Halaman
Peresensi  Agustin Handayani 

“Kamu tahu bagaimana caranya mengobati hati yang luka?”
“Bagaimana?”
“Dengan tidak melaluinya sendirian.”

Across The Ocean, novel karya Ria Destriana ini sebelumnya aku pikir adalah novel yang berlatar luar negeri seperti novel-novel lainnya. Ternyata novel ini lebih mengangkant unsur lokalitas dari sebuah pulau bernama Karimunjawa. Pulau yang katanya bisa mengalahkan pulau Lombok maupaun Pantai Kuta. Karimunjawa berasal dari kremun yang artinya samar-samar. Karena letaknya pulau ini memang samar-samar dari pulau jawa. Penjabaran unsur lokalitas yang sangat kental dan rinci manjadi mudah dipahami. Bagaiamana penulis menjelaskan tentang pulau-pulau tak berpenghuni di sekitar Karimunjawa yang sekarang dijadikan sebagai objek wisata dan juga beberapa mitos atau asal-usul nama di daerah sana, pulau Gosong.

Sebuah luka dari terpaksa melepaskan sebuah cinta yang hilang dari hidup kita memang tak akan pernah mudah. Ada rasa sakit, kecewa dan banyak perasaan lagi yang tak bisa dijabarkan dengan mudah. Seperti yang Bayu rasakan. Bayu mulai tak percaya saat orang-orang berkata bahwa cinta dapat menyatukan perbedaan yang terbentang. Bayu mulai paham bahwa itu salah. Tidak semua perbedaan dapat dilebur menjadi satu, utamanya perbedaan keyakinan yang Bayu dan Siska jalani. Mereka paham bahwa apa yang sedang mereka pertahankan sekarang adalah bentuk kesia-siaan semata. Hingga perpisahan memang menjadi sebuah jalan penghalang mereka.

Untuk mengobati cinta, jangan pernah sendiri. Itu yang Bayu lakukan. Ia bertemu dengan Anin. Perempuan yang memiliki nasib sama seperti dirinya. Seakan bercermin pada dirinya sendiri, Bayu pun berusaha membuat Anin bahagia dan melupakan rasa sakitnya.

Dan cinta memang tak pernah kita ketahui kapan bisa datang dan pada siapa dia akan menyapa. Namun saat cinta itu dirasakan oleh mereka, mereka paham bahwa tidak akan mudah menyatukan hati yang baru saja tersakiti. Harus ada jeda agar hati lebih mantap untuk memutuskan jatuh cinta. Dan dalam jangka waktu yang lama, waktu memberikan mereka jeda untuk memantapkan hati.

“Hidup memang tidak semudah drama TV.” Hal. 153

Dan alur yang disajikan penulis memang cukup bagus. Penggunaan sudut pandang tokoh pertama dari Bayu dan di tengah berubah menjadi Anin memang sempat membingungkan pembaca, terutama saya. Karena tidak ada pemberitahuan atau keterangan sebelum pergantian. Namun, keseluruhan saya lebih menikmati keindahan Karimunjawa yang memang indah.

Probolinggo, 22 Desember 2018






Dan, Izinkan Aku Melupakanmu




Sebenarnya benar kata orang, cinta memiliki artian yang luas. Bila beberapa orang memandangnya sempit, itu bukan salah cinta. Melainkan penafsiran sempit dari cinta itu sendiri. Cinta dan luka, mau tak mau itu adalah sebuah kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Layaknya gelap dan terang. Kita tak akan mengetahui terang bila tak pernah berada di posisi gelap. Dan aku, merasakan luka setelah mengalami beberapa kali cinta.

“Aku mencintainya,” jujurku. Entah sudah keberapa kalinya aku berkata seperti itu pada Tia. Nyatanya, lidahku seakan tak pernah bosan mengucapkan hal tersebut. Seperti sebuah mantera yang sudah terapal di luar kepala.

“Tapi dia tidak mencintaimu.” Tia seakan menjatuhkanku dari ketinggian tak terbatas. Mengembalikan semuanya pada fakta bahwa perasaanku hanya aku yang merasakan. Tak terbalas.
Aku menggeleng pelan. Merasa miris pada hidupku yang sekarang.

