Angan Dara



“Aku mungkin bisa hidup meski tanpa dia.” Dara terdiam setelahnya. Dia mengetuk ujung dagunya dan berpikir sejenak. “Iya. Aku bisa hidup tanpa dia, tapi tidak tanpa kamu,” cengirnya setelah itu.
“Kenapa kamu bisa seyakin itu?”
“Hm, mungkin karena dari semua lelaki yang ada, hanya kamu yang rela aku recokin setiap malam, gendongin aku keliling taman kompleks, dan hanya kamu juga yang selalu ngasih aku makan saat aku lupa,” jawab Dara enteng.
Sementara Angan, lelaki yang kini berada di depannya hanya tersenyum tipis. Merasa ajaib juga dengan jawaban Dara yang jauh dari harapannya. Ia kira, Dara akan berkata ‘karena aku mencintaimu’, tapi itu semua memang hanya mimpi bagi Angan.
Dara adalah wanita yang Angan sayangi. Mungkin perasaan yang ia rasakan tidak sepenuhnya bertepuk sebelah tangan. Angan jelas tahu bahwa Dara juga menyayanginya. Meski dalam rasa yang berbeda, hanya sebagai kakak dan pelindung.
“Jadi, dalam artian, kamu nggak akan bisa hidup tanpa aku?” pancing Angan dengan nada menggoda. Namun, anggukan yang ia terima langsung menghentikan cengiran Angan. Ia mengubah mimik wajahnya menjadi serius dan berucap lirih, “aku harap kamu memang nggak akan bisa hidup tanpa aku.”
Dara mendekat. Memposisikan dirinya di depan Angan dan langsung menepuk bahu lelaki itu seakan menyalurkan sebuah energi yang dapat menguatkan Angan. “Aku harap kamu selalu bahagia,” ujar Dara tulus.
Angan tersenyum tipis. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab kalimat yang diberikan oleh Dara. Kalimat doa yang sebenarnya cukup mustahil untuk Angan semogakan. Karena ia sangat paham, bahwa kebahagiaannya bukan dengan cara seperti ini. Kebahagiaannya bukan dengan cara melepaskan Dara untuk menuju kebahagiaanya esok, jelas bukan. Angan tidak akan pernah mampu setegar itu. ia seperti manusia kebanyakan yang memiliki sifat egois. Dan sekali saja, Angan ingin egois dengan memiliki Dara untuk dirinya sendiri.
“Besok kamu harus datang ke acara pernikahanku, ya!” pinta Dara yang berhasil membuyarkan semua hayalan yang berada di atas kata ‘seandainya’.
“Nyatanya, meski kamu nggak bisa hidup tanpa aku, takdirmu memilih dia menjadi teman hidupmu,” batin Angan sendu. Ada perih setiap Angan tahu, bahwa semua yang ingin ia miliki hanya sekadar angan dalam hayalannya. Ia tidak akan mampu meminta semesta menjadikan Dara sebagai teman hidupnya.
Maka, biarlah Angan menitipkan saja segala kenangan, cinta, dan rindu yang ia rasakan pada angin yang selalu datang setiap waktu. Pada rerumputan yang selalu menjadi saksi bahwa ia sedang bersandiwara dan memainkan sebuah lakon berkarakter kuat. Ia menipu semua orang bahwa ia kuat menghadapi hari esok. Hari di mana sebuah ikrar suci akan melayang di ujung doa bersamaan dengan retak segala harapannya. Ia kalah telak.
***
Hari ini Angan sengaja tidur sampai siang. Ia bahkan mengabaikan rengekan adiknya dan teriakan sang abang yang memintanya bersiap untuk menghadiri pernikahan Dara yang sedang digelar di gedung Joyolelono. Katakan saja ia pengecut, tapi itu lebih baik dari pada kedatangannya hanya akan menimbulkan kekacauan. Angan tidak yakin dirinya akan bertindak normal dan santai saat melihat Dara tersenyum bahagia bersama lelaki lain. Ia tidak sebaik itu. Bisa saja ia akan mengamuk dan menghancurkan acara pernikahan itu dengan kebrutalannya.
Angan sudah berniat untuk melanjutkan tidurnya bila saja teleponnya tidak berbunyi nyaring dengan nama ‘Soni’ yang terpampang di layarnya. Dengan malas, Angan segera mengambil ponsel dan menekan tombol hijau.
“Kamu ganggu ak—“
“Kamu di mana?” potong Soni dengan nada panik dari seberang sana.
Angan menjauhkan ponselnya sejenak. Kenapa abangnya nampak panik?
“Di rumah. Kenapa? Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Angan yang mulai khawatir. Ia menyesal juga tidak ikut serta dengan sang abang dan adik ke sana. Bisa saja mereka sedang di jalan dan---
“Dara kecelakaan. Mobil pengantin wanita ditabrak truk hingga sekarang seisi mobil di rawat di Rumah Sakit Dharma Husada dengan kondisi kritis.”
Telinga Angan mendengung. Ia tidak bisa mendengar semuanya dengan jelas. Bukan. Bukan kerena ini memiliki riwayat gangguan pendengaran, hanya saja informasi yang ia terima sangat menyakitkan untuk ia dengar.
“Aku udah hubungin kamu dari tadi. Sekarang cepat kamu ke sini. Dara kritis.”
Ponsel yang Angan pegang terjatuh. Ini bukan mimpi. Semuanya jelas nyata. Maka dengan tangan yang sudah gemetar hebat, Angan segera menyambar jaket dan kunci motornya. Berdoa dalam hati semoga Dara tidak mengalami kondisi buruk. Semoga saja.
Nyatanya, Tuhan kadang tidak mengabulkan semua doa yang kita panjatkan. Ada beberapa hal yang dijadikan ujian bagi manusia sebelum doa-doanya terkabul. Angan merasakannya sat ini. Ia harus menerima kabar buruk keadaan Dara saat sampai di rumah sakit tersebut.
Mama Dara, Irana yang menangis dalam pelukan suaminya. Seorang lelaki dengan bahu bergetar yang seharusnya menjadi suami Dara hari ini. Di depan ruangan yang mungkin tempat di mana Dara dirawat, ada Soni dengan tatapan kosong.
“Dia kritis. Dan mungkin setelah ia sadar, ia akan mengalami kebutaan. Retinanya rusak. Rumah sakit juga tidak memiliki pendonor yang yang cocok untuknya,” jelas Soni dengan suara pelan. Meski tidak begitu akrab dengan Dara, beberapa kali mereka masih saling betegur sapa apabila Angan membawa Dara ke rumahnya.
“Buta?” beo Angan dengan pikiran kosong. Kepalanya terasa berat dan siap meledak dengan informasi yang ia terima saat ini. Apakah tak cukup Tuhan menguji dirinya dengan harus melepaskan Dara bersama lelaki lain? Apakah Angan juga harus ikhlas menerima kenyataan hidup Dara yang jelas tidak akan sama seperti semula? Tidak dapat melihat bagaimana warna-warni dunia. Tidak dapat juga melihat bagaimana bunga yang selalu mereka petik di kebun belakang. Dara juga tidak akan bisa melangkah seriang kemarin.
“Aku akan mendonorkan mataku untuk dia,” ujar Angan yang langsung mendapatkan perhatian dari semua orang di dalam sana, tak terkecuali abangnya sendiri.
“Jangan bodoh!” hardik Soni geram. Ini bukan masalah mendonorkan dan semuanya selesai. Akibat yang ditimbulkan akan mempengaruhi kehidupan Angan setelah ini. Dan sebagai Abang, Soni belum bisa melihat adiknya berkorban terlalu jauh.
“Aku nggak bisa lihat Dara menderita, Bang. Aku mungkin bisa hidup dengan kekurangan aku nantinya, aku kuat. Tapi Dara nggak, Bang. Dia pasti akan frustasi dengan kodisinya. Lagi pula, Dara masih seperti anak kecil.” Angan tertawa kosong sebelum melanjutkan ucapannya, “dia bahkan masih sering nangis saat aku godaian dia. Coba kalian bayangkan! Bagaimana reaksi Dara saat tahu dirinya buta? Aku jelas nggak bisa ngebayangin itu,” jelas Angan dengan aliran air mata di pipinya. Angan menangis dalam ucapannya.
Semua orang kembali menangis. Mereka tidak dapat melontarkan apa-apa untuk menjadi jawaban dari penjelasan Angan. Karena semua orang tahu bahwa semuanya benar. Dara belum sekuat itu untuk menerima semuanya.
“Baiklah. Jika kamu mau mengorbankan semuanya.” Soni mengucapkannya dengan nada pelan. Mungkin sebagian hatinya berharap Angan tidak akan mendengar ucapannya. Namun saat melihat Angan yang tersenyum senang, Soni yakin ia akan menyesali persetujuannya barusan.
“Terima kasih, Bang. Aku hanya ingin mengorbankan sesuatu untuk orang yang aku cintai. Mungkin aku tidak akan bisa menemaninya seumur hidup, tapi mata ini akan menjadi bagian dari hidupnya dan itu sudah lebih dari cukup,” jelas Angan dengan nada pelan agar hanya Soni yang mendengarnyua. Karena tidak ada yang tahu bagaimana perasaannya pada Dara selama ini selain abangnya.
Cukup hari ini saja ia mengungkapkan perasaannya. Esok, ia harus semakin kuat menutupnya agar tidak merusak kebahagian Dara. Cukup ia menjadi salah satu bagian tubuh orang yang ia cinta, itu sudah cukup. Setidaknya ia pernah berkorban demi orang yang ia cinta.
Selesai.
Probolinggo, 13 februari 2019


