Resensi The Last Piece of Puzzle



Kepingan Puzzle Kehidupan


Judul                : The last Piece of Puzzle
Penulis             : Nicko Zainnanda
Penerbit           : The Panas Dalam Publihsing
Terbitan          : Cetakan Pertama, 2019
Halaman         : 233 Halaman
ISBN               : 978-602-52576-2-9
Peresensi         : Agustin Handayani

“Apakah dia kepingan puzzle terakhir?” – Hal. 229
Berbicara tentang bagaimana kehidupan, memang hampir serupa seperti potongan puzzle. Sahabat, keluarga, cinta, dan kenangan adalah kepingan puzzle yang menjadi utuh. Penulis bernama Nicko Zainnanda seakan memberikan kita pemahaman tentang bagaimana seorang individu saling mencari dan menerka-nerka, siapakah kepingan puzzle hidupnya.

Memang seperti itulah novel yang apik ini. Di setiap bagian veritanya selalu berhasil membuat pembaca menerka-nerka. Seperti apa alur selanjutnya, adakah kelokan atau rintangan di depan? Apakah makna yang ingin disampaikan penulis pada pembaca?

Markas Kura-Kura Ninja. Markas tempat Seto, Koko, Jamal, Zahra, Handi, dan Arum berkumpul. Di sana, setiap orang memiliki kisah sendiri-sendiri hingga dapat berkumpul bersama dan memutuskan bahwa mereka adalah sekumpulan sahabat. Banyak kisah yang dilalui bersama hingga dapat memperkokoh persahabatan mereka. Dengan sifat dan perbedaan masing-masing, mereka seakan tidak mempermasahkannya. Asal mereka tetap bersama.

Dalam novel ini, Jamal seakan memiliki porsi paling banyak yang menduduki inti cerita. Bagiamana seorang Jamal yang mencintai Zahra dan bersedia menunggu sahabatnya itu. jamal bahkan terus belajar dari kisah kegagalan cinta yang Zahra alami hingga suatu saat nanti bisa menjadi bekalnya untuk menyatakan kebenarian ciantanya pada Zahra. Namun, setiap kisah tidak pernah kita tahui muaranya di mana? Sama seperti yang Jamal lakukan, hanya bisa bersabar dan menunggu hingga suatu saat Zahra bisa menatap balik dirinya.

“Seni kehidupan hadir karena kejutan yang diberikan Tuhan.” – Hal 113

Kehadiran Paul juga membuat kisah dalam novel ini menjadi lebih haru. Seorang penderita penyakit hipopituitarisme. Sebuah penyakit yang membuat si penderita terlihat kecil dan menghambat pertumbuhannya. Paul yang memiliki kecerdikan luar biasa serta mampu menebar senyum kebahagiaan, membuat geng kura-kura ninja semakin lebih berwarna. Hingga lagi-lagi, kepingan puzzle seakan menemati tempat bernama kenangan. Paul datang hanya itu memberikan sebuah arti dari sahabat yang sesungguhnya.

 “Setiap keping sangat berarti. Entah keluarga, sahabat, atrau bahkan cinta. Sebenarnya sejak membeli, bentuknya sudah diketahui. Sehingga ketika menyusun lagi, kita tidak perlu takut gagal. Seperrti Tuhan yang sejak awal telah menemukan takdir. Kita hanya perlu tidak meragukannya ....”- Hal 117

Arum percaya bahwa kehidupan mereka semua memang seperti puzzle yang sebelumnya sudah tertata utuh. Kita tidak perlu takut, bingung atau salah dalam menatanya. Kita hanya perlu percaya bahwa semuanya telah memiliki jalan masing-masing sama seperti hidup yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Kita hanya perlu menjalani dan percaya. Sama seperti kisahnya, meski hidup sebatang kara di kota ini, Arum bersyukur atas kehadiran sahabat dan juga Hardi yang  membuatnya paham bahwa puzzlenya hampir utuh.

  “Kejarlah cintamu. Jika lelah, berhentilah. Kelak ketika kamu berhenti, mungkin aku bisa mengejarmu.” –Hal. 163

Kedatangan Syifana yang mencintai Jamal membuat lelaki itu serba salah. Bagaimana bisa ia berhenti mencintai Zahra jika sejak awal hatinya sudah jatuh sedalam-dalamnya pada sahabat masa kecilnya itu. namun, Syifana seakan memiliki jalan sendiri untuk mendapatkan kebahagiaannya. Yang harus mereka lakukan hanya bersabar.