“Cobalah kamu melupakannya,” saran Tia yang sudah keberapa kalinya pada hari ini, bahkan pada hari sebelumnya juga begitu.

Aku tetap menggeleng pelan. Sangat sulit rasanya harus melupakan sebuah cinta yang tertancap sangat dalam di sela-sela hati. Dari awal ini semua salahku. Aku terlalu percaya bahwa dengannya, perasaanku akan terbalas. Aku kira dia beda. Dia memiliki sebuah kesabaran dimana sangat sulit untuk aku temukan pada lelaki lainnya. Hanya saja aku lupa. Sifat manusia tidaklah kekal. Labil dan mudah terombang-ambing. Lagi, aku salah menilai orang, batinku.

“Apa Guntur tahu kamu masih mencintainya?”

“Tidak. Aku belum mau jujur. Aku takut semakin aku berkata bahwa aku mencintainya, dia akan menghindar dan semakin jauh,” jawabku lesu. Memang itu yang aku takutkan bila aku jujur padanya. Rasanya aku belum siap untuk semakin jauh darinya kala hatiku sendiri masih berporos padanya.

“Bulshit. Kamu bilang Guntur adalah lelaki yang sangat mengerti kamu, seharusnya dia juga mengerti bagaimana perasaanmu padanya,” ucap Tia dengan nada yang sedikit keras.

Aku menghembuskan napas pelan. Keadaannya sudah beda. Dulu, status kami sangat intim, dekat. Sekarang status mantan benar-benar memberi jarak yang teramat jauh. Guntur, lelaki itu pencuri hatiku. Mencuri paksa tanpa izin terlebih dahulu. Setelahnya, ia dengan sangat mudah membuang rasa-rasa yang timbul.

Percakapan berakhir tanpa sebuah jalan keluar. Tia tak bisa mendebat perasaanku yang terus memberontak. Dan aku mengalah karena bukan aku yang ingin bertahan, akan tetapi hatiku. Seakan hati ini berkata, sekali lagi untuk bertahan dan mencoba.

“Besok kita akan bertemu,” ucap Guntur disebuah panggilan pada malam harinya.

Aku berteriak dalam diam. Sangat senang mendapat sebuah kabar dan janji temu dengannya. Pikirku, mungkin ini adalah awalan untuk aku dan dia bisa bersama, lagi.

“Besok aku akan menunggu kamu sampai kamu datang,” janjiku mantap.

Guntur hanya menjawab dengan deheman pelan. Entah bagaimana ekspresi lelaki itu di seberang sana. Nyatanya, saluran telepon ini hanya bisa memberikan timbal balik berupa suara penelpon, bukan wajah dan ekspresinya.

Banyak orang berkata, hati-hatilah dengan hati. Sekali kamu bermain hati, sakitnya sangat tak terkendali. Aku paham bahwa aku sudah terlalu jauh bermain hati. Padahal aku kira,menaruh hati pada lelaki itu adalah sebuah kebenaran yang akan aku syukuri. Nyatanya sama saja. Aku terluka.

Aku tak bisa pergi dari tempat ini. Aku sudah berjanji padanya. Aku akan menunggunya hingga ia datang dan berbalas pandang denganku. Berbicara panjang lebar hingga larut malam atau hingga fajar datang menjelang. Hanya saja, ini sudah lebih dari tiga jam aku duduk di taman yang sepi. Menatap arloji dan jalan di depan sana bergantian. Jam ini terus berputar, sementara lalu lalang manusia semakin tak terlihat. Tak ada tanda-tanda ia akan datang dan menebus janjinya. Satu kesadaran muncul, Guntur ingkar, lagi.

Aku menyerah. Ini sudah tengah malam saat aku melangkah dengan gontai dari taman ini. Rasa lelah tiba-tiba menyergap jiwa dan ragaku. Bukan hanya tubuh, melainkan juga hatiku. Terlalu sakit merasakan cinta yang selalu dikecewakan.

“Maaf, kemarin aku lupa kalo ada janji sama kamu,” ucap Guntur keesokan harinya.

Guntur sudah menjabarkan perihal ketidakhadirannya. Ternyata ia sibuk bertelpon ria dengan Vio, perempuan yang ia dekati.

Aku diam. Menelisik ke dalam matanya yang bulat. Mencari-cari arti aku pada kedua netra tersebut. nihil. Hanya kekosongan yang aku dapat.

