Resensi Novel Another Heart



Berdamai dengan Dendam dan Sakit Hati

Judul                : Another Heart
Penulis             : Mala Shanti
Penerbit           : Elex Media Komputindo
Halaman         : 296 halaman
Terbitan          : Cetakan pertama, 2018
ISBN               : 978-602-04-5517-4
Peresensi         : Agustin Handayani


Saat sepasang suami isteri memilih berpisah, saat seorang ibu melahirkan tanpa ayah, maka siapa saja yang mengalami akibat dari hal itu? bukan hanya kedua pihak yang bersangkutan, tetapi juga sekitar yang secara tidak langsung juga ikut masuk ke dalam masalah tersebut. Siapa? Anak. Dalam sebuah rumah tangga di mana suami isteri memilih untuk berpisah, maka hal pertama yang harus mereka pikirkan adalah mental dan masa depan anak. Setidaknya, mereka harus bisa meyakinkan diri bahwa anak mereka tidak akan terkena dampak buruk dari perpisahan tersebut. Karena sekolah pertama anak adalah keluarga, jadi, apa pun yang dilakukan orang tua, akan selalu berdampak  untuk anak tersebut.

Seperti yang dirasakan Elle. Menjadi seorang anak tanpa sosok ayah di sampingnya membuatnya bersikap skeptis terhadap kaum lelaki. Bagaimanapun, ia sangat benci pada sang ayah yang malah tak bertanggung jawab dan tidak berupaya mencari keberadaannya sampai sang ibu meninggal. Semakin benci Elle pada lelaki saat ia menyaksikan bagaimana sang paman meninggalkan bibinya hanya karena tidak dapat memiliki seorang anak. Apakah cinta memang sedangkal itu? lantas apa yang bisa ia percaya dari lelaki bila semua lelaki yang ia kenal malah mengecewakan dan membuat Elle sendiri bersikap defensive pada kaum tersebut.
“Jangan suka menakar orang lain setara dengan standar yang kamu pasang untuk dirimu sendiri.” –Hal.9

Hingga Elle pun bertemu dengan Raffi saat mereka melakukan lomba memasak di sekolahnya. Pertemuan pertama yang memberi kesan tersendiri bagi Raffi, tapi tetap saja tidak berarti apa-apa bagi Elle yang memang tidak menyukai lelaki. Hingga alur melompat ke masa saat mereka sama-sama sukses dan sudah memiliki masa depan yang cerah, nyatanya sikap Elle tetap sama dan malah semakin keras.

Elle dan Raffi terlibat dalam sebuah hubungan yang sangat rumit. Tanpa status yang jelas, mereka masih saling berhubungan meski Raffi sudah memiliki calon tunangan. Sementara Elle tetap keukeh bahwa dia tidak ingin menjalin sebuah hubungan dengan lelaki karena ia tidak bisa percaya pada semua lelaki meskipun Raffi mencintainya dengan tulus. Hingga banyak hal yang membuat mereka kembali bertemu meski berkali-kali pula diambang perpisahan. Bahkan Raffi yang mulai jenuh dengan hubungan tak jelas yang sedang mereka jalani harus menerima semua scenario yang sudah Tuhan berikan pada mereka.
“Tuhan tidak pernah menggariskan satu pun hal yang sia-sia. Begitu pun saat menakdirkan  sebuah pertemuan, meski kemudian diakhiri dengan perpisanan.” Hal, 181

Dalam novel ini memang kita akan dikenalkan dengan sosok yang paling keras kepala seperti Elle. Namun, bila kita tekuni alur yang terjadi sampai akhir, Elle hanyalah seorang korban dari adanya perpisahan. Padahal, perpisahan dan pertemuan adalah satu koin dengan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Sama halnya dengan kebencian dan cinta yang hanya dibedakan selapis tipis. Kisah hidup yang selalu memiliki rahasia dan kejutan dan berhasil membuat hatinya terbolak-balik. Tentang kisah kedua orang tua yang sesungguhnya hingga kehadiran sang ayah kembali yang membuat Elle bimbang, tentang bagaimana sang bibi yang mendapatkan kebahagian baru setelah dikecewakan oleh lelaki. Lantas, apakah Elle juga memiliki takdir kebahagian nantinya?

Meski dikemas dalam kisah romansanya, sebenarnya Another Heart lebih condong ke dalam hubungan sebab akibat dari sebuah perpisahan. Karena selain tokoh Elle yang lebih menonjol, di sini juga ada kisah Indri, keteguhan Raffi yang meminta Elle percaya padanya, serta cerita hidup sang ibu tiri yang bisa berbesar hati menerimanya seperti anak sendiri.

