Karya.
Yani
Sebenarnya aku
hanya seorang gadis yang lahir pada sebuah rahim wanita hebat, sama seperti
mereka. Aku pun pernah merasakan manis dan asinnya ASI yang selalu kuminum
setiap hari kala aku kecil. Aku pun pernah merasakan pelukan seorang ibu kala
aku butuh kasih sayang, namun hanya sebatas itu.
Aku seorang
gadis yang belum mengenal Ayah. Setiap hari selalu kubertanya, apa Ayah itu,
Bun?. Namun sebuah isakan kecil yang aku terima. Semakin hari, aku semakin
penasaran. Apakah Ayah itu adalah sesuatu yang selalu membelikanku boneka? Jika
ia, maka Bunda adalah ayah. Bunda selalu memberikanku boneka saat hari ulang
tahun.
Atau, Ayah
adalah orang yang selalu mengantarkanku ke sekolah? Berarti Pak Sum adalaha
ayahku. Beliau selalu mengantarkanku ke sekolah setiap hari. Bahkan dia juga
menjemputku. Tapi aku tahu, dia bukan ayah.
Yang aku
tahu, Ayah adalah gambaran pada kertas gambar yang selalu kalian coret saat
menceritakan sebuah keluarga. Ada anak, Ibu dan satu lagi yang sering kalian panggil
dengan sebutan Ayah.
“Silahkan
ceritakan keluarga kalian!” perintah Bu Rukmini yang menjadi guru TK-ku kala
itu.
Aku masih
ingat jawaban apa yang aku katakan tanpa terkecuali.
“Aku punya
Bunda. Bunda dan aku, hanya itu. Aku belum tahu siapa Ayahku, karena Bunda
berkata bisa jadi Ayah.”
Sorakan dan
ejekan masih panas di telingaku. Puluhan kata hinaan mampu tertangkap oleh telinga.
“Anak haram.
“
“Anak
sundal.”
Aku tak tahu
arti semua kata itu. Hingga aku tanya pada Bunda pada malam harinya.
“Bunda,
Kenapa aku tak punya Ayah?”
Bunda diam. Dapat
kutangkap gelagatnya yang tak nyaman dengan pertanyaanku. Namun kali ini aku
tak mau menyerah. Aku harus mendapatkan jawaban agar aku tahu apa itu Ayah dan
siapa Ayahku.
“Kenapa Yani
bertanya Ayah lagi? Kan Bunda sudah bilang, Bunda bisa jadi Ayah buat Yani,”
ucap Bunda lembut sambil mengelus pipiku yang dulunya masih cubby.
Aku
menggeleng, “Ayah itu laki-laki seperti Vito. Dia bercelana dan berambut
pendek. Kata temen tadi siang, Yani anak haram. Apa anak haram itu Bunda?”
tanyaku sambil mengadu masala tadi pagi.
Tak ada
jawaban. Bunda hanya menyuruhku lekas tidur karena esok harinya masih harus
berangkat sekolah.
Semua seakan
masih segar dalam ingatanku. Kini aku bukan lagi bocah yang selalu merengek dan
bertanya tentang sosok Ayah lagi. Bahkan mungkin aku sudah tak peduli dengan
sosok yang dulunya selalu aku dambakan.
Kini aku
adalah gadis yang telah mengerti arti tentang ejekan dan hinaan teman-teman
kala itu. Bahkan gunjingan tetangga masih dapat aku dengar hingga saat ini. Mereka
selalu bergerombol dan bersuara dengan keras untuk menyindir Bunda yang
kebetulan lewat di depan mereka. Tak punya hati, itu pikiranku kala itu.
“Selingkuhan
yang melahirkan anak haram,”
“Sundal yang
tak pantas dikasihani,”
“Simpanan
pejabat korup,”
Cukup! Dengan
segera aku berlalu masuk ke rumah. Aku sudah tau asal-usul kelahiranku. Bukan hanya
Bunda yang menanggung malu, aku pun begitu. Hinaan it uterus mengikuti
langkahku, bahkan hingga di sekolah.
Kini aku
mengerti siapa aku dan ibuku dimata masyarakat. Tak lain dan tak bukan hanya
keluarga sundal. Bagi Ayah yang tak pernah aku kenal, aku tahu siapa dia. Hanya
seorang pejabant korup yang kini menjadi tahanan NAPI.
Selesai.
Salam Hangat, Nay.