Aku tersenyum miris, “untuk apa kamu minta maaf? Nyatanya aku adalah wanita bodoh yang menunggu kamu tanpa batas waktu,” ujarku getir.

“Kamu bicara apa sih? Aku kan sudah minta maaf!” suaranya mulai meninggi. Pertama kalinya ia berbicara dengan keras padaku.

“Kamu minta maaf untuk apa? Untuk ketidakhadiran kamu kemarin? Untuk ketidakpedulianmu? Atau untuk hatiku yang nggak kamu pikirin? Kamu minta maaf yang mana, hah?!” teriakku emosi.
Kali ini, aku ingin mengeluarkan segala kesakitan yang aku pendam sendiri. Aku muak harus berada di pihak yang memendam dalam diam. Sesak-sesak itu bahkan menjadi kawan kala kesunyian menyapaku.
“Kamu diam? Nggak bisa jawab, kan? Atau kamu baru sadar bahwa terlalu banyak kesalahan yang kamu buat sama aku?” lanjutku lagi, kala Guntur hanya diam dengan pandangan yang menatapku lekat.
Mungkin sebelumnya, padangan itu mampu meluluhkan perasaanku. Membuatku bersemu merah bahkan salah tingkah. Akan tetapi, itu dulu. Sebelum ia menggenggam sebuah luka dan menaburkannya pada hatiku yang berbunga. Menjadikannya layu hingga hampir saja nyaris mati.
“Kita sudah gagal sebelumnya. Dan sekarang kita hanya sebatas sahabat,” jawab Guntur pelan.
Aku memalingkan wajahku ke samping. Nyatanya benar pikiranku. Lelaki di depanku ini memang sudah tidak punya hati untuk sekedar menghargai perasaanku.
“Itu kamu. Bagaimana dengan aku? Dengan hatiku yang mudah kamu buang?”
“Aku nggak buang kamu,” bantah Guntur tegas. Suaranya bahkan berhasil memekakkan gendang telingaku.
Aku menoleh. Memberanikan membalas netra tajam tersebut. aku kuat, rapalku dalam hati.
“Aku nggak pernah buang apalagi nyakitin kamu. Akan tetapi, perpisahan kita memang jalan terbaik, apalagi untuk kamu. Ini semua untuk kebaikanmu,” lanjutnya yang berubah kalem seketika.
Aku tertawa kosoong. Menengadahkan kepalaku guna menahan laju air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.
Bulsyit. Nyatanya ini semua nyiksa aku. Aku tahu aku masih kekanakan. Aku nggak bisa berpikiran dewasa seperti kamu. Aku jelek, bodoh, murahan, da----“
“STOP!!!” teriak Guntur memotong bualanku yang semakin melantur.
“Kamu salah. Kamu cerdas dan berharga. Hanya saja maaf. Jujur, aku lebih suka kita bersahabat. aku mohon kamu ngerti. Cinta tidak harus memiliki.”
“Tapi, cinta ingin dimiliki, Gun. Nggak akan ada orang yang membiarkan cinta terbang tanpa usaha. Mereka akan berusaha memiliki cinta tersebut meski pada akhirnya hanya kehilangan sebagai balasan. Akan tetapi, setidaknya ada kata berjuang,” bantahku pada persepsi Guntur yang terlalu menganggap bisa bahagai asal orang yang dicintai bahagia, meski bukan dengan kita. Itu adalah kata-kata terbulsyit yang pernah aku dengar.
“Nggak bisakah aku pertahanin kamu? Berjuang sekali lagi atas nama kita?” tanyaku dengan harap.
Guntur menggeleng. “Aku sudah bersama Vio,” jujurnya.
Aku mengangguk. Tersenyum miris hingga berubah tawa-tawa yang menggelegar kosong. Aku kalah, bahkan sebelum berperang dan berusaha. Kekalahan telak yang mengundang malu.
“Jadi, aku sudah tidak berarti apa-apa dalam hidup kamu?”
“Kamu masih adikku, sahabatku,” jawab Guntur sambil memegang kedua bahuku erat. Meremasnya pelan seakan memberi kekuatan pada diriku yang mulai goyah.
“Tidak, tidak. Aku tidak bisa bersama kamu dengan status itu. Status itu malah semakin menambah garam pada luka yang menganga ini,” jelasku jujur. Aku melepaskan pegangannya di bahuku. Melangkah mundur untuk memberi jarak.
Air mata yang sudah sejak kapan mengalir, aku hapus paksa. Tawa-tawa kosong itu aku tahan. Sekelilingku berubah senyap, bahkan bumi seakan berhenti sesaat. Semilir angin menyapu kulitku yang terbuka. Memberi bisikan kesepian yang membuatku merepih.
“Aku egois kali ini. Bila aku dan kamu sudah tidak bisa menjadi sepasang kekasih, maka selama itu, aku tak menginginkan status apapun diantara kita. Tidak sebagai adik atau sahabat.”
“Yan---“
“Tunggu!!” potongku. Aku mengangkat sebelah tanganku tanda agar ia berhenti berbicara dan mendengarkan penjelasanku.
“Karena setelah luka hari ini, aku butuh waktu untuk kembali bangkit. Aku tidak bisa bila harus melihat kamu degan wanita bernama Vio itu. Rasanya saat itu, kamu mencabut paksa jantungku. Maka, bila memang kamu tidak menginginkan aku sebagai kekasihmu, biarkan aku pergi tanpa ada pertemuan kembali. Hatiku benar-benar sangat tersakiti,” jelasku dengan senyum tipis. Aku memejamkan mataku erat.
Sangat sakit. Seakan ada lubang-lubang yang tak nampak namun terasa nyata. Teremas-remas oleh tangan-tangan kesakitan yang tak dapat aku cegah. Nyatanya, merelakan sangat sakit ketimbang luka itu sendiri.
Dan lagi, izinkan aku melupakan cinta hari ini setelah kemarin ia ajarkan aku suka dan duka bersamaan. Entah akan jadi apa aku dikeesokan hari tanpanya. Akan tetapi, aku akan terus berusaha melupakannya, bangkit dan berusaha untuk tegas. Menikmati fajar dikeesokan harinya yang memberiku asa baru.
Mempercayai aka nada sebuah keindahan dibalik luka hari ini. Bukankah pelangi tak akan datang sebelum hujan? Begitupun keindahan tak akan datang sebelum kesakitan. Aku percaya itu. Dan berusaha percaya.
Guntur, kamu memang bukan lelaki yang nantinya akan mengajarkanku arti cinta yang hakiki. Cinta yang kekal. Bukan kamu, Gun. Aku terlalu memaksa agar itu kamu. Nyatanya, semakin aku memaksa, maka luka itu yang semakin aku dapatkan. Selamat tinggal, Guntur. Mungkin pada kehidupan ini, cinta kita hanya sesaat. Akan tetapi, di kehidupan yang akan datang pun, bila kita bereinkarnasi kembali, aku pun tak bisa menjamin kita akan memulai cinta lagi atau menjadi dua sosok yang tak saling kenal. Maka setidaknya, kita sama-sama mensyukuri cerita singkat kali ini. Terutama aku yang berterima kasih atas cinta dan luka yang aku pelajari darimu. Sekali lagi, selamat tinggal dan terima kasih.
Tamat.



