“Pemenang tidak mesti terlihat diawal.”- Hal. 174

Keseluruhan novel ini memang bisa membangkitkan rasa haru dari bagaimana kokohnya persahabatan mereka. Masing-masing seakan memiliki peranan penting dari berdiri tegaknya persahabatan tersebut. Kisah cinta yang begitu lama dan sangat berliku mampu memberikan kejutan di akhir cerita. Mungkin juga kita akan berpikir dan bisa saja percaya, jika cinta yang kita tunggu belum tentu tujuan kita berlabuh, bisa saja cinta kita adalah dengan seseorang yang berada di belakang kita. Yang kehadirannya belum disadari sejak awal.

Bagaimana Zahra, Seto dan Jamal yang berjuang keras agar bisa masuk ke fakultas kedokteran membuat kita belajar bahwa untuk mengumpulkan puzzle, kita harus berusaha dan berjuang meraih semua yang diinginkan.

“Banyak hal di dunia ini yang diperjuangkan agar tidak berubah sampai akhir karena terasa nyaman, namun hal itu justru berubah dengan sendirinya.” –Hal. 199

Dan begitulah novel ini memberikan kita makna tentang cinta, perjuangan, keluarga, dan juga sahabat. Semua adalah kepingan puzzle kehidupan yang sudah disusun sedemikian rupa oleh Tuhan. Kita hanya harus percaya bahwa itu semua adalah ketetapan-Nya
Probolinggo, 27 Maret 2019

Agustin Handayani. Anggota FLP Probolinggo dan penggiat literasi daerah.


