Resensi Novel Barabas; diuji segala segi

Radar Mojokerto, 27 Oktober 2019


Kebaktian Kepada Tuhan

Judul               : Barabas ; Diuji Segala Segi
Penulis            : Arswendo Atmowiloto
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan         : Cetakan Pertama, 2019
Halaman         : 272 halaman
ISBN                : 978-602-0631-9-05
Peresensi       : Agustin Handayani

“Yang tidak setuju adalah lawan. Yang ragu adalah pengkhianat.” –hal. 10

Novel berjudul Barabas; diuji segala segi ini termasuk novel legend. Selain merupakan karya terakhir dari penulis besar, alm. Arswendo, novel ini juga menjadi rekam jejak betapa produktifnya beliau menulis meski dengan keadaan tubuh yang sakit. Bahkan dilansilir dari beberapa media dan kesaksian sang putri, selain novel Barabas ini, Arswendo juga sempat membuat satu cerpen sebelum akhirnya menjelang ajal. Sudah tidak dapat diragukan lagi bagaimana novel-novel karya Arswendo selama ini, yang bahkan sudah puluhan judul terbit dan berhasil memikat para pembaca sejatinya. Tak terkecuali dengan novel Barabas ; diuji segala segi ini.

Dalam novel ini, penulis mengambil tokoh utama bernama Yesus Barabas. Seorang narapidana yang akan menghadapi hukuman mati karena banyak melakukan dosa dan pembunuhan pada serdadu Romawi. Menariknya, meski di dalam penjara bawah tanah yang pengap, dan bahkan tidak akan sadar kapan siang atau malam, Barabas tidak pernah mengeluh sama sekali. Bahkan keringat yang mengucur deras yang membuat lukanya perih, tidak lantas membuatnya meringis atau kesakitan. Barabas hanya diam dan menikmati semua itu. Seakan ia sudah pasrah dan menganggap ini sebagai jalan takdirnya.

Hingga menjelang hukuman matinya, banyak kejadian dan perdebatan yang bisa dikatakan mukjizat bagi seorang Barabas; bebas dan tidak dihukum mati. Masyarakat Roma lebih memilih menyalibkan Yesus yang secara tidak langsung malah Yesuslah yang mengubah jalan hidupnya. Barabas menyaksikan sendiri bagaimana Yesus disalib dan kerumunan orang yang saling berdesakan.

“Setelah ratusan atau ribuan tahun kita hidup dalam balas dendam, kini ada cahaya menampakkan diri. Bukan balas dendam, melainkan mengampuni, memaafkan. Juga kepada musuh sekalipun. Itu yang aku lihat. Cahaya dan senyum di atas segala derita.” – hal. 118.

Barabas bukan hanya pembunuh, ia sangat membenci serdadu Romawi dan tetek bengeknya. Bahkan ia mendapat julukan Kalajengking Tampan karena aksinya melawan Romawi. Setelah lolos dari hukuman mati, Barabas menjalani banyak pencarian arti hidup dan kemanusiaan. Bertemu dengan para kelompok Pendoa, beberapa rosul, hingga berkesempatan berbicara dengan Bunda Segala Duka; Bunda Maria.

Barabas adalah bangsa Yahudi yang tinggal di Yudea. Kisah hidupnya setelah keluar dari hukuman mati, tak lantas membuatnya bahagia dan kembali seperti sedia kala. Namun, sekeluarnya dari penjara bawah tanah dan lolos dari hukuman mati, memngajarkannya untuk mencari arti kehidupan. Seperti, untuk apa kita hidup, bagaimana kita menjalani kehidupan, dll. Semua itu Barabas pelajari bertahap dari segala hal yang dialaminya. Hingga penampilannya pun berubah setelah berkumpul dengan Kelompok Pendoa.

“Biasakan terus berdoa, ketika bersama orang lain atau ketika sendiri. biasakan terus, sehingga setiap tidur pun kamu sebenarnya berdoa.