Resensi Tanah Seberang

Yani, Just it


doc. Radar Cirebon 2 Desember 2018 

Pengorbanan dan Nasionalisme di Tanah Seberang

Judul                           : Tanah Seberang
Penulis                         : Kurnia Gusti Sawiji
Penerbit                       : Mojok
Jumlah Halaman          : 268 Halaman
Terbitan                       : I, Juli 2018
ISBN                           : 978-602-1318-68-3
Peresensi                     : Agustin Handayani

Pengorbanan tanpa makna hanyalah sebuah kesia-siaan, namun pengorbanan dengan sebuah makna adalah sebuah tindakan yang heroik. Dalam hidup ini, kita akan selalu dihadapkan pada pilihan. Dan disetiap pilihan itu pulalah selalu ada resiko di dalamnya. Besar kecilnya resiko yang kita dapat, tergantung dari usaha dan pengorbanan masing-masing. Tergantung bagaimana keberanian kita untuk melangkah ke depan.
Novel yang berjudul Tanah Seberang ini terbagi menjadi trilogi di dalamnya. Di mana setiap cerita memiliki sebuah pengajaran hidup yang sangat heroik. Trilogi tersebut dibagi dalam beberapa judul yang setiap judul memiliki sekitar 5-8 sub bab. Cerita Pertama: Dunia di Ufuk Barat, Cerita Kedua: Jiwa dan Tubuh Nusa, Cerita Ketiga: Pilihan untuk Hidup yang Lebih Baik, dan ditambah Cerita Keempat: Trilogi dari Tanah Seberang.

