Alyana, si Gadis Hujan

Yani, Just it


November yang setengah basah. Kemarau memanjang sedangkan hujan melambat. Sudah banyak kekeringan di beberapa desa, bahkan doa-doa dan ritual meminta hujan sudah sering dilakukan. Tahun ini seakan terkena kutukan oleh Tuhan.

Di pojok desa, sebuah rumah sederhana di mana halaman rumahnya berjejer banyak bunga dan pohon rindang. Di dekatnya terdapat sebuah taman di mana seorang gadis sering duduk dan menghabiskan waktunya dengan berbicara pada tumbuhan di pekarangannya. 

"Apa hujan akan datang bersamaan dengan rindu yang tuntas?" Alyana. Nama gadis tersebut.

Ia seperti berada dalam kisah bang Toyib. Menunggu seseorang yang sudah lama tak pernah pulang. Berkali-kali purnama. 

Alyana mulai menyiram bunganya sedikit demi sedikit. Desanya sedang dilanda kekeringan yang panjang. Mereka harus hemat dalam penggunaan air. Untuk mandi dan minum saja mereka harus membeli air galon atau membeli air mentah di kota yang jaraknya begitu jauh. 

"Harus ada kurban. Alam meminta kurban."

Alana diam. Ia mendengarkan beberapa petani yang baru saja pulang membajak sawah. Petani yang selalu mengeluh tentang kapan datangnya hujan. 

"Apakah alam memang butuh kurban seperti kisah Kasada di Bromo?" Alyana bertanya pad dirinya sendiri. 

Ia meninggalkan aktivitasnya. Melangkah ke luar rumah dan meneliti bagaimana keadaan orang-orang tanpa hujan. Mereka kelimpungan. Tanaman banyak yang mati. Krisis air bersih.

Konon, di desa ini terdapat sebuah laut di mana orang terdahulu meminta datangnya hujan. Laut itu selalu menjawab permintaan warga dan turunlah hujan. Namun, akhir-akhir ini Laut seakan membisu. Menulikan telinga pada permohonan warga.

Dan tanpa disadari Alana, kakinya sudah melangkah pelan menuju tempat laut itu berada. Sekitar 8 meter ke arah barat daya. 

Di sanalah laut itu berada. Laut yang tidak pernah dimanfaatkan oleh warga dikarenakan keangkerannya. Laut ini bisa menyeret warga kapan saja dan tidak pernah ada yang memprediksi. 

Alyana memejamkan matanya erat-erat. Bibirnya seakan merapalkan sebuah doa. Hatinya lelah menunggu sang Kekasih yang tak pernah pulang. Hidup sendiri tanpa sebuah kebahagiaan berarti. Apa lagi definisi sepi dalam hidupnya?

Jika Ia bisa bermanfaat bagi orang banyak dan mendatangkan hujan, kenapa tidak ia lakukan saja? Karena hidup dalam kesendirian sama saja mati. 

Dengan sekali tarikan napas, Alyana meloncat ke laut luas tersebut 

Gebyur .  ..
Bersamaan dengan itu, langit mendung dan bergemuruh. Setitik air hujan turun dan membasahi tanah-tanah tandus. 


Tamat.

Pramudya dan Semangat Motivasi

Yani, Just it
Assalamualaikum wr. Wb

Selamat Malam teman-teman penulis!
Pada malam ini, seperti yang telah dijadwalkan bahwa kita akan membahas tentang "Pramudya dan Semangatnya."

Sudah kenalan dengan Pramudya sendiri? Beliau adalah salah satu penulis yang banyak memotivasi penulis sekarang dengan semangatnya. 
Beberapa quotes yang ka tulis bahkan lekang hingga saat ini. Misalnya. 
1. "Menulis adalah sebuah keberanian."

Bagi Pramoedya, menulis adalah sebuah keberanian karena dalam menulis setiap orang bisa mengungkapkan setiap pendapat dan juga pikirannya. Selain itu, keberanian sangat kita butuhkan untuk menerima segala bentuk kritikan dan cacian dari tulisan kita. Tidak ada tulisan yang langsung bagus di awal kali ia lahir. Semua tulisan mengalami proses. Jadi, untuk apa kita takut bila kesuksesan hanya akan datang pada mereka yang berani. 

2. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."
Bagi Pramoedya, menulis berguna untuk membuatnya tetap hidup dalam hidup orang, walaupun ia telah tiada


Dan masih banyak lagi kata-kata penyemangat dari Beliau. 
Di sini saya juga ingin membahas dari sepak terjang seorang Pramudya Ananta sendiri. Bagaimana ia yang saat berada di Buru, ia dilarang menulis. Namun, Pram tidak bisa dicegah. Ia tetap menulis meski dalam kondisi dan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Hingga lahirlah Buku Bumi Manusia yang hingga saat ini sangat viral dan bahkan menjadi film. 
Bagaimana perbandingannya dengan penulis saat ini?

Mungkin karena mereka belum memililki motivasi yang kuat, atau situasi yang terjepit seperti Beliau hingga mereka bisa memilih situasi dan kondisi yang bagaimana untuk menyamankan mereka menulis. Beberapa memilih menulis dan keramaian, keheningan, taman kota, setelah bangun
 tidur, dll.

Bahkan Pramudya bisa menulis meski ia berada di tahanan dengan udara yang sesak. Beliau bisa menciptakan banyak buku yang bermanfaat bagi semua orang.

Maka, saya harap, setelah kita membaca dan mengamati bagaimana seorang Pramudya di masa lampau, kita mulailah memperbaiki diri. Ada beberapa poin yang saya dapat dari kisah Beliau.
1. Berani. Jangan takut ditentang bila tulisanmu tidak sesuai dengan selerea mereka.
2. Mulailah menulis untuk memberi manfaat pada orang lain. Tulisan yang baik adalah tulisan yang bermanfaat bagi orang lain.
3. Menulis untuk Peradaban
4. Menulislah di mana dan kapanpun. 

Mungkin ini hanya materi singkat yang saya rangkum. Dan pastinya akan sangat banyak kekurangan. Maka dari itu, semoga masih ada teman-teman yang bisa sharing dan saling berbagi. Terima kasih

Probolinggo, 19 11 18

Sekilas tentang Penerbitan

Selamat Malam dan salam sejahtera

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas sedikit tentang penerbitan? Apa kegunaan dari penerbitan sendiri?  Bagaimana sistem kerja dari penerbitan? Dan bagaimana cara kita mencari kevalidalitas dari suatu penerbit?

Oke, jadi kita mulai saja, ya!

Berbicara tentang penerbitan jelas saja sudah tidak asing bagi kita semua. Banyak para penulis baik pemula maupun yang sudah terjun lama dalam literasi seakan berkawan dengan penerbitan serta timnya.


Apa penerbitan itu? 
Menurut KBBI, penerbitan adalah proses atau cara menerbitkan suatu karya. Sedangkan penerbitan yang kita kenal adalah 'dapur naskah' di mana naskah mentah kita diolah hingga bisa turun ke pemasaran.

Bagaimana suatu penerbitan bekerja hingga 'memasak' naskah penulis?

Sebelumnya kita harus mengenal dulu beberapa bagian dari penerbitan tersebut.
1. Penulis. Tanpa penulis, naskah tidak akan pernah ada. Yang artinya tidak akan ada bahan mentah untuk dioleh menjadi bahan matang. Penulis di sini bertujuan untuk menulis hingga menghasilkan karya yang akan siap naik ke 'dapur naskah'.

2. Editor. Seperti namanya, editor adalah seseorang yang memiliki keahlian untuk mengedit naskah agar naskah tersebut tidak 'luka/tergore'. Naskah yang mengalami cidera baik di typo, PEUBI/EBI adalah naskah yang luka menurut pembaca. Secara tidak langsung naskah tersebut akan kehilangan unsur nilai estetikanya. Apa yang harus dikuasai oleh seorang editor? Selain menguasai EBI/PEUBI, editor juga harus bisa mempercantik kalimat agar mudah masuk ke dalam pemahaman pembaca. Selebihnya, editor akan melakukan keahliannya sendiri.