Meski dalam novel ini banyak menceritakan tentang Tuhan Yesus, Doa Bapa, Bunda Maria, hingga AL Kudus, tapi sebenarnya novel ini tidak memihak pada agama mana pun. Penulis juga sudah menegaskan bahwa novel ini hanya mengajarkan kita tentang cara berkasih pada Tuhan. Bagaimana permusuhan yang tidak harus dibalas dengan kekejaman.

Tidak benar jika mata dibayar mata, atau nyawa dibayar nyawa. Sebagai manusia yang memiliki Tuhan, sudah sepatutnya kita saling berkasih. Menghilangkan dendam dan segala sifat buruk dengan menjungjung cinta kasih dan perdamaian. Itulah yang Barabas lakukan. Melupakan dendam dan segala kehusannya membunuh demi menciptakan perdamiaan. Bahkan sampai diakhir pengusirannya, Barabas tetap tersenyum dengan terus berdoa sesuai dengan anjuran Tuhan.

Penyajian novel ini juga bisa dikatakan unik. Terdiri dari beberapa Bab kecil yang sangat memikat. Setiap bab dengan bab selanjutnya akan sangat berikatan dan selalu memukau pembaca. Penjabarannya dan gaya tulisna yang sangat menawan. Novel ini sangat cocok untuk semua kalangan. 

Probolinggo, 8 September 2019

Agustin Handayani. Seorang aktivis Literasi daerah Probolinggo. Penulis novel yang masih menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi.

Resensi Novel Knock Knock; who is there

doc. Kabar Madura,  10 Oktober 2019
Sumber. Anam

Misteri Kota Dudleytown dan Biola Tua

Judul               : Knock! Knock! ; who is there?
Penulis            : Esa Khairina
Penerbit         : Fantasteen, Mizan
Terbitan         : Cetakan Pertama, 2019
ISBN                : 978-602-420-804-2
Peresensi       : Agustin handayani

Semua orang percaya bahwa bukan hanya mahluk hidup saja yang menghuni bumi, melainkan juga mahluk tak kasat mata yang juga menjalani aktivitas bersama kita. Mereka-mereka yang berkeliaran dengan kisah pra mati yang beragam. Beberapa percaya, bahwa dunia memiliki lapisan yang menghubungkan dunia manusia, arwah, hingga menjadi penghuni surga dan neraka. Hal inilah yang mungkin diyakini penulis bernama Esa Khairina tersebut.

Lewat novel Fantasteen yang dikarangnya dengan judul Knock! Knock ; who is there, penulis menceritakan bagaimana dunia-dunia tersebut. Edisi Deluxe ini terbagi menjadi dua cerita yang sama-sama mampu membuat siapapun merinding dan ikut masuk ke sebuah portal alam tersebut.

Cerita pertama dibuka dengan judul yang sesuai di buku sampulnya. Knock Knock; who is there. Berkat tugas Sejarah dari guru yang paling menjengkelkan, Dr. Higgins, tiga siswa harus memutar otaknya untuk membuat film dokumentasi tentang apa pun di Connecticut. Hingga ide untuk mengangkat sebuah kota yang mati lebih dari 70 tahunan. Sebuah kota dengan kemistisan yang sangat kental. Bahkan dikabarkan ada sekitar 101 orang yang hilang di sana dan hanya seperempatnya yang ditemukan dalam keadaan tewas mengenaskan. Kota itulah yang akan Dante, Owen, dan Skylar kunjungi untuk tugas sejarah mereka.

“Dudleytown tidak menjadi kota mati tanpa alasan, bukan?” – Hal. 39.