"Jangan kau terus berlari dari apa yang pasti akan kau hadapi. Ia akan terus menerus mengejarmu. Lebih baik kau keluar dan menghadapinya." (Hal. 10)

Pada Cerita pertama, kita akan berkenalan dengan tiga bocah yang menjadi tokoh utamanya. Amran, Imran dan Umar. Tiga bocah yang selalu mendapatkan dongeng tentang Dunia Ufuk Barat dari Tok Mus. Sebuah dongeng yang memberikan mereka tekad kuat untuk melangkah ke Dunia Ufuk Barat tersebut. Namun sepertinya keinginan menggebu mereka harus ditentang oleh Maknya. Mak Nur sangat menentang anak-anaknya keluar dari rumah atau dari desa Raja Alang ini. Keadaan mereka yang sebagai pendatang ilegal membuat Mak Nur selalu bersembunyi dan menjauhi Rela yang bisa saja memulangkannya paksa ke Indonesia. Sedangkan Indonesia terlalu menyimpan luka untuknya. Mak Nur seakan sudah tak punya wajah di Negaranya sendiri. Namun perjalanan tetaplah perjalanan. Memakan waktu yang seakan mendorong kita terus melangkah. Bukan berdiam diri atau malah menghindar. Mak Nur dan ketiga anaknya harus menghadapi Indonesia dan menyelesaikan masalahnya untuk hidup yang lebih baik lagi.

Pada Akhirnya, untuk hidup, seseorang perlu melakukan perjuangan dan pengorbanan. (Hal. 98)

Nusa dan keluarganya adalah warna negara Indonesia yang hidup di Negeri Malaysia. Menjadi seorang ‘Paskibraka adalah cita-cita Nusa sebagai bentuk kecintaannya pada Indonesia tersebut. Mengibarkan bendera merah putih di Negeri orang adalah sebuah tantangan sendiri menurut paskibraka tersebut. Dan saat Nusa mendapatkan cita-citanya, badai menerpa keadaan keluarganya. Nusa dihadapkan pada sebuah pilihan sulit. Melepaskan kewarganegaraan atau merelakan keluarganya mengalami kesulitan hidup? Sebuah pergejolakan batin yang harus dihadapi seorang pemuda yang sangat mencintai tanah airnya meski sebenarnya Nusa lahir di Malaysia, dan tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia.

Tapi, kalau aku, persetan dengan pandangan orang atau reputasiku! Memangnya orang-orang yang menentukan seberapa besar cintaku pada tanah air? Masing-masing orang memiliki cara tersendiri dalam menyatakan cinta, bukan? (Hal. 133)

Di cerita ketiga, Tanah Seberang akan membagikan kisah tentang Langgam. Pemuda yang menghabiskan masa remajanya untuk merawat sang Ayah yang sedang sakit. Langgam harus selalu memahami sang Ayah yang kadang keras kepala dan tidak memperdulikan penyakitnya, dan menjadi pendengar yang baik untuk mendengarkan segalam emosi dari sang Ibu. Langgam berpikir, mungkin ini adalah akibat dari pilihan yang salah, yang diambil tergesa-gesa oleh keluarganya tanpa berpikir masak-masak. Sekali lagi, konfliknya adalah, saat pintu kebebasan terbentang luas di hadapannya, pintu yang menjadikannya orang sukses dan jelas bisa memperbaiki keadaan keluarga, apakah Langgam akan mengambil pintu tersebut sedangkan di sisi lain, keluarganya sangat membutuhkan anak sulung sepertinya? Menganggap dirinya adalah Tentara yang mendapat perintah dari atasan.

"Karena hanya dengan keberhasilanlah, ia bisa menunjukkan bahwa ia adalah seorang prajurit terkuat. (hal. 207) 

Langgam mengambil keputusan dari pilihan yang digenggamnya. Ia hanya ingin menjadi tentara terkuat itu.

