Foto By. Yuanda Isha
Luka Tanah Air
Judul
Buku : Menggerus
Luka Tanah Air
Penulis
:
Komunitas Sastra Nusantara
Penerbit
: Yayasan
Halaman Yuan
Tahun
terbit : Cet.
Pertama, September 2018
Jumlah
Halaman : xiv+68 Halaman
ISBN
: 978-602-61843-7-5
Peresensi
: Agustin
Handayani
Buku
antologi puisi yang berjudul ‘Menggerus Luka Tanah Air’, adalah sebuah antologi
yang disusun oleh sekitar 18 penyair dan penulis di mana terdapat sekitar 32
puisi di dalamnya. Diciptakannya buku ini sebagai bentuk penggalangan dana yang
digagas oleh Komunitas Sastra Nusantara dengan pendirinya Yuanda Isha, penyair
asal Tanjung Pinang yang juga masuk
dalam Penyair KEPRI. Dengan tema sosialnya, semua penyair di
sini mulai menuliskan bagaimana tanah air baik dilihat dari sudut pandang lingkungan
sosial, sejarah, bahkan renungan religiousnya.
Seperti
yang dikatakan oleh Salimi Ahmad (Penulis) yang mengisi endors
antologi ini, “pada hematnya, semua karya puisi yang diciptakan menjurus ke
tema sosial –sadar atau tidak sadar.” ( Hal. 52).
Salimi Ahmad menjelaskan bahwa setiap penyair
dalam karyanya memang bertujuan untuk berbagi. Berbagi rasa dan pemikiran
kepada pembaca. Tidak mungkin penyair menciptakan sebuah puisi tanpa mau
berbagi apa yag ia rasakan atau ia pikirkan.
Dan
dalam antologi ini, samua penyair seakan kompak menceritakan apa yang mereka
rasakan dan lihat tentang luka-luka di tanah air tercinta.
Di kolong jembatan kami
merintih perih, sedangkan engkau di kasur, tidur mendengkur, Tuan. ( Hal. 3)
Puisi
kedua yang dibuka oleh seorang Penyair asal Bojonegoro, Guntur Suyanto. Dalam
puisi singkatnya yang berjudul “Malam Kelam dan Lolongan Anjing” ini, Guntur
seakan membeberkan sebuah kesenjangan social antara kaum atas dan bawah.
Terlihat dari mereka yang berada di kolong jembatan dengan seorang tuan yang
mendengkur di kasur. Ini adalah hal yang faktanya memang sering terjadi di
kehidupan sehari-hari. Masih banyak rakyat bawah yang kadang dalam tidurnya
harus menahan nafsu laparnya. Berselimut kardus di bawah kolong jembatan yang
kadang terazia oleh keamanan karena dianggap sebagai sampah masyarakat dan merusak keindahan jalan. Pernahkah kalian
berpikir bagaimana kerasnya hidup kaum bawah dalam melawan hari-hari yang
semakin kejam mencekamnya?
Sama
halnya yang dibeberkan oleh penyair bernama Ahmad Ridwan Wanderer. Berikut
penggalan puisi yag berjudul “Adakah”
Ranting pohon menjadi atap
Untuk melanjutkan hidup
Rumput mengeja napas mereka yang keluar dari
jembatan tua
Lalu adakah yang mendengar
tangis mereka? (Hal. 23)
Dan
lagi-lagi puisi di dalam antologi Menggores Luka Tanah Air ini menjelaskan
bagaimana sebuah penampakan yang sering kita lihat namun enggan untuk kita selami. Ada banyak mata yang melihat kondisi seperti yang dibeberkan dalam puisi
ini, tapi sayangnya hanya sedikit mata yang mau berbagi dan mengurangi
kemelaratan yang ada.
Dari
kedua puisi yang menjabarkan luka yang sama, masihkah hati kita tak terketuk?
Pertanyaan besarnya adalah, “Apakah kita masih belum peduli dan enggan berbagi
pada mereka yang terluka dan mati di tanah air tercinta ini?”
Maka,
Yuanda Isha sebagai penggagas penggalangan dana ini mulai menjelaskan
keinginannya dimana Yuanda mengajak semua penulis dan penyair untuk berbagi
dengan orang-orang yang sebelumnya enggan kita lihat tersebut. tanpa melepaskan
kepiawaian dalam menulis, semua penyair menyumbangkan puisi terbaik yang
dijadikan sebagai ajang penggalangan dana untuk sebuah panti Asuhan di
Yogyakarta -Sasaran pertama mereka dalam berbagi.
Dalam antologi ini pun, beberapa penyair juga
memperlihatkan bagaimana nasib anak bangsa di luar sana. Seperti yang tercantum
dalam penggalan puisi di bawah ini.
Kami, anak-anak negeri
Semakin terpenjara
Kami terkurung, terhimpit
Seolah tanpa daya untuk bangkit
Kami anak-anak Pertiwi
Terpenjara di Negeri sendiri. (hal. 24)
Rupanya di sini penyair yang bernama pena Mheefrhoodhent
asal jambi lebih menitikberatkan puisinya kepada anak bangsa dan segala keadaan
yang dialami. Memperlihatkan bahwa mimpi-mimpi anak bngsa yang harus terkunci
dalam sebuah ruang tanpa bisa keluar menjadi nyata. Negeri kami belum merdeka,
seperti itulah yang kiranya ingin disampaikan oleh penyair ini. Hanya anak-anak
di kalangan atas dan terpandang yang akan disorot negeri. Sedangkan anak-anak
bangsa yang menuntut ilmu dengan kaki-kaki telanjang harus berusaha mati-matian
agar negeri mau meliriknya barang sedikit saja. Mereka hanya akan dilirik dan
disanjung saat bisa berada di titik
atas. Lantas, apakah mereka harus menjadikan kepala di bawah dan kaki di atas
agar Negeri Pertiwi ini sudi untuk membantunya?
Menurut
saya pribadi, adanya antologi ini dalam masyarakat benar-benar membuktikan
bahwa sastra memang dijadikan ajang untuk saling berbagi. Dengan sebuah tujuan
mulia ini, keberadaan antologi puisi, “Menggerus Luka Tanah Air,” patut
mendapatkan applause dan pujian atas kepedulian tiada tara oleh
para penyair Nusantara dalam
antologi ini. Semoga niatan yang
sudah tercapai ini akan menimbulkan niatan-niatan yang lain para penyair agar
mau berbagai dengan mereka yang belum bisa hidup layak seperti kita.
Probolinggo,
23 September 2018