Setelah Tate ditangkap dan dieksekusi, tidak ada yang berani tinggal di Dudleytown. Mereka menganggap kota itu mengandung kutukan. Karena setiap tetangga di sekitar rumah Tate akan mati dengan cara yang mengenaskan, entah bunuh diri atau dibunuh. Tate dan kota itu seakan menjadi sebuah misteri yang tidak pernah tersingkap selama puluhan tahun hingga membuat Dante, Owen, dan Skylar menerobos masuk ke dalam kota terlarang itu. Di sanalah mereka seakan mengenal Tate lebih dekat. Rumah dengan bau anyir darah, debu yang beterbangan, jebakan yang membuat siapapun celaka, hingga rahasia yang tidak pernah terkuat ke permukaan membuat mereka harus memilih, mundur atau terus lanjut untuk sebuah kebenaran atas kota ini.

Kutukan dan pengabdian dengan setan dan para arwah. Keberanian dan tekad yang kuat membuat mereka semua berada pada akhri dari kota mati tersebut.

Meloncat ke cerita yang kedua, penulis langsung mengajak kita ke Vienna, Austria. Seorang bernama Eureka Bernstein, seorang pemain biola yang mendapatkan beasiswa di Musikschdule Mozart. Di sanalah ia mengalami semua keanehan sejak menghuni kamar 31 yang sejak dulu ditutup karena mengalami sebuah pengalaman yang mengerikan. Seakan mengulang kisah yang baru, sejak Eureka mengalami kejadian yang mengerikan dan membuatnya merenggang nyawa, hingga dengan sedikit keajaiban membuatnya terbangun dari kematian. Namun karena kejadian itulah, Eureka tidak pernah sama lagi. Seperti indigo, ia bisa melihat semua makhluk yang berada di dekatnya. Bukan hanya itu, ia bisa masuk ke dalam cerita Ethel yang memiliki kisah hampir sama dengannya. Semakin menyelami kisah tersebut, Eureka semakin dibuat kepayahan dengan sikap Ethel yang seakan mengajaknya bermain-main di portal kematian. Bagiamna dendam Ethel tersebut yang selalu memainkan nyawa orang terdekat Eureka. Hingga Eureka sendiri harus benar-benar menjaga sahabat dan orang yang dicintainya daeri dendam Ethel. Terutama menghancurkan portal penghubung dunia tersebut.
“Tak ada luka yang tak bisa disembuhkan waktu.” –hal. 301

Cerita yang benar-benar memacu adrenalin. Bagaimana sebuah misteri yang disajikan dengan apik oleh penulis. Alur yang benar-benar rapi dan mampu membuat pembaca hanyut di dalamnya. Dante, Skylar,Owen, dan Eureka. Jika bukan dengan kebernian mereka menghadapi alam lain yang penuh mistis dengan mahkluk halusnya, mungkin tidak akan ada sebuah kebenaran yang terungkap. Lebih dari itu, cerita ini tidak akan terasa hidup tanpa tokoh-tokoh pemberani lewat tangan penulis. Novel ini sangat cocok bagi mereka yang percaya bahwa kita memiliki banyak teman tak kasatmata di sekitar ini.

Probolinggo, 5 Oktober 2019

Agustin Handayani. Aktivis literasi daerah yang tergabung dalam FLP Probolinggo dan KomunLis. 


Resensi Novel Our Broken Fate


Radar Madura, 8 Oktober 2019

Belajar Kuat dari Tekanan

Judul                           : Our Broken Fate
Penulis                        : Pricillia A. W
Penerbit                     : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan                     : Cetakan Pertama, 2019
Halaman                     : 232 halaman
ISBN                            : 978-602-06-2940-7
Peresensi                   : Agustin Handayani

“Meski banyak kesedihan dan luka yang harus kuhadapi, kehidupan tetap berjalan, bukan?” –Hal. 96

Hampir sama seperti kisah Romeo dan Juliet yang lahir di keluarga dengan permusuhan yang kental, novel Our Broken Fate ini pun memiliki alur yang hampir serupa. Novel yang dibagi menjadi tiga bagian dengan sudut pandang tokoh berbeda di setiap bab benar-benar membuat kita tahu secara menyeluruh apa yang dirasakan setiap tokoh. Penulis bukan saja membumbui cerita romance ini dengan sebuah dendam dari dua keluarga yang berbeda, tapi juga ada arti kehilangan dan pengorbanan untuk bersama.