Sebagai penutup novel ini, Trilogi Tanah Seberang mengumpulkan semua tokoh dari cerita pertama hingga ketiga. Kehidupan mereka yang ternyata saling berkaitan. Sebuah usaha dan pengorbanan yang besar menjadikan mereka manusia-manusia yang bahagia. Polemik kehidupan mereka seakan menjadi sebuah benang tak kasat mata yang saling menguatkan batin mereka.

Kebahagian sejati hanya akan berhak dimiliki oleh orang-orang yang berjuang dengan bersih. (Hal. 268)

Permasalahan baru yang dihadirkan oleh penulis, membawa Amran, Imran, Umar, Nusa dan Langgam dalam sebuah usaha dan pengorbanan mereka bersama. Hingga saat keberhasilan itu mereka dapat, mereka tahu bahwa inilah sejatinya kebahagiaan. Saling membantu untuk hidup.

Buku ini sangat cocok untuk semua kalangan. Namun ada baiknya bagi pembaca yang masih dibawah umur untuk mendapatkan bimbingan dalam membacanya. Kebangsaan, Nasionalisme dan polemik yang dijabarkan oleh penulis seakan berhasil membuat kita bertanya, "apa yang sudah kita lakukan untuk negara tercinta?"

Probolinggo, 30 November 2018
.

Resensi Sunyi di Dada Sumirah



Doc. Radar Cirebon 9 Desember 2018


Menterjemahkan Kesunyian pada Wanita

Judul                           : Sunyi di Dada Sumirah
Penulis                        : Artie Ahmad
Penerbit                     : Mojok
Terbitan                     : Cetakan Pertama, Agustus 2018
Jumlah halaman        : vii+ 298 Halaman
ISBN                            : 978-602-1318-72-0
Peresensi                   : Agustin Handayani

Sunyi di Dada Sumirah adalah sebuah novel yang terbagi menjadi tiga bagian cerita yang saling berkaitan. Tentang Sunyi dan penolakannya pada takdir, Sumirah dengan kelamnya hidup serta Suntini yang mengalami ketidakadilan dalam hidupnya sampai akhir hayat. Tiga perempuan dalam masa yang berbeda harus menjalani takdir dan kesunyian masing-masing sementara ketidakadilan terus mengiring langkah mereka.

Mereka menilai hidupku seolah-olah aku ini makhluk rekaan mereka, bukan ciptaan Tuhan. Mereka menilaiku dari sisi dunia yang terlanjur rusak ini sampai ke akhirat yang konon firdaus dan Kudus. –Hal. 4

Cerita pada bagian pertama, kita akan berkenalan dengan tokoh bernama Sunyi. Sesuai dengan namanya, Sunyi adalah gadis yang terlahir dari kesunyian sama seperti hidupnya. Menjadi seorang anak PSK tidak bisa dijadikan sebagai sebuah kebanggaan baginya. Bila bisa dilahirkan kembali, Sunyi meminta sebuah kehidupan yang lebih baik lagi. Dalam artian Sunyi memang enggan hidup seperti sekarang ini –mendapat julukan anak PSK.

Hanya Arlen, setidaknya satu sahabatnya yang masih sudi menjadi sahabatnya saat semua orang bahkan menjauhinya setelah menemukan fakta bahwa dirinya anak dari seorang PSK. Dari Sunyi kita belajar menjadi seorang yang kuat dan tegar. Berani dalam mengambil segala tindakan yang dianggapnya benar. Namun Sunyi tetaplah seorang gadis yang juga bisa merasakan cinta. Pada Ram, Sunyi pernah berharap bahwa Ram adalah lelaki yang beda dari lelaki yang pernah ditemuinya.

“Hari ini pemuda sepertimu membuktikan bahwa seseorang yang terlahir di kalangan manusia-manusia martabat tinggi tak menjamin dia bisa tumbuh dalam harga diri yang tinggi pula.” –Hal. 66

Di akhir bagian Sunyi, Ram seakan membuktikan bahwa orang-orang yang bermartabat belum tentu memilih harga diri yang tinggi. Tidak selalu orang kaya akan memiliki budi pekerti yang lebih daripada orang-orang redahan seperti Sunyi.