Love Rules : Manisnya Cinta dan Peraturannya




Judul                : Love Rules
Penulis             : Alfiana Trisnawati
Penerbit           : Cabaca.id
Jumlah Bab      : 16 Bab
Peresensi         : Agustin Handayani

Blurb.
Cowok itu terkenal karena kencan tujuh harinya.
Meski singkat, semua bisa didapatkan.
Tutur kata lemah lembut.
Perhatian.
Intinya, dalam tujuh hari, cewek mana pun di sekolah ini akan diperlakukan olehnya seperti tuan putri.
Cowok itu juga punya beberapa aturan khusus dalam kencan tujuh harinya.
Mulai dari tidak adanya kontak fisik yang berlebihan sampai dilarang mengganggunya ketika masa kencan telah usai.
Tidak ada yang dapat mengaturnya.
Sampai kemudian cintalah yang mengaturnya.

Semua orang mengenalnya.
Cowok itu bernama... Ardian.

Review
Ada yang tidak biasa dengan cerita jatuh cinta dalam novel Love Rules karya Alfiana ini. Di sini, seakan ada hukum atau bisa kita sebut dengan sistem hubungan dalam pacaran ; Pacaran Seminggu. Tokoh Ardian Syaputra, lelaki paling manis, perhatian dan penuh kasih sayang. Ardian lah yang menjadi pelaku dari system konyol tersebut. Di mana ia akan jadian di hari rabu dan putus setelah seminggu setelahnya. Aneh dan menggelitik.
Mungkin itu juga yang dirasakan oleh kapten basket puteri bernama Alfika ini. Perempuan yang terkenal dengan sorot mata yang tajam, tegas, kulit kecoklatan yang malah nampak eksotis namun juga manis secara bersamaan. Menurut Alfika, Ardian benar-benar cowok yang brengsek dan suka memainkan perasaan wanita. Bagaimana bisa kita bermain dengan cinta dan menerima saja semua wanita yang telah menembaknya pada hari tersebut. Meski sebenarnya, ada beberapa peraturan yang Ardian buat dalam hubungan seminggunya.
“Pertama, tidak ada selingkuh. Aku tidak menerima alasan  apa pun jika Kakak selingkuh.” – Bab 6
Cukup adil. Meski dalam tempo seminggu, aturan yang Ardian buat logis dan tidak menyakiti siapapun. Dia akan terus bersikap baik dan manis terhadap semua wanita yang ia kencani. Namun, bagaimana jika ternyata sikap yang ia tunjukkan pada Alfika malah berbeda? Ardian seakan dengan sengaja sering  melakukan kontak fisik dengannya. Padahal menurut Gina –sahabat Alfika- kontak fisik dengan Ardian hanya sampai pegangan tangan. Apakah ini pertanda Ardian mencintai Alfika?
Novel ini bukan melulu tentang kisah cinta. Ada kisah persahabatan yang sangat kental di dalamnya. Tentang Alfika, Gina dan juga Bani. Tiga sahabat yang saling menguatkan dan juga memahami satu sama lain. Hal ini bisa dilihat dari sikap Bani yang mengenal baik bagaimana saat sahabatnya –Alfika- sedang gugup saat menghadapi pertandingan. Meski mereka berdua cenderung saling adu mulut dan jarang akur, persahabatn mereka malah terkesan manis dan kuat.
Poin tambahan dari novel ini adalah penggambaran tentang permainan basket yang sangat pas. Bagaimana penulis seakan memang sudah hapal betul bagaimana dunia baskat itu sendiri. Dari hal gerakan, posisi dan juga tournament. Sebagai pembaca, jelas kita akan paham bahwa novel ini bukan hanya menjadikan dunia basket sebagai ‘tempelan’ saja.
Kembali pada kisah Ardian dan Alfika, saat dipertengah, penulis seakan menggiring kita pada penyebab system konyol tersebut sekaligus luka yang Ardian alami di masa lalu. Jadi, pertanyaannya siapa Nirmala itu? Apakah hubungan Nirmala dengan Ardian di masa lalu? Apakah Nirmala masih memiliki pengaruh besar dalam hidup lelaki tersebut? Jadi, apa yang bisa Alfika lakukan sekarang setelah mengetahui semua rahasia masa lalu Ardian dan Nirmal?
“Rasanya… kita dipertemukan dalam waktu dan keadaan yang tidak tepat.” –Bab 15
Pertanyaannya, bagaimana saat mereka kembali dipertemukan dalam waktu dan kondisi yang berbeda? Setidaknya kondisi yang lebih baik tanpa adanya bayang-bayang luka masa lalu dan juga aturan ‘Pacarana Tujuh Hari’? mungkin semuanya bisa lebih baik.
Jadi, bagi teman-teman yang penasaran dengan kisah Alfika dan Ardian bisa baca kisah Love Rules ini di app Cabaca.id yang bisa di download terlebih dahulu di play store. Silahkan nikmati bagaimana system pacaran ala Ardian yang benar-benar menggelitik dan menggelikan sekaligus.

Probolinggo, 22 Februari 2019

Jemput Terbawa ; Kisah-Kisah dari Tukang Kaba

Images. Teguh Wibowo 




Judul                : Jemput Terbawa
Penulis             : Pinto Anugrah
Penerbit           : Buku Mojok