Cerpen : Tukang Kaba

Doc. Kabar Madura 28 Juni 2019

Tukang Kaba

Lelaki itu terus saja bercerita. Bahkan ini sudah lima jam saat ia memutuskan duduk di tengah pasar dan bercerita tentang banyak kisah. Puluhan orang mulai mengerubunginya sejak tadi. Bukannya berkurang, setiap detik malah bertambah semakin banyak.
“Oh, bahagia orang kita sebarkan, derita orang kita sembunyikan ….”
Tukang kaba itu selalu memulai kisahnya dengan nyanyian yang menjadi lagu wajib ceritanya.
“Oh Tukang Kaba! Ceritakan tentang kisah puteraku yang sebentar lagi akan menghadapi pilkades tahun ini,” pinta seorang lelaki tua yang punggungnya sudah bongkok. Matanya terlihat rabun, namun masih memancarkan harap untuk mendengarkan kisah anaknya yang akan mujur dari mulut tukang kaba.
“Oh, anakmu yang bernomor satu, ‘kan?” tanya tukang kaba yang sempat tahu poster pilkades di desa ini.
Pak tua itu mengangguk bersemangat. Ia menuggu dengan sabar untuk mendengarkan kisah dari tukang kaba tersebut.
Tukang kaba menarik napas dalam-dalam. Ia memejamkan matanya lama-lama sebelum terbuka dan tatapannya berbeda. Ada titik hitam yang serius dalam pandangannya. Seakan tatapan itu memutar sebuah gambar yang akan ia ceritakan setelah ini.
“Oh, kisah bahagia orang kami sebarkan, derita orang kita sembunyikan ….”
Dan mengalirlah sebuah cerita tentang kepala desa yang arif dan bijaksana. Dengan kemurahan hatinya, rakyat hidup makmur dan desa semakin maju. Kepala desa yang lahir dari orang bawah yang mengerti bagaimana nasib orang-orang bawah berjuang untuk hidup. Kepala desa yang mencintai rakyatnya dengan segenap perjuangan.
“Oh, tukang kaba, apakah itu anakku? Yang menjadi kepala desa itu adalah anakku?” tanya pak tua itu penasaran. Namun binar bahagia tak pernah redup di wajahnya. Ia sudah bisa menebak bahwa anaknya akan menjadi kepala desa yang arif dan bijaksana.
“Benar. kepala desa itu adalah anakmu. Dia adalah kepala desa paling tampan dan gagah di desa ini. Kerendahan hatinya bahkan membuat rakyta segan,” jawab tukang kaba dengan senyum yang nampak aneh.
Pak tua yang mendengarnya semakin mengembangkan senyum. Ia mengelus dadanya berkali-kali dan bergumam dengan pelan, “akhirnya aku bisa mati dengan damai. Terima kasih, Tukang Kaba. Aku sudah tidak perlu mengkhawatirkan nasib anakku setelah ini,” ujarnya yang langsung memberikan beberapa koin pada tukang kaba sebagai upah berceritanya.
Setelah langkah membawa pak Tua itu pergi, tatapan tukang kaba masih terus saja mengiringi Pak tua itu.
“Oh, bahagia orang kami kabarkan. Derita orang, kami sembunyikan ….”
Kepala desa itu hanya akan bertahan setahun di masa jabatannya. Karena Ia memiliki kekasih yang tamak dan haus akan uang. Kepala desa muda ditemukan tewas di peraduannya dengan leher yang digorok oleh sang kekasih.
Tukang kaba akan berjelajah dari satu pasar ke pasar lain, dari satu desa ke desa yang lain. Dengan keahliannya bercerita, banyak orang-orang yang menunggunya untuk meminta cerita bahagia dari tukang kaba tersebut.
“Tukang kaba, ceritakan tentang kekasihku! Malam Minggu nanti kami akan melangsungkan pernikahan!” seru seorang gadis berpakain kebaya. Wajahnya bulat dengan kulit kuning langsat. Kentara sekali bahwa perempuan itu keturunan jawa asli.
Tukang kaba tak mampu menolak. Ia mengangguk untuk mengiyakan permintaan gadis tersebut.
Ia mengambil napas dalam-dalam dan memulai menyanyi sebelum memulai kisahnya.
“Oh, bahagia orang kami kabarkan, derita orang kami sembunyikan …”
“Sepasang suami isteri yang hidup dengan dua anak kembar. Keadaan mereka bahagia dengan canda tawa setiap hari. Teh hangat yang selalu menjadi rutinitas mereka di kala senja datang, dan berkumpul penuh canda saat malam tiba. Oh, benar-benar keluarga yang penuh cinta.”
Tukang kaba terus bercerita hingga membuat gadis itu menitikkan air mata. “Oh, benarkah aku akan bahagia dengan suamiku kelak? Aku benar-benar lega mendengarnya,” ujar gadis tersebut.
Setelah gadis itu memberikan koin pada tukang kaba, ia masuk ke dalam rumahnya.
Sementara tukang kaba masih menatap kepergian gadis itu dengan tatapan sendu.
“Oh, bahagia orang kami kabarkan, derita orang kami sembunyikan ….”
“Di belakang isterinya, lelaki itu memiliki anak dari madunya. Aib yang terus tertutupi hingga terbongkar di saat yang tepat,” lirih tukang kaba melanjutkan ceritanya, tanpa gadis itu tahu.
Begitulah keseharian tukang kaba. Setelah malam datang, ia melangkah menuju tabing rumahnya. Di sana ia akan beristirahat dengan segelas kopi panas yang ia seduh.
Begitulah kisah manusia. Tidak selamanya akan indah. Ada saatnya derita selalu datang di bekalang bahagia atau berbarengan dengan tawa. Seperti kisah tukang kaba itu.
Hidup sendiri tanpa seorang pendamping. Ia hanya bisa merangkai kisah tentang orang-orang, namun tidak untuk kisahnya. Ia tidak memiliki kisah bahagia yang bisa ia ceritakan. Hidupnya hanya mempu menghibur orang lain, bukan dirinya sendiri.
“Oh, kisah orang saya kabarkan, kisah sendiri tak tahu rimbanya,” ujar tukang kaba sebelum kantuk membawanya terpejam sampai batas waktu tak memberikannya hari lagi.
Probolinggo, 27 Maret 2019

Biodata Penulis
Agustin Handayani, penggiat literasi dan anggota FLP Probolinggo

Resensi Gustira



Doc. Radar Cirebon, 25 Mei 2019
Info. Faris al Faris

Mengulik Romantisme dan Persahabatn Gusti

Judul                : Gustira
Penulis             : Kata Kokoh
Penerbit           : Pastel Books
Terbitan          : Cetakan Pertama, 2019
Halaman         : 352 Halaman
ISBN               : 978-602-6716-46-0
Peresensi         : Agustin Handayani

Paris Van Java, Bandung dan segala sisi romantismenya. Bukan hanya Yogyakarta yang memiliki banyak kisah romantis, Bandung seakan hadir dengan kacantikan kotanya. Semua kisah yang terjadi, tempat-tempat yang mendukung bagaimana sebuah kisah cinta menjadi alur yang sangat indah dan penuh makna. Kata Kokoh kembali dengan novel terbarunya yang berjudul Gustira. Rupaanya penulis satu ini memang sangat sukses dengan kisah-kisah remaja yang ia tulis. Mulai dari Senior Series yang menjadi best seller, novel ini rupanya akan mengikuti jejak tiga novel sebelumnya.