Selalu ada rahasia yang akan terbuka pada waktu yang tepat. Seperti itulah inti kisah Another Heart. Penulis benar-benar sukses membuat pembaca terkesan dengan banyaknya amanat dalam kisah ini. Terutama berdamai dengan diri dan memaafkan semua kebencian di hati.

Probolinggo, 10 Mei 2019
Agustin Handayani. Mahasiswa akhir Ilmu Komunikasi. Anggota FLP Probolinggo dan KomunLis.

Ku Tak Salah Melepasmu





Lewat kertas kosong sisa buku tulis sekolah ini, aku utarakan bagaiamana perasaan hatiku. Lewat setiap kata yang selalu aku susun sama, tidak ada yang berubah. Terik matahari yang masih mentereng hingga membuat kulit terbakar, cinta itu masih tetap ada. Bahkan angin yang kemarin datang bersama kita, masih tetap tertiup mesra membelai kulit telanjangku. Ah, bukankah semua masih sama? Tidak ada yang berubah kecuali kita.

Iya, kita memang sangat berbeda. Bukan lagi berbeda yang menyatukan, tapi sebaliknya. Kita adalah dua hal yang sangat berbeda dan itu menimbulkan jarak di antara kebersamaan kita. Kita seperti dua manusia yan terpisah ratusan kilo mater. Padahal dulu kita terlampau dekat, bahkan angin pun tak bisa lewat di sela kita.
Roda memang selalu berputar, ‘kan?

Kekasihku yang dulu aku cinta. Lewat surat ini aku ingin memberitahukan betapa aku sangat mencintaimu. Bahkan kamu pun mungkin tak akan sadar seberapa besar itu. apakah sebesar gunung? Atau sebesar dunia ini? Ah, aku pun tak dapat mengira-ngira sebesar apa cintaku. Karena yang aku tahu adalah perasaan ini terlampau besar hingga tak ada perandaian yang dapat mewakilinya.

Namun kekasihku, kamu jangan terlalu senang dulu. Sudah aku bilang di awal, bahwa roda itu berputar, bumi pun sama. Perasaan yang dulu membuncah ruah, lama kelamaan menyurut. Cinta yang dulunya besar, lama-lama mengkerut, mengecil hingga akhirnya habis.

Kekasihku yang dulu pernah aku cintai tanpa alasan apa dan mengapa. Ternyata waktu memang tak berwujud tapi kenapa ia berhasil melululantahkan semua yang kita bangun. Waktu seakan menghipnotismu untuk berbubah dan berjalan menjauh dariku. Aku sadar, itu pasti bukan kehendakmu. Mungkin kamu di bawah pengaruh waktu yang jahat hingga kini kita menjadi masing-masing aku dan kamu.

Aku tidak tahu harus dari mana memulai kisah ini. Apakah sejak aku jatuh cinta? Atau sejak kita bersama? Tapi alangkah bijaknya, aku mulai saat kita mulai merasa saling menjauh. Karena menurutku inilah awal kisah baru kita. Kita akan melangkah dengan jalan yang saling bersebrangan tanpa ada titik temu di depan sana. Kita seakan menuruti waktu yang memerintah kita berpisah.

Tidak ada orang ketiga atau keempat di dalam hubungan kita, seperti perjanjian kita di awal. Meski begitu, retaknya hubungan bukan hanya karena masalah orang lain. Ini murni karena kita sendiri. Kamu yang mulai menjadi orang lain, atau memang seperti itu kamu? dari dulu hanya bertopeng karena kamu merasa perlu menakhlukkanku? Dan setelah aku takhluk, kamu dengan sikapmu kembali pada semula. Sikap yang jelas tidak aku kira dan pastinya tak aku suka.

Kamu terlalu mengekang dan mengikatku hingga aku tak bisa apa-apa. Bahkan sekadar bernapas pun, terlampau sulit. Ikatannya terlalu ketat. Apakah kamu sadar bahwa semakin kuat ikatan ini maka semakin besar keinginanku lepas?

Kekasihku yang berubah. Tidak baik bila kita sama-sama ketakutan. Kau takut aku berpaling sedang aku takut kamu berubah. Karena dari ketakutab itu, aku sadar bahwa kita sama-sama melangkah di arah yang berbeda.

Ketakutan itu tidak baik, kataku dulu. Namun kamu bilang kamu tidak takut hanya awas saja. Aku tak lantas percaya. Karena sinar mata kita sama, sama-sama dalam kecemasan dan ketakutan setiap bersama.

Kekasihku yang terlampau aku cintai dulu, siang ini bnayak