Terbitan          : Maret, 2018
Halaman         : iv+206 hlm.
ISBN               : 978-602-1318-62-1
Peresensi         : Agustin Handayani
Penulis bernama Pinto Anugrah. Lelaki yang lahir di lereng Gunung Merapi ini benar-benar membawa sebuah gebrakan baru dalam penyampain sebuah cerita. Penulis seakan menunjukkan bahwa sebuah alur cerita tidak melulu bercerita tentang seorang tokoh utama dan yang lainnya adalah sampingan. Namun, penulis memberikan sebuah awalan sebagai pemancing bagaimana pembaca yang biasanya langsung menerka bahwa kisah ini pasti akan berjalan seperti ini atau ah, pasti tokoh ini yang menjadi pemeran utama. Ternyata, Pinto segera membuat kita bertanya-tanya, mau ke mana arah jalan cerita ini.
“Kisah orang kami kabarkan, dusta orang, kamu tidak ikut serta.” –Hal. 4
Di sini kita akan berkenalan dengan Tukang Kaba. Konon, Tukang Kaba adalah seorang dengan saluang yang selalu ia bawa ke mana-mana. Ia akan mendendangkan sebuah kisah kepada orang-orang dengan alunan musik yang menyayat. Bahkan pada zaman Junjungan Puti Panjang Rambut. Seorang Raja Perempuan yang tangguh dan sangat dihormati di negerinya. Di sinilah, Tukang Kaba akan memerankan lakonnya sebagai pendendang yang mampu membuat rakyat percaya akan asal muasal kehamilan dari Puti Panjang Rambut.
“Bundo kandung adalah bunda dari segala bunda, ibu dari segala ibu, seperti tanah ini. Tahan Pangkal Pulau Perca.” –Hal. 162
Dan dari saat itu, Bunda adalah pangkal garis sebuah keturunan, dan bukan kepada bapak lagi.
Selain kisah Puti Panjang Rambut, novel ini juga membawa beberapa kisah yang sebenarnya bila kita cermati lagi, sama-sama memiliki benang merahnya. Tentang sebuah perang yang kira-kira terjadi pada saat masa pemerintahan Soekarno. Di mana ada beberapa gerombolan yang memberontak. Di sinilah sebuah kisah Nurselah terjadi. Seorang isteri dari Pajatu yang tengah berjalan ke pengungsian, tetapi di tengah jalan malah ditangkap oleh Tentera Pusat. Dan sial bagi Nurselah dan teman-temannya yang harus disiksa bahkan beberapa tak bernyawa. Dan sebuah siksaan yang diterima oleh Nurselah adalah sebuah kehamilan tanpa tahu siapa bapak dari janinnya.
Di kisah yang menurutku adalah sebuah kisah ketiga, atau kisah terakhir dari novel ini adalah anak dari Nurselah sendiri, Laya. Kisah dari wanita ini memang tidak jauh dari kisah tiga wanita sebelumnya. Memiliki sebuah peran sendiri. Hamil dengan orang yang bukan suaminya. Laya juga dihamili oleh Mak Ujang. Lelaki yang ikut merawat Nurselah. Karena kehamilannya, Laya harus hidup di hutan dan menghindar dari sikap warga yang seakan memusuhinya. Hanya karena Laya adalah anak dari Nurselah, wanita cacat yang dikira belum pernah menikah sebelumnya.
Seorang Kaba hanya bertugas mendendangkan sebuah kisah kepada orang-orang. Ia mengarang cerita dengan sedemikian rupa, menyayat-nyayat di awal hingga seperti roda yang selalu berputar. Selalu ada kisah yang indah di akhir hidupnya. Atau bisa saja. Tukang Kaba memberikan kisah yang menggembirakan hati, tetapi berakhir dengan tangisan air mata. Itulah tugas dari Tukang Kaba yang selalu membawa saluangnya.
Aku sempat berpikir, mungkin tiga kisah ini adalah jebakan dari seorang penulis. Dan pembaca lainya juga akan berpikir sama saat mendekati akhir cerita. Dan bisa saja, penulis di sini berperan sebagai Tukang Kaba itu sendiri. Penulis dalam tubuh Tukang Kaba membawa tiga kisah seorang wanita yang memiliki kisah kesakitan dan menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Dan dari tiga kisah itu pun, kita bisa memetik satu intisari yang mungkin disuratkan Penulis dalam novel ini.
Oh, kisah mana lagi yang hendak dikabarkan, biarlah tukang kaba yang menyampaikan. Seperih apa pun penderitaan hidup, tidak akan jadi perih di tangan tukang kaba. Berikanlah segala perihnya pada tukang kaba, agar mampu digubah menjadi kisah-kisah yang menyenangkan hati, kisah-kisah yang membangun mimpi dan harapan.” –Hal. 204
Dan, bagi kita semua, mari kita dengarkan dan nikmati bagaimana penulis dalam tubuh tukang kaba mendendangkan kisah-kisah yang menyayat ini dan menggubahnya menjadi penuh cinta, itulah tujuan dari Tukang Kaba itu sendiri. Kesuksesan tukang kaba dalam berdendang, adalah kesuksesan penulis yang mmebawa pembaca masuk dan ikut merasakan keperihan hidup dalam tiga wanita tersebut.
Probolinggo, 26 Januari 2019