“Yang aku tahu dari pengalamanku, kita merasa benar-benar mencintai seseorang jika kita memberi seluruh cinta kita pada orang yang kita cintai. Bukan mencari cinta pada orang itu.” –hal 29

Kisah novel ini dimulai dengan Samudra Banyu Diwangga terhadap Cahaya Aruna, perempuan yang lahir dari rival keluarga besarnya. Dendam turun temurun yang seakan diwarisi oleh keturunan setelahnya seakan mendarah daging. Belum lagi dengan kematian dan kehilangan yang seakan silih berganti. Hal itu juga dialami oleh Sam dan Aya yang masih menginjak usia remaja. Di tengah pertikaian dendam antara keluarga, mereka masih bersama dan saling menguatkan.

Namun, seperti takdir yang seakan mempermainkan mereka dalam sebuah penderitaan tiada akhir, Sam sadar bahwa kebersamaan mereka hanya akan membuat mereka menjadi target bergilir sebagai korban dendam selanjutnya. Sudah cukup memiliki ibu yang ambisius pada kekuasaan, keluarga Millen yang mengancamnya menjauhi Aya, nyatanya kematian Langit –kakak satu-satunya- membuat Sam memutuskan pergi dan meninggalkan Aya dan semua hal tentang keluarga besarnya. Proses pengasingan diri yang ia lakukan agar tidak semakin membuat sekitarnya runyam. Namun hal yang tidak Sam sadari bahwa ada hati yang terluka di tengah kehilangan.

“Pada akhirnya selalu ada pengorbanan yang mengakhiri sebuah kisah. Baik itu dilakukan si tokoh baik maupun tokoh antagonis.” –Hal. 200

Novel ini cukup menegangkan dalam genre romantis. bagaimana dua keluarga yang saling berselisih dengan dendam masing-masing dan ketamakan dalam kekuasaan. Bumbu yang cukup serius untuk sebuah novel percintaan. Namun, cukup menarik mengingat hal-hal tentang perjuangan Bastian agar Aya mau menatapnya, pengorbanan Sam agar Aya tidak ikut terlibat, dan bagaimana akhirnya kehilangan mengajarkan untuk terus bangkit dan berdiri dengan kaki sendiri seperti yang dialami oleh Laura.

Novel ini juga cukup mengajarkan kita bahwa orang tua selalu memiliki cara sendiri untuk menyayangi dan melindungi anaknya. Meski kadang bersikap tegas dan menyebalkan, orang tua selalu tidak ingin anaknya berada di poisi yang sulit. Juga pelajaran bahwa sesuatu yang dilakukan dengan cara kotor, nyatanya tidak akan membuahkan hasil yang bahagia.

Dan sebagai penutup novel ini, Kisah Penguasa Cahaya dan Penguasa Air menjadi akhir yang manis.  
Probolinggo, 14 September 2019

Agustin Handayani. Anggota FLP Probolinggo dan KOMUNLIS Probolinggo.




Resensi Novel Nagra dan Aru


Radar Mojokerto, 6 Oktober 2019

Romantika Remaja Hingga Perjuangan untuk Bertahan

Judul                           : Nagra dan Aru
Penulis                        : Inggrid Sonya & Jenny Thalia
Penerbit                     : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan                     : Cetakan Pertama, 2019
Halaman                     : 360 halaman
ISBN                            : 978-602-0620-9-6-1
Peresensi                   : Agustin Handayani

“Bersandar itu nggak harus nunggu lo lemah dan nggak harus nunggu gue kuat. Siapa tahu dengan bersandar, kita sama-sama kuat.” –Hal. 125