“Semua orang mah pasti suka sama yang apa adanya, tapi kenyataanya teh yang apa adanya akan tetap kalah sama yang sempurna.” –Hal. 214

Gustira, Gusti dan Ira. Gusti sendiri hanya lelaki biasanya yang tidak terlalu tampan. Namun beberapa temannya percaya bahwa Gusti itu karismatik dan menyenangkan. Meski hal itu tidak langsung dipercayai oleh Ira. Seorang siswi yang memiliki nasih sial karena selalu diganggu oleh Gusti. Semuanya berawal dari Ira yang harus menggantikan Gusti untuk bertemu dengan Mahesa dan Gusti. Dari sana, hari-harinya berubah 180 derajat. Gusti selalu berada di sekitarnya dan membuatnya jengkel. Meski begitu, anehnya Ira tidak benar-benar merasa terganggu dan tidak berusaha menjauhi Gusti.

Lelaki yang humoris dan konyol. Paket lengkap yang membuat teman-temannya terhibur dengan sikap Gusti. Selalu ada saja sikap Gusti yang membuat sekitarnya terhibur. Aneh, itulah penilaian dari Ira. Meski lambat laun, Ira mula terbiasa dengan sifat tersebut.

“Bahwa rasa tidak suka, bukan alasan untuk kita membenci seseorang atau sesuatu dalam hidup. Namun, untuk membuat kita mengerti bahwa ada sudut lain dalam kehidupan layaknya utara dengan selatan, timur dan barat.” – Hal. 314

Sama halnya menurut banyak orang, benci dan cinta hanya dua sisi mata logam. Tidak ada yang membedakannya kecuali sisi yang berlawanan. Rasa yang Ira miliki perlahanan mulai merasa tak menentu. Bagaimana perasaannya yang hampa saat Gusti menjauh darinya dengan alasan yang Ira tak ketahui. Bagaimana Ira yang selalu bisa merasa takjub saat melihat sisi-sisi Gusti yang lain.

Gusti yang selalu ingin menjadi yang terbaik untuk Ira, menjaga perempaun yang ia cintai dengan caranya sendiri. Meski sebenarnya, setiap cerita selalu memiliki endingnya sendiri. Tak ada orang yang bisa menetukan akhir dari kisah tersebut selain Tuhan dan penulisnya sendiri,

Humor yang benar-benar renyah. Karakter Gusti dalam novel ini benar-benar sangat kuat. Bagaimana penulis menyediakan alur yang mampu membuat pembaca ikut masuk ke dalam cerita. Kadang, pembaca akan menjadi Ira yang tersipu setiap diganggu Gusti. Di beberapa kesempatan, pembaca juga bisa menjadi Gusti dengan tingkah konyolnya. Bahkan Gusti hampir sama seperti Dilan, tapi dalam versi Kata Kokoh, bukan Pidi Baiq.

Dari novel Gustira ini, banyak hal yang dapat kita petik sebagai pesan dan amanat yang memang sengaja penulis sisipkan dari alur yang sudah tersusun dengan sedemikin rupa. Tentang kesederhanaan yang diajarkan oleh Gusti. Meskipun Gusti adalah anak orang kaya, ia tidak pernah sombong dan menampilkan kekayaannya. Malah Gusti tampil seperti orang kebanyakan, sederhana.

Ira yang selalu tenang dalam menghadapi masalah. Dan bagaimana kuatnya sebuah hubungan persahabatan antara semua tokoh di sana. Di mana satu masalah, mereka pikul bersama dan saling menguatkan.

Gustira memang sangat cocok untuk remaja yang sekarang  pastinya sudah mulai mengenal cinta dan sahabat.
Probolinggo, 4 Mei 2019
Profil penulis
Agustin Handayani. Mahasiswa dan aktivis literasi kota. Anggota FLP Probolinggo.