Sweetly Broken; Patah dan Jatuh Cinta



Judul buku               : Sweetly Broken   
Penulis                     : Dadan Erlangga
Editor                      : Irna Permanasari
Penerbit                   : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan                   : pertama, 2018
Tebal buku               : 256 hlm; 20 cm
ISBN                        : 978-602-03-8196-1


BLURB:
    Pengalaman patah hati hingga berdarah-darah, membuat Lara Doris Hartono menutup hati dan menetapkan aturan konyol saat bertemu pria tampan, bersikap dingin dan tak peduli serta jangan pernah menunjukkan kekaguman dan ketertarikan sedikit pun.

    Namun, saat pertama kali bertemu Dias Adji Nugroho, Lara nyaris melanggar aturan tersebut. Padahal, ia pernah bersumpah akan menghajar pria itu karena tayangan di akun Instagram Dias yang menjelek-jelekkan wedding organizer milik Lara. Sekuat apa pun mengelak, Lara mendapati dirinya luluh dalam dekapan kokoh pria itu.

    Ketika Lara sedang menikmati kebahagiaan bersama Dias, seseorang dari masa lalunya muncul. Aryoza Megantara, mantan terindah semasa SMA yang tak pernah benar-benar meninggalkan sudut hatinya.

    Untuk kali ini saja, Lara tergoda untuk meraih kembali apa yang pernah hilang dari masa lalunya bersama Yoza. Namun, apakah itu sepadan jika harga yang akan ia bayar adalah kehilangan Dias untuk selamanya...?

Resensi :
berbicara tentang makna patah hati termanis adalah jika setelahnya kita bisa bertemud engan cinta yang lebih baik dan bisa mengobati luka lama dengan luapan kasih sayang. Seperti yang dikisahkan dalam novel motropop ini. Penulis yang berjenis kelamin lelaki –Dadan Erlangga- sangat berani mengambil sudut pandang pertama sebagai tokoh Lara dalam novelnya. Seperti yang kita ketahui bahwa cara berpikir antara wanita dan lelaki jelas berbeda. Lelaki yang cenderung logis dan wanita yang lebih dramatis. Dan saat kita tahu bahwa penulis bisa masuk ke dalam pikiran toloh wanita, saya benar-benar salut pada gaya penyampaiannya.
“Setiap orang pernah tolol sebelum menjadi lebih pintar dan tangguh.” – hal. 11
Bagi Lara, ada banyak prinsip yang harus ia jaga saat berhubungan dengan lelaki. Terutama prinsip harga diri. Memiliki masalah cinta yang rumit saat remaja hingga sebuah rahasia yang masih tersusun rapat, sekarang Lara lebih berhati-hati untuk meletakkan hatinya pada lelaki. Dan saat pertama kali ia mengenal Dias, lelaki yang sangat tampan dengan senyum manis, sata itulah Lara seakan kehilangan control dirinya. Hatinya seakan bertindak semaunya hingga prinsip yang ia susun dengan matang tak berarti apapun. Dan menurut Zaky dan Nana –sahabat Lara- Dias sudah menaruh hati padanya saat pertama kali bertemu. Meski awalnya perkenalan mereka tidak baik yang dibumbui dengan drama, akhirnya mereka bisa menjadi sepasang teman meski dalam diam-diam menyimpan segenap perasaan.
“Curhat itu kebutuhan psikologis menusia yang harus terpenuhi untuk tetap menjaga kewarasan jiwa.” –Hal. 82
Sisi persahabatan yang disajikan oleh Nana dan Lara benar-benar bisa menjadi bahan renungan dan contoh untuk semua orang. Bagaimana kita yang harusnya bertindak pada orang-orang terutama sahabat. Saling berbagi dan keluh kesah bukan berarti kita lemah, hanya saja itu adalah kebutuhan. Seperti yang dilakukan Lara saat ia bertemu kembali dengan mantan pacar terindahnya saat SMA. Pertemuaan mereka benar-benar tidak menyenangkan. Karena Yoza yang ternyata sedang menyiapkan pernikahannya dengan Clara 6 bulan lagi. Dan sebagai bentuk profesionalitas, Lara menerima tawaran untuk menjadi WO dari pasangan tersebut. Meski setiap hari, semua terasa berat untuk Lara. Tak bisa ia bohongi bahwa masih ada rasa cinta dan cemburu secara bersmaan saat melihat Clara yang sangat mersa pada Yoza. Sementara kehadiran Dias, sejenak tiada arti bagi Lara.