3. layouter. Seorang yang memiliki keahlian layout, adalah orang yang sangat laku di pasaran. Kenapa? Karena tidak semua orang bisa menguasai layout. Beberapa keahlian layout bahkan didukung dengan editing. Seorang layoter selain memperindah tata letak naskah, dia juga harus memiliki nilai estetika yang tinggi terhadap penangkapan isi cerita hingga ilustrasi yang mendukungnya. Itulah mengapa kita menganggap layoter sebagai 'jantung dapur'. Karena beberapa layoter juga bisa merangkap editor dan desain grafis dalam pembuatan ilustrasi naskah.

4. Percetakan. Naskah bisa masuk ke dalam percetakan bila sudah diolah oleh layouter. Bisa dibilang percetakan adalah proses akhir dari naskah sebelum masuk ke pemasaran.

5. Marketing dan distributor. Kedua tim ini sangat membantu dalam hal penyebaran karya penulis ke pembaca. Meski di zaman ini, pembaca harus bisa menjadi marketing dan distributor bagi karyanya sendiri. Karena apa? Tidak dapat dipungkiri bahwa penerbitan lebih mencari penulis dengan follower banyak atau bahkan yang sudah memiliki 'branding' di masyarakat agar karyanya bisa laku di pasaran. Karena penerbitan tetap saja memerlukan sistem marketing yang dapat membantu bisnisnya. Bila penulis tersebut sudah cukup dikenal oleh banyak orang, tidak dapat dipungkiri bahwa nantinya penerbitan akan mengincarnya dan melamar naskahnya.

Setelah kita mengetahui tim-tim di dapur naskah, sekarang giliran kita membedakan macam-macam penerbitan.

1. Penerbit Mayor. Kelebihan yang dimiliki oleh penerbit ini adalah naskah kita yang akan terpampang di toko buku nasional seperti Gramedia. Dengan kelebihan tersebut, jelaslah penerbit mayor tidak akan asal-asalan mengambil naskahnya. Mereka akan melalukan seleksi yang ketat dan juga revisi besar-besaran. Meski sebenarnya beberapa penerbit mayor juga membuka jalur penerbit indie untuk penulis yang ingin menerbitkan naskahnya. Bagaimana dengan penerbit indie itu sendiri?
Contoh penerbit mayor yang kita kenal adalah Gramedia, Mizan, Grasindo, Diva, dll

2. Penerbit indie. Penerbitan indie ini lebih dikenal dengan sistem berbayar di mana penulis mengharuskan membayar biaya administrasi untuk mendapatkan pelayanan dari 'dapur naskah' itu sendiri. Berapa biaya minimal penerbit? Bervariasi. Beberapa penerbit indie akan mematok harga kecil karena baru lahir, sedangkan beberapa lagi akan mematok harga fantastis karena mereka percaya diri pada kualitas dapur mereka. Contoh beberapa penerbit indie, yaitu : Inthisar Publishing, Halaman Yuan, Ajrie Publishing, Sintesa Publishing, AE Publishing, Wijaya Publishing, AT Press dengan cabangnya yang sudah lumayan.

3. Self Publishing. Seperti namanya, self publishing adalah penerbitan di mana penulis yang bekerja di dapur naskahnya sendiri. Penulis menjadi seorang editor, layoter, bahkan marketing sendiri. Sedangkan penerbit hanya akan memberi ISBN dan mencetak sesuai permintaan.

Bagaimana cara kita mengetahui kevalidalitas dari suatu penerbit mengingat masih banyak kecurangan yang dilakukan oleh oknum dengan mengakui sebagai penerbit dan membawa kabur naskah penulis. Kita hanya perlu masuk ke dalam web Perpusnas dan mencari nama penerbit tersebut atau mitra penerbit tersebut apabila dalam prises ISBN nya melalukan kerja sama dengan penerbit lain.

Sementara itu yang kita bahas untuk materi penerbitan kali ini. Semoga teman-teman penulis dapat memahami materi kali ini. Terima kasih



Probolinggo, 16 11 2018

Penggunaan Kata 'Di', Seperti Apa?


Gambar dari google.

Materi EBI dan PEUBI pertama yang akan kita bahas adalah penggunaan kata 'di'. Kenapa penggunaan kata 'di' seakan tak pernah bosan dibahas dalam suatu materi kepenulisan? Karena masih banyak penulis baik saya sendiri kadang salah menggunakan 'di' tersebut.