Resensi Let Go




Mencari Kejaiban lewat Persahabatan

Judul                : Let Go
Penulis             : Windly Puspitadewi
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan          : Cetakan pertama, Mei 2018
Halaman         : 264 Halaman
ISBN               : 978-602-03-8238-8
Peresensi         : Agustin Handayani

Novel yang baik adalah novel yang bisa memberikan manfaat dan pembelajaran untuk semua orang. Seperti itulah definisi novel yang baik itu. sama halnya dengan novel Let Go karya Windly. Awalnya, mungkin banyak pembaca yang akan mengira bahwa kisah remaja yang diangkat hanya tentang kisah percintaan klise dan keonaran saja. Tentang bagaimana sikap labil remaja seusianya hingga pencarian jati diri. Namun, dalam novel ini, Windly seakan memberikan sentuhan lain dalam kisahnya.

“Mumpung masih berupa larva, harus segera dibasmi sebelum menjadi nyamuk dan menyebarkan penyakit.” –Hal. 8

Novel Let Go mengisahkan tentang Caraka, seorang siswa yang bebal, tukang bikin onar, suka ikut campur urusan orang lain, tapi paling peduli pada temannya. Hal itu terbukti saat ia membantu Nathan yang sekadar ia kenal sebagai teman sekelas. Banyak hal yang mengejutkan dari sikap Caraka sendiri. Dan bagaimana saat sekolah terutama Bu Ratna menghukumnya, adalah tindakan yang paling benar. selalu ada alasan kuat dari setiap hukuman. Bukan serta merta membuat anak jera, tapi bagaimana anak tersebut dapat mengambil arti dan makna dari hukuman tersebut. Sekaligus perenungan dari kesalahan yang dibuat.

“Jangan kasih seseorang harapan kalau akhirnya menghempaskannya.” –Hal 84

Sebenarnya dalam novel ini tidak melulu terfokus pada Caraka. Ada si dingin yaitu, Nathan dan Nadya, sekaligus si Kurang Pede Sarah. Mereka berempat harus bersama-sama dalam sebuah ektra mading yang memaksanya terus berkumpul dan terlibat dalam banyak kegiatan. Meski dengan sifat yang berbeda-beda, mereka mencoba untuk bertahan dalam ruangan yang sama dan mencari jawaban dari pertanyana yang selalu Caraka suarakan, kenapa mereka harus bersama?

 “Orang yang tidak bisa mengharagai dirinya sendiri, nggak akan pernah bisa menghargai orang lain,” -112

Sikap Nathan yang cuek dan dingin kadang membuat orang geram bahkan tak banyak yang mengira Nathan adalah lelaki paling sadis. Namun, Nathan hanya ingin memberikan kesadaran pada sekitarnya terutama teman terdekatnya untuk bisa menghargai diri sendiri serta kemampuan pribadi. Anggapan bahwa tidak ada orang yang akan menghargaimu kecuali diri sendiri, itulah yang Nathan pegang. Bahkan saat ia juga menyadarkan Sarah yang selalu kurang percaya diri dengan kemampuan menulisnya. Nadya yang merupakan perempuan super kuat dan tidak membutuhkan pertolongan orang lain, mulai membiasakan diri untuk bertinkdak seperti manusia yang lain. Meminta pertolongan bila tidak sanggup.

Caraka dan Nathan. Dalam novel ini, kisah seakan berpusat pada mereka. Tentang Nathan yang mengidap penyakit dan terancam akan meninggal secepat mungkin, dan Caraka yang belum bisa memafakna kepergian sang ayah. Mereka berdua seakan bertransformasi untuk saling melengkapi, melindungi, dan meski tanpa mereka sadari, mereka saling menguatkan.

Novel ini benar-benar tidak hanya mengusung tentang bagaimana kelabilan usia remaja, romantika, tetapi juga tentang bagaiman pencarian jati diri dan arti dari sebuah persahabatan. Novel Let Go sangat cocok untuk remaja-remaja yang sedang berjuang hidup seperti Nathan agar mereka tahu untuk tidak membuang waktu dengan hal yang sia-sia.

Atau jika remaja tersebut seperti Sarah yang kurang percaya diri dengan kemampuannya. Percayalah, novel ini seakan mengajarkan bahwa hidup tidak akan adil bagi mereka yang tidak pernah mencoba dan hanya tunduk pada waktu. Hanya diri sendiri yang mampu mengalahkan semua tantangan dengan sikap berani.
Doc. Kabar Madura
7 Mei 2019

Semoga pembaca yang telah menamatkan novel ini akan paham arti dari persahabatan dan keajaiban di dalamnya.

Probolinggo, 17 April 2019
Agustin Handayani. Seorang penggiat literasi dan anggota FLP Probolingo.

Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...