Dan saat rahasia terkuak tentang masa lalu Yoza, Lara dan keluarga masing-masing, Lara sempat berpikir apakah ini takdirnya untuk bersama lagi dengan Yoza? Tapi, bagaimana dengan Dias yang selalu bisa menenangkan hatinya?

“Mungkin itu yang namanya takdir. Sekeras apapun kita berusaha menghindar, pada akhirnya takdir akan menemui kita sesuai ketetapan-Nya.” Hal. 105

Dan terakhir, novel ini sangat memiliki tingkat keseruan yang sangat bagus. Pembaca mendapatkan banyak pengetahuan tentang music, WO dan beberapa ilmu fotografi dari masing-masing peran. Bisa dikatakan, Dadan berhasil dan sukses dalam menulis novel ini. Ditambah dengan kata-kata puitisnya, cinta dan patah hati memang menjadi dua sisi tangan yang selalu bersama.

Probolinggo, 20 Februari 2019


Perpisahan


Bisakah dunia berjalan seperti negeri dongeng di mana kecupan menjadi pengobat segalanya.
"Aku nggak mungkin bisa menemani kamu seumur hidup." Kepalanya menggeleng pelan. Ia semakin menatap mantap wanita yang kini duduk di sebelahnya. "Tapi, aku bisa menghabiskan umurku denganmu, apa itu sudah cukup?" ujarnya lagi

Wanita di depannya menoleh. Ada sembab di kedua matanya. Bahkan aliran air mata di pipinya masih serupa jalan bagi para semut. Dia adalah Anggun.

Pada sore yang mendung, Anggun dan Dimas sedang duduk di bawah sebuah pohon yang rindang. Sebentar lagi akan hujan, mungkin langit sedang menabung air yang akan ditumpahkan ke bumi. Mungkin lagi, dapur langit sedang sibuk dengan bawang merah agar semua Dewa di sana menangis dan airnya jatuh ke bumi. Itu adalah kemungkinan yang sedang dipikirkan Anggun.

Namun, sebenarnya bukan ini yang menjadi pokok pikiran kali ini. Ini tentang Dimas yang membawa segenggam bunga-bunga melati di tangannya. Ada sekotak cokelat dan selembar surat berwarna merah jambu. Semuanya berbau sama, perpisahan.

"Apa gunanya kita bersama, kalo kamu nggak bisa jadi milik aku seutuhnya," ujar Anggun dengan isakan kecil yang masih tersisa.

Dimas menggenggam kedua tangannya. Memberikan sebuah kekuatan agar Anggun bisa lebih tegar dan percaya bahwa semuanya bisa mereka lalui.

"Aku nggak mampu melawan takdir. Nyatanya, sekuat apapun aku berusaha, keajaiban Tidak pernah datang."

"Tapi, aku belum bisa merelakan kamu," ujar Anggun pilu. Ada nada berat yang selaras dengan hatinya. Mana mungkin ia bisa melepaskan kepergian seseorang yang sudah lama berada di hatinya. Itu sangat mustahil. Lagi pula, Anggun sudah memiliki impian untuk bersama Dimas sampai mereka sama-sama menutup mata.

Terdengar helaan napas kasar. Dimas meraup wajahnya yang mulai kusut. Ini sudah pukul lima sore. Setengah jam lagi, ia harus pergi dan mau bagaimanapun, Anggun harus merelakannya.

Memang tidak ada yang mudah dalam sebuah keikhlasan. Namun, kita juga tidak bisa membiarkan hati dimakan oleh segala perasaan yang menyakitkan. Berlapang dada mungkin menjadi salah satu alasan kita untuk mulai bahagia.

"Aku harus cepat pergi. Ini mungkin jadi pertemuan terakhir kita. Namun, jika besok keajaiban datang, aku harap sisa umurku bisa terisi oleh kamu lagi," ujar Dimas nanar.

Anggun menggelengkan kepalanya pelan. Menolak kepergian Dimas. Namun, ada sebagian kecil hatinya ingin agar kepergian Dimas bisa membawa lembaran baru untuk mereka

"Kamu harus sembuh dan janji kembali lagi ke aku!" perintah Anggun.

Dimas tersenyum sebelum berkata, "bagi seseorang yang hanya memiliki 10% peluang hidup, aku nggak bisa berjanji."

Dan tangis Anggun semakin pecah. Ia memeluk badan yang semakin kurus itu. Wajah Dimas semakin pucat karena terlalu lama di luar sedangkan tubuhnya harus selalu dipantau dokter. Hidup Dimas sudah terlalu sering bergantung pada obat-obatan. Apakah Tuhan tidak memberikan Dimas kesempatan untuk terbebas dari obat tersebut?

Dalam hati, Anggun selalu bertanya, bisakah kali ini keajaiban datang pada mereka yang percaya? Bisakah sekali saja, ia hidup di negeri dongeng di mana sebuah kecupan berhasil menyembuhkan segalanya. Andai bisa ...