Kapan penggunaan 'di' harus digabung dan 'di' pisah?
Di sini saya akan membahas sedikit penggunaan 'di' yang saya dapat dari teman-teman yang telah berbaik hati untuk berbagi ilmunya.

1. Penggunaan 'di' yang digabung.
Penggunaan 'di' ini biasanya digunakan untuk kata verba (kata kerja) pasif. Ciri khususnya adalah bisa diganti dengan kata 'me-' karena verba pasif pasti memiliki verba aktif. 
Contoh.
1. Dilarang : melarang
2. Ditulis : menulis
3. Dipakai : memakai
4. Dilanggar : melanggar
5. Dibalik : membalik
Dll

2. Penggunaan 'di' yang tidak digabung.
Biasanya kata 'di' ini digunakan untuk menunjukkan tempat. Ciri khusus dari penggunaan 'di' ini adalah dapat diganti dengan kata 'ke/dari' yang juga menjelaskan suatu tempat.
Contoh.
1. Di sana : Ke sana : Dari sana
2. Di mana : Ke mana : Dari mana
3. Di Taman : Ke Taman : Dari Taman
Dll.

Itulah materi singkat tentang penggunaan kata 'di'. Bila ada tambahan bisa di kolom komentar. Terima kasih.

Sebelum Menulis, Lakukanlah Hal-Hal ini!



Selamat Pagi, teman-teman.
Hari ini saya akan membahas seputar awal kita menulis.

Menurut Andrea Hirata, "jika ingin menulis, 99% adalah membaca (riset) sedangkan 1% adalah menulis."

Memang kalimat ini terasa benar di telinga kita. Pembaca memiliki hak untuk mendapatkan bacaan yang bermutu dan berkualitas. Dan seorang penulis bukan hanya mengutamakan kuantitas buku yang ia terbitkan, tapi juga kualitas dari buku tersebut. Jangan biarkan pembaca menimati buku yang kualitasnya belum 'pas'. Bahkan menurut seorang penulis novel 'Bakat Menggonggong', Dea Anugerah. Beliau berkata, "jangan membodohi pembaca dengan hal-hal ringan yang sudah diketahuinya. Buatlah sebuah karya yang memberi manfaat untuk pembaca."

Bagaimana cara membuat karya yang seperti itu? Membacalah. Sebelumnya jadilah pembaca yang baik.

"Good readers is good writers."

Hal kedua yang harus dilakukan oleh seorang penulis selain membaca adalah menulis. Menulis, menulis dan menulis. Tuangkan semua ide dan pemikiranmu dalam tulisan tersebut. Targetkan siapa pembacamu? Berapa rentang usia pembaca (dalam artian sasaran pembaca), apa pesan yang ingin kau sampaikan pada pembaca lewat naskahmu. Itu saja. Naskah yang baik ialah naskah yang sudah tahu ke mana jalannya. Akan kita sodorkan pada siapa naskah kita nantinya. Apakah pada orang tua yang pastinya membutuhkan bacaan parenting, pada remaja dengan kisah romance teenlitnya, atau pada orang-orang yang sedang berjuang dengan buku motivasinya.

Langkah selanjutnya, beberapa penulis memiliki cara sendiri dalam memulai menulis naskahnya. Beberapa akan menulis dalam outline/kerangka karangan dan beberapa lagi langsung menulis apa yang ia pikirkan saat itu. Dan mana yang benar? Semua benar. Tidak ada yang salah. Itu adalah ciri dari setiap penulis. Asal konsisten. Selesaikan naskahmu dan kamu bisa membuat naskah baru. Karena dalam menulis naskah, akan selalu ada rasa bosan, tergiur dengan naskah baru, dan lebih parah adalah buntu ide.



Maka dari itu, mantapkan diri sebelum menulis karya tersebut. Mau seperti apa alur ceritanya, akan seperti apa konflik yang dibawa serta bagaimana endingnya. Bila sudah paham, maka tulislah secepat yang kamu bisa. Karena semakin cepat naskah itu selesai, maka ide pun tak akan cepat hilang.