Pada bagian kedua, kita akan berkenalan dengan Sumirah, ibu dari Sunyi yang kerap disapa Mi. ketikdakadilan hidup juga menyapanya. Hidup di tengah-tengah keluarga yang ditinggal bapaknya sejak dalam kandungan, seorang Emak yang hilang bahkan saat ia masih sangat kecil hingga ia harus hidup dengan si Mbah. Kesalahan Sumirah yang terlalu keukeh menunggu Atmojo untuk kembali dari Jakarta dan melamarnya membuat hidupnya disapa oleh kekelaman yang hampir mengekalkan penderitaannya. Ia dijual oleh lelaki yang ia cintai.

Mengapa di dunia ini ada orang-orang yang mampu menyakiti orang lain hanya karena merasa memiliki derajat lebih baik? Mereka lebih suci dan berjiwa lebih luhur. - Hal. 92

Dan kisah ada bagian terakhir, Suntini. Nenek dari Sunyi yang berarti adalah Ibu dari Sumirah. Mungkin ini adalah akar dari kelamnya kehidupan wanita tiga zaman tersebut. Hidup Suntini bahkan seakan hanya sekedipan mata sebelum akhirnya menghabiskan sisa hidupnya menjadi tawanan dan diasingkan di sebuah desa yang terpencil. Dari Suntini kita belajar bahwa hidup hanya meminta pertolongan pada Tuhan, tidak gampang mengeluh pada setiap permasalahan dan juga selalu kuat untuk bertahan. Suntini selalu memiliki banyak harapan dan memandang semuanya dari sisi baik hingga harapannya luntur bersamaan dengan penyakit yang menyerangnya selama di tempat pengasingan. Saat itu Suntini sudah tak dapat berharap untuk bertemu dengan anaknya lagi, Sumirah.

Dari kisah ketiga wanita dengan masa berbeda yang saling berkaitan tersebut, kesunyian dan ketidakadilan memang nampak sangat menyedihkan. Namun dibalik itu semua terkandung banyak makna yang mana bila kita ingin menelaah lebih dalam lagi, dari kesunyian dan ketidakadilan tersebut kita belajar bagaimana cara memaknai hidup dan memandangnya dari sisi yang mungkin hanya segelintir orang yang paham. Hidup adalah sebuah fase-fase di mana selalu ada perubahan yang lebih baik lagi bila kita mau berusaha dan memaknai semuanya dengan bijak. Seperti perihal membenci dan memaafkan pada hal-hal yang melukai kita, misalnya.

Membenci akan membuat nilai deraja diri akan turun, akan lebih rendah lagi. Memaafkan adalah salah satu cara ampuh untuk mengobati hati yang merasa tersakiti. Hal- 120

Mungkin kita sering menjumpai kisah-kisah pahit dengan tokoh wanita yang malang, tapi seperti yang harus kalian ketahui, ini bukan sekadar potongan kisah perempuan, ini adaah kisah panjang penelusuran makna kesunyian perempuan dari tiga zaman, melintasi tiga generasi untuk menyingkap gelapnya sejarah manusia. Semoga siapapun pembaca yang telah atau akan memiliki buku ini bisa menelaah kisah-kisah kesunyian hidup yang Sunyi, Sumirah dan Suntini alami. Dan sebaik-baiknya novel ini adalah manfaat yang akan didapat oleh pembaca yang budiman.