Probolinggo, 14 Februari 2019

Bintang





Aku mulai melangkah dengan pelan lagi. Seakan baru saja belajar berlatih melangkah seperti anak kecil yang belum genap berumur setahun. Mungkin juga orang-orang yang kini sedang menatapku tengah mencibir dalam hatinya. Bahkan anak berumur tiga tahun saja sudah berlari mengitari pancuran di taman. Hal ini benar-benar membuatku iri.
Namun apa daya. Inilah keadaanku. Selama tiga tahun hidup dalam kelumpuhan akibat sebuah kecelakaan beruntun yang menewaskan orang tuaku, aku hidup bersama bibi yang sangat mengasihaniku. Seorang wanita yang mungkin sudah hampir memasuki setengah abad, dengan lesung pipi dan gigi kelincinya. Tidak akan ada yang mengira bahwa ia berumur sekian bila dilihat dari kecantikan wajahnya. Aku pun sempat tertipu dan tak percaya dengan umur beliau. Namun, itulah kenyataannya.
"Bintang! Ayo makan!" Teriakan itu berhasil membuatku menoleh dengan senyum mengembang. Itu adalah suara dari Rama. Anak dari bibi Sinta yang menampungku selama ini. Dan mungkin saja, Rama jugalah yang menjadi alasanku untuk bangkit dan sembuh.
"Bentar!" teriakku tak kalah lantang. Dengan hati-hati, aku menapaki rumput taman dengan perlahan. Sejak tadi, aku memang tak memakai sandal atau alas kaki lainnya. Anggap saja aku sedang melakukan terapi. Karena Kata dokter, aku memang harus sering-sering menapak tanah agar saraf di kaki cepat bisa merespon dan tidak kaku seperti sebelumnya.
Baru beberapa langkah, aku merasakan badanku melayang. Otomatis aku terpekik dan hampir saja memukul siapa orang yang lancang mengangetkan aku, tetapi urung saat melihat wajah Rama yang jaraknya sangat dekat denganku.
"Kamu lama. Aku sudah lapar banget," gerutunya yang bahkan helaan napasnya terdengar jelas di telingaku. Jarak kami terlalu dekat. Dan ini benar-benar tak baik untuk kesehatan jantungku.
"Maaf," cicitku dan semakin masuk ke dalam gendongannya. Aku paling tak suka digendong, tetapi gendongan Rama jelas terasa lain. Ada rasa nyaman dan aman yang menjadi satu di sana. Dan aku suka dengan gendongannya.
"Sampai mana perkembanganmu?" tanya Rama setelah berhasil membawaku dan mendudukkan di sebuah karpet yang ia bawa untuk acara piknik kami kali ini.
Hanya ada aku dan Rama. Paman dan bibi harus berangkat ke Bali pagi-pagi sekali untuk mengevaluasi resort di sana. Dan untuk mengusir kejenuhan, Rama mengajakku piknik sekalian terapi di alam terbuka. Aku menyutujui usulannya. Aku pun ingin segera sembuh dan meraih cita-citaku terutama memantaskan diri bersanding dengan Rama. Katakan saja itu adalah bunga tidur. Karena nyatanya, takdir tak pernah mengizinkan kami bersatu. Dengan banyak alasan, aku hanya mampu mengaguminya dari jauh.
"Sudah lumayan. Aku mulai merasakan saraf kakiku bekerja," jawabku seraya mengambil buah yang sudah ia kupas.
Terlihat Rama mengangguk dengan binar puas di matanya. Aku paham, Rama sangat mendukung kesembuhanku. Ia sangat ingin aku segera menjadi Bintang seperti dulu lagi. Bintang yang kuat, bersinar dan semangat.
Lama kami saling fokus dengan santapan yang terhidang. Semilir angin sore benar-benar menjadi selimut kenyamanan bagi kami. Gumpalan awan di langit seakan berbentuk hewan-hewan yang berlarian yang menghiasi birunya semesta.
Aku menikmati bagaimana rumput dengan gemulainya mengikuti angin yang bergerak di sekitarnya. Semuanya nampak damai dan menenangkan. Namun tidak dengan hatiku yang sejak tadi berdetak liar. Ini pasti karena Rama.
"Bin?"
Aku menoleh dan mendapati Rama yang memandangku lekat. "Ada apa?" tanyaku penasaran.
"Hmm, gini. Besok, aku akan ke Paris," ujar Rama dengan suara yang terbata.
Aku tercekat. Paris? Luar Negeri? Untuk apa?
Aku jelas-jelas kaget. Sebelumnya Rama tidak pernah bercerita apa-apa tentang Paris dan tujuannya ke sana. Dan berita ini benar-benar seperti bom waktu bagiku. Meledak tepat di wajahku bahkan saat aku belum siap menerimanya.
"Aku mau lanjutin S2 ku di sana. Dan besok mungkin aku akan berangkat."
"Secepat itu?" tanyaku kaget.
Rama mengangguk pelan.
Aku tertawa miris. Sepertinya memang hanya aku yang berat melepaskannya. Rama malah terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada gurat sedih di wajahnya. Apa memang hanya aku yang selalu menderita?
"Oh, oke. Kamu baik-baik di sana," ujarku untuk terakhir kalinya. Setelah itu, aku lebih banyak diam. Tak menghiraukan ajakan Rama untuk keluar dan jalan-jalan. Menurutku semua sama saja. Rama tetap akan meninggalkan. Tidak ada bedanya besok ataupun sekarang.
Aku memang hanya bisa sendiri. Iya. Aku memang harus berdiri sendiri dan terbiasa. Seperti kata pepatah, 'jangan bersandar pada manusia, karena saat ia bergerak, kita bisa jatuh.'
Mungkin merelakan memang tidak akan pernah mudah, tapi bukan berarti aku tak bisa. Rama ke Paris untuk masa depannya. Untuk menapaki tangga kehidupan yang lebih tinggi. Seharusnya aku mendukung dan bangga pada dirinya. Itu seharusnya bila andai saja aku tak jatuh hati.