Sebenarnya sudah banyak novel remaja dengan kisah romantikanya yang beredar di pasaran. Namun, jelas saja antara satu novel dengan novel yang lainnya selalu memiliki perbedaan yang sangat kentara. Entah dari konflik, tokoh, sifat penokohan, setting, hingga sudut pandang yang berbeda. Ada novel yang hanya mengangkat kisah cinta ala-ala remaja saja, atau tentang perjuangan meraih mimpi dan cita-cita. Nah, di sini novel yang ditulis oleh Inggrid dan Jenny ini bukan hanya tentang kisah percintaan ala-ala remeja yang bisa dikatakan terlalu chessy, tapi juga tentang sebuah perjuangan untuk bangkit dari kesalahan, perjuangan untuk meraih cita-cita juga turut menghiasi manisnya novel ini.
Sesuai dengan judulnya, novel Nagra dan Aru bercerita tentang dua manusia tersebut. Aru yang berperan sebagai seorang perempuan dengan tingkat keanehanyang tinggi, kocak. dan juga tidak tahu malu. Hampir sama seperti novel remaja kebanyakan. Bedanya di sini Nagra bukan lelaki dingin yang cuek. Nagra hanya seorang siswa biasa yang suka sekali memacari adik kelasnya. Jiwa playboy yang sama sekali tidak membuat Aru mundur untuk mendapatkan Nagra. Perjuangan untuk mendekati Nagra sendiri terbilang sangat terang-terangan bagi seorang perempuan. Kisah yang manis, dan juga kocak. Aru yang bisa dikatakan sebagai perempuan pemberani seakan menlindungi Nagra dari siapa pun yang mengganggu Nagra, terutama Igo yang berhasil membuat seorang Nagra diskorising guru.

“Kita Cuma perlu cari cara buat tetap bertahan sesering apa pun kita disakitin. Manusia sering kali cari hal-hal besar buat mengubah dunia, buat mengubah diri sendiri. Tapi sebenarnya kita cuma butuh hal kecil berthana di dunia ini.” –Hal. 124

Titik menarik dari novel ini mungkin saat kemunculan tokoh bernama Igo. Seorang siswa yang beda kelas dengan Nagra dan Aru. Hanya saja Igo ini memiliki masa lalu yang masih bersangkutan dengan Nagra. Bisa dikatakan Igo ini adalah seorang siswa yang salah bergaul hingga jatuh dala lingkaran hitam. Bagaimana Igo yang harus bertahan saat sakau, saat semua orang hanya perduli pada uanganya, tapi tidak pada dirinya. Meski Nagra terlihat tidak perduli dan sering cekcok, nyatanya Nagra adalah teman yang selalu ada di saat-saat terendah Igo. Nagra juga tak tanggung-tanggung membantu Igo, ia juga merelakan perasaannya agar sang sahabat lama itu bisa sembuh. Aru yang berada di antara dua lelaki yang sama-sama membutuhkannya.

Meski kita dibawa pada alur yang cukup komplit di tengah cerita, tetap saja kita dapat menikmati tingkah konyol seorang Aru.

“Rasa kasihan itu termasuk emosi, Go. Emang kenapa kalau gue kasihan sama lo? Kasihan itu bukan berarti meremehakn tapi peduli! Emang dosan dikasihanin orang?” –Hal. 205.

Novel ini tidak bisa dikatakan novel biasa saja. Kisah remaja yang terjadi di sini bukan hanya tentang pelajaran, keseharian sebagai siswa atau kisah romantikanya. Tapi juga mengisahkan sudut pandang tentang siswa-siswa yang salah jalur, narkotika, rehabilitasi, hingga kemauan yang membuat kita lepas dari lingkaran hitam tersebut.

Meski novel ini ditulis duet oleh Inggrid Sonya & Jenny Thalia, alur dan pembawaannya benar-benar mudah dipahami. Setiap Bab yang diambil dari sudut pandang berbeda antara Nagra dan Aru tidak serta merta membuat pembaca bingung.  Malah kita semakin bisa mendalami setiap adegan meski dengan sudut pandang yang berbeda.

Probolinggo, 15 September 2019

Agustin Handayani. Anggota FLP Probolinggo dan KOMUNLIS Probolinggo.

Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...