"Saat menulis, jadilah penulis. Bukan editor." -Ernest

Maksud dari perkataan Ernest sendiri adalah, saat menulis singkirkan dulu ketakutan pada typo, kalimat tidak efektif, atau penggunaan EBI/PEUBI. Kenapa? Karena ide datangnya di waktu yang sangat tak terduga dan singkat. Bila kita terlalu berpikir tentang EBI/PEUBI, bisa dijamin ide akan secepatnya hilang. Tulis semampu kita menulis.

Apa artinya kita tidak harus memperbaiki naskah kita? Siapa bilang? Penulis yang baik adalah editor naskahnya sendiri. Setelah naskah ide kita tuangkan, maka saat itulah kita akan menjadi editor bagi naskah kita sendiri. Karena untuk menjadi editor, kita tidak membutuhkan ide, tapi pengetahuan. Jadi, pandai-pandailah menempatkan diri kapan kita menjadi pembaca, penulis, dan editor.

Inilah materi awal yang bisa saya share kali ini. Semoga bermanfaat bagi teman-teman semua.

Probolinggo, 13 November 2018

Pesan dan Kesan Mengikuti Wicha FLP se-Jatim




Tergabung dalam organisasi Forum Lingkar Pena Probolinggo jelas adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Dalam hati saya berniat untuk turut andil dalam acara dan kegiatan yang diadakan oleh FLP tersebut. 

Hingga saat beberapa kali aktif dalam kegiatan FLP Probolinggo, ketua FLP Probolinggo yang saat ini adalah Kak Rully memberikan informasi terkait adanya program WiCha (Writting Challenge) dan RC (Reading Challenge). 

Mengingat saat itu saya sedang fokus menulis dan jadwal membaca belum beraturan, saya putuskan untuk mengikuti WiCha. Pertama kali di mana perjalanan dalam tantangan menulis di WiCha dimulai.

Beberapa kelas dan cerita suka duka di kelas tersebut.

1. Premiere WiCha : kelas pertama yang menyapa di WiCha. Dengan waktu 30 Hari di mana setiap hari diwajibkan setor jumlah kata yang ditulis, saya merutinkan diri untuk menulis dan setor. Karena dilihat dari beberapa pengalaman teman sekelas, mereka rutin nulis, tapi lupa setoran. Dengan wali kelas Bu Sridaningsih, di sana saya lebih mengenal teman-teman FLP se-Jatim dan sekaligus teman baru

2. Junior WiCha (Kelas Kedua). Kelas ini cukup menantang. Dengan jangka waktu 40 hari, di mana setiap 8 hari diharuskan menulis tulisan bertema baik berupa puisi, cerpen, artikel, dll. Dari kelas ini pun saya belajar menulis artikel, karya yang belum saya kuasai.

3. Senior WiCha (Kelas Ketiga). Kelas di mana saat ini saya berada dan bersiap-siap untuk naik kelas (amin). Dengan jangka waktu 50 hari di mana jumlah kata yang disetor tiap hari pun lumayan banyak, 700 kata. Dengan tantangan tambahan setiap 7 hari sekali membuat tulisan bertema dan mengirimkan karya ke media baik cetak maupun online. Tantangan di sinilah yang menurut saya berhasil membuat saya panas dingin. Karena di kelas ini, selain dari 3 peserta dan tersisa saya sendiri, tema yang diangkat lumayan berat dan kadang harus rela saya lewati. Detik-detik berjuang sendiri yang harus segera saya akhiri. Berjuang sendiri rupanya sangat sepi. 

Kelas selanjutnya, masihkah bisa bertahan? Why not. Kelas Super WiCha, tunggu saja! 

Semoga program WiCha ini terus berjalan dan semakin bisa membantu penulis untuk merutinkan diri menulis setiap hari. Saya pribadi memang sangat terbantu dengan adanya kelas WiCha ini. Karena baik beberapa novel dan Cerpen yang saya terbitkan adalah hasil rutin nulis baik di WiCha dan sebelumnya. 


Inilah kesan dan pesan yang saya alami selama di WiCha. Semoga ke depannya dengan tantangan baru dan lebih menantang, saya bisa menjadi alumnus WiCha dengan lancar. Dan ada baiknya jangan sampai tertinggal kelas meski hanya sekali. 

Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...