Probolinggo, 13 Februari 2019

Cinta (tak) Bertuan




"Lo beneran suka sama dia?" Vina bertanya dengan nada tak percayanya.

Sedangkan Dini mengangguk santai. Ia memang sangat mencintai lelaki yang dimaksud oleh Vina. Lelaki yang menjadi objek perbincangan pada sore kali ini. Pohon, dan bunga di taman seakan ikut bergosip ria tentang lelaki yang berhasil mencuri hati wanita cantik ini.

"Lo pikir ulang deh," ujar Vina dengan nada memerintah.

"Andai bisa." Dini menghembuskan napasnya pelan. "Masalahnya cinta itu dari sini, bukan dari ini," lanjutnya dengan menunjuk hati dan otaknya bergilir.

Mereka sama-sama diam. Semuanya tahu bagaimana cinta dapat timbul. Tak ada yang bisa mengontrol kedatangannya. Kita tidak pernah tahu kepada siapa, kapan, dan kenapa kita jatuh cinta. Kita hanya sadar bahwa kita jatuh cinta dan tidak ingin kehilangan orang tersebut. Meski kadang beberapa orang mengalami sindrom penyesalan.

"Gue paham cinta gue salah. Tapi gue juga nggak bisa cegah semua itu. Hati bergerak duluan dari logika," lirih Dini lesu. Suaranya melemah dengan pikiran yang berkelana seakan mencari satu orang saja yang mau membelanya tentang cinta yang ia rasakan. Ia tak bisa terus menerus seperti ini. Cintanya telah dipandang salah oleh orang lain. Dan, hatinya semakin menebal tanpa mau menerima perintah move on.

"Lo bener-bener cinta sama dia?" Vina menanyakan pertanyaan yang sama entah sudah keberapa kalinya. Dia hanya berharap Dini bisa mengubah haluan perasaannya. Meski sangat sulit dan bisa saja tidak mungkin.

Dini terlihat menghembuskan napasnya lelah. Ia menoleh ke arah Vina dan menatap kedua netra sahabatnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Gue pengen bahagia. Tapi jika kebahagiaan gue harus dengan mencintai dia, gue bisa apa?"

Vina langsung memeluk sahabatnya. Ia tahu bagaimana perih itu menyiksa. Bagiamana suara lirihnya terkesan putus asa. Semua orang pernah di posisi tersebut. Semua orang pernah merasakan bagaimana saat hidupnya serasa dipermainkan cinta dan ditendang bagai bola oleh orang yang menjadi setengah napas kita. Semua orang pernah merasakan duka dan cinta.

"Tapi, meski hati gue memilih dia, ada banyak hal-hal yang mengharuskan gue melupakannya. Ini tentang norma," ujar Dini pedih.

Vina semakin mengeratkan pelukannya. Ia paham, sangat tahu bagaimana sakitnya itu.

"Gue selalu dukung lo. Apapun yang lo lakuin. Gue ada di belakang lo," ucap Vina memberi semangat.

Sementara setetes air mata lolos tanpa dikehendaki si empunya. Dini sudah berjanji tidak akan menangis seperih apapun sakitnya. Ia harus kuat. Meski kadang cinta sangat sakit dan perih, tapi jangan sekali-kali air mata turun hanya untuk menjadi simbol kesedihan dan kelemahan diri.

"Gue nggak bisa mencintai dia. Gue nggak bisa miliki dia. Kenapa?"

"Lo kuat, Din. Inget! Besok lo harus tampil cantik dan bahagia. Seseorang yang lo cintai, besok akan menjadi kakak ipar lo," ujar Vina dan semakin menampar Dini dengan kenyataan yang sangat menyakitkan.

"Rasanya gua bakal mati. Gue nggak sanggup," jawab Dini. Ia melepaskan pelukan Vina dan menatap sahabatnya dengan tatapan terluka yang tak dapat dielakkan.

"Gue pengen ikhlasin dia buat Kak Maya. Tapi, kenapa hati gue berat. Apa cinta memang nggak selalu happy ending?"

Vina tak mampu menjawab. Ia hanya bisa menarik Dini ke dalam pelukannya kembali.

Cinta. Nyatanya mengatakan sangat mudah. Merasakan butuh ketegaran, dan mempertahankan butuh kesabaran. Karena saat cinta bukan untuk kita, maka hanya kesedihan pilu yang dirasakan.

Probolinggo, 11 Februari 2019

Lambe Akrobat




Belajar Koplak bersama si Lambe Akrobat

Judul                           : Lambe Akrobat ; Kisah Geng Koplo dan Keluarga Hansip
Penulis                        : Agus Mulyadi
Terbitan                     : Mei 2018
Penerbit                      : Mojok
ISBN                            : 978-602-1318-69-0
Jumlah Halaman        : 165 Halaman
Peresensi                    : Agustin Handayani

Agus Mulyadi atau kerap disapa GusMul adalah seorang penulis yang sangat piawai dalam membawa sebuah cerita sederhana yang sering terjadi sehari-hari menjadi sebuah karya yang sangat bagus dan sukses membuat pembaca puas. Dari karya pertama hingga karya yang kesekian, Agus rupanya tetap menampilkan gayanya yang ceplas-ceplos, njawani dan juga konyol.

Seperti dalam judulnya, Agus membagi buku ini menjadi dua cerita. Cerita pertama, yaitu tentang,  ‘keluarga Hansip,’ yang kiranya terdiri dari 17 kisah komplak dan yang kedua tentang kisah ia dan teman-temannya yang berjudul, ‘Marcopolo dan Geng Koplo.”

Dalam bagian Keluarga Hansip, banyak sekali cerita yang Agus jabarkan di dalamnya. Kisah yang sangat konyol dari banyak pengalaman yang pernah penulis lakukan. Misalnya dalam salah satu judul cerita yaitu, “Nama Anak, Nama Bapak.”