Probolinggo, 17 Oktober 2018




Kata yang (tak) Sempat Terucap




“Sebenarnya aku memiliki 3 permintaan. Apa kamu bisa mengabulkannya?”
Sika diam. Ia masih menatap sahabatnya dalam. Meski begitu, semua orang tahu ada tatapan penuh arti yang coba Sika berikan pada Dika. Dan Biarkan hanya Dika yang tahu arti tatapan tersebut.
“Apa permintaan kamu?” tanya Sika. Ia biarkan saja saat tangan kokoh Dika merangkulnya. Mungkin ini akan menjadi rangkulan terakhir mereka.
“Pertama, aku ingin kamu bahagia.”
“Pasti,” jawab Sika cepat. Ia tersenyum hingga lesung pipi kanannya terlihat yang semakin menambah manis dirinya.
“Kedua, aku ingin kamu memiliki keluarga yang kamu sayang, seperti aku yang menyayangimu.” Ucapan ini membuat Dika dan Sika sama-sama terdiam. Ada sebuah luka dan harapan yang muncul bersamaan dalam hati masing-masing.
Hidup di sebuah rumah tanpa tahu siapa kedua orang tua masing-masing adalah sebuah kesialan yang tak pernah mereka harapkan. Tidak. Tak seorang pun ingin bertukar posisi dengan mereka.
Dika, lelaki yang dua puluh tahun lalu ditemukan di depan gerbang panti. Hanya dengan selembar kertas bertuliskan permohonan maaf dan sebuah nama untuk dirinya. Saat itu yang Dika tahu bahwa keluarganya tak bisa membesarkan dirinya tanpa sebuah alasan yang jelas.
Sedangkan Sika. Anak yang katanya hasil hubungan gelap seorang pejabat negara dengan seorang janda. Setelah kedua orang tuanya di arak keliling kampung saat ditemukan kumpul kebo, sang Ibu diasingkan sedangkan Pejabat tersebut lepas karena kekuasaan dan uang. Tak ingin menanggung malu, Ibu tersebut selalu mencoba menggugurkan kandungannya. Namun, takdir memang ingin Sika lahir. Meski dalam kebencian sang Ibu dan dibuang ke panti yang sama di mana sudah ada Dika di sana.
Nasib yang hampir sama. Meski semua anak di sini jelas memiliki cerita yang sial menurut masing-masing. Dan pada hari ini, saat Sika harus pergi meninggalkan Dika. Pergi dan memulai kisah yang baru dengan keluarga yang baru dan akan menerima Sika dengan kasih sayang. Lantas Dika bisa apa selain mendoakan?
“Permintaan ketiga?” tanya Sika yang bisa membuyarkan lamunan Dika.
Dika tersenyum. Ia beralih mengusap pipi Sika dengan sayang. “Permintaan terakhir biar aku yang simpan. Karena permintaan ini tidak akan pernah terkabul.”
“Loh, kok gitu?” protes Sika mengembungkan pipinya.
Dika hanya tersenyum. Ia memilih menikmati semua yang masih bisa ia pandang saat ini. Bagaimana merah bibir itu, kulit kuning langsat yang selalu bercahaya, dan rambut hitam legam yang selalu dibiarkan terurai. Esok, Dika paham bahwa apa yang ia pandang sekarang tak akan bisa ia nikmati lagi.
Meski begitu, Dika akan menandai waktu ini. Waktu yang menjadi awal kisah mereka masing-masing, bukan berdua.
***
“Di dunia ini tidak semua kata harus terucap dengan lugas. Ada yang diteriakkan nyaring, berbisik, dan ada pula yang hanya dipendam sendiri.”
“Dan kamu memilih yang terakhir?”
“Eh’em. Aku memilih mengucapkannya lewat hati. Karena aku tahu bahwa terucap atau tidaknya ini, tidak akan pernah mengubah keadaan. Dan aku tak ingin apa yang aku keluarkan percuma.”
“Kamu memang aneh, ya! Andai kamu berbicara dari awal pada Sika tentang cintamu, aku yakin Sika tak akan meninggalkanmu seperti ini. Apalagi sekarang dia sudah menikah.”
Dika hanya tersenyum. Ya, mungkin jika dulu ia berani dan berbicara lebih dulu pada Sika, wanita itu tak akan meninggalkannya. Dan mungkin juga ia memiliki kesempatan lebih. Namun...
“Bagaimana kalo jodoh Sika memang lelaki itu? Aku bisa apa?”
Sekali lagi, Dika mencoba berpikir jernih. Yah, sekuat apapun ia berusaha, tetap saja semesta yang akan menentukan. Bukan ia, bukan Sika, bukan cinta, maupun penyesalannya.
“Jika orang-orang selalu menghindari penyesalan. Maka aku sangat menghormatinya. Karena penyesalan adalah kerja sama antara takdir dan hati,” bisik Dika.
Sedangkan Dito, kawan kerjanya hanya bisa diam dan coba memahami. Ia belum pernah berada di situasi yang rumit seperti Dika, tetapi bila ia berada dalam keadaan seperti itu, ia tak yakin akan berperilaku sama.

Selesai.
Probolinggo, 12 12 2018

Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...