“Yo biar ada keertarikan keturunan, Gus. Nama bapak dan nama anak itu baiknya ada keterikatan dan kesamaan. Pokoknya minimal ada unsur pengikat. Makanya unsur Mul dari Mulgiyanto ini sengaja bapak wariskan. Jadinya kamu tak kasih nama pakai Mulyadi, sedangkan kedua adimu itu tak kasih nama pakai Mulyani.” Hal. 5

Dalam cerita ini, Agus memaparkan bagaimana keterikatan nama-nama dalam keluarga pada umumnya. Bukan sebagai alasan nyentrik dan kompak, Orang lampau memang suka mewariskan salah satu suku namanya kepada sang anak. Hal ini juga menjadi sebuah tradisi yang biasanya dilakukan oleh keluarga kerajaan dengan menyisipkan  Marga keluarga pada keturunannya.

“Ki lho, Gus, conto adimu kuwi, lulus SMK jadi lulusan terbaik, ndak seperti kamu, ndak ada prestasi, nilai Matematika pun cuma empat, sudah jelek, bodho sisan! Koyo ngono kok pengin punya isteri.” Hal. 32

Njawi banget. Itu adalah hal yang saya tangkap dari percakapan Agus dan Sang Bapak disebuah cerita yang berjudul, “Sang Anak Pesakitan”. Kali ini Agus seakan menceritakan sebuah kesialan yang sangat mengenaskan dari hidupnya. Dengan tetap mempertahankan cara berceritanya yang asal tapi tapi tidak asalan, Agus mulyadi membawa kita pada sebuah kisah seorang bapak yang sering membesar-besarkan prestasi salah satu anaknya kepada anak yang lain. Penghargaan, seperti itulah yang dilakukan sang Bapak lakukan dengan menindas anak-anak yang belum berprestasi. Hingga saat roda berputar dan anak yang lain mulai menunjukkan sebuah prestasi juga, maka sang Bapak akan berpindah haluan dan menyanjung anak tersebut. derita anak yang hanya bisa ‘raja’ bila ia berprestasi hingga bisa terbebas dari bulan-bulanan sang Bapak.

Berpindah pada bagian kedua dalam buku ini adalah tentang Marcopolo dan Geng Koplo yang terdiri dari 16 cerita kocak dan ngenes menurut saya.

Berawal dari Agus yang akan mengunjungi desa Neneknya dengan membawa Rudi agar ikut serta. Agus dengan gayanya yang sok mengenalkan Rudi pada alam desa sang Nenek agar bisa membuat Rudi terkagum nantinya. Hampir semua keindahan alam yang Agus kenalkan tak lantas bisa membuat Rudi terkagum. Agus mulai putus asa. Sepertinya Rudi memang sangat susah untuk mengagumi kenampakan alam dan pegunungan di desa. Hingga saat Agus sudah putus asa, Rudi malah berteriak histeris karena melihat sekumpulan anakan lele di kubangan. Keantusiasan Rudi membuat Agus mulai percaya diri dan menyombongkan desa tersebut dan berkata bahwa banyak anakan lele di desanya. Dalam hati ia bersyukur bahwa masih ada sesuatu yang bisa membuat Rudi terkagum dengan desanya, meski sebenarnya hati kecilnya merasa miris bersamaan.

“Namun di satu sisi, saya juga merasa sedih. Sedih karena anakan lele yang dilihat Rudi di Kali Kanci tadi sebetulnya bukan anakan lele melainkan kecebong. Ya, kecebong.” Hal. 76

Oh, ada lagi satu cerita yang akan saya angkat dari buku ini. Kisah ini sebenarnya sudah sangat terkenal di masyarakat. Religi yang dicampur dengan humor kocak yang berhasil membuat perut serasa diaduk. Bagaimana tidak? Saat kita kecil dulu, pastinya film Tuyul yang dibintangi oleh alm. Darto adalah sebuah film yang akan sangat disukai oleh anak-anak dan bahkan berhasil mempengaruhi anak-anak. Salah satunya adalah sebuah anggapan bahwa dhemit sangat takut dengat ayat suci dan bacaan Al-Quran. Mungkin persepsi orang ulama atau dewasa, ayat atau bacaan Al-Quran tersebut tak lain adalah sebuah ayat atau surah yang sering kita baca saat ngaji atau selesai shalat. Tapi rupanya ada hal lain terjadi pada Karyo.

“Alip ba t a, alip ba ta, alip ba ta” dengan harapan si dhemit bisa segera enyah dari hadapannya. Hal. 82

Sebagai akhir dari ulasan yang saya sampaikan, mungkin banyak sekali saran dan pesan yang sebenarnya ingin Agus sampaikan dalam tulisannya. Utamanya mengenai sebuah kesialan, kegagalan dan semua jenis musibah yang kadang membuat orang-orang drop dan meratapi nasibnya. Di sini, Agus seakan mengajak kita semua untuk woles dalam menghadapi segala jenis kegagalan. Bukankah kegagalan adalah tangga menuju kesuksesan? Meski sebenarnya kita juga tidak akan tahu kesuksesan itu akan kita raih setelah melalui berapa tangga kegagalan. Hanya saja, Agus seakan berkata, “Nikamti, Syukuri, dan Tertawalah!”
Di akhir buku ini, rupanya Agus juga memberikan sedikit belas kasihnya pada kita sebagai pembaca dengan adanya sebuah Glosarium. Semua kata njawi  yang tertera dalam cerita di dalamnya telah diterjemahkan dengan sangat mudah oleh Agus sehingga kita tak perlu takut untuk membaca buku kumpulan cerpen komedi ala Agus Mulayadi. Jangan lupakan juga untuk memperhatikan batasan umur yang sudah tertera di bagian belakang cover bahwa kumpulan cerita ini bersifat 17+, dimana masih memerlukan bimbingan bagi anak-anak di bawah umur. Sekian terima kasih.

Probolinggo, 04 Juli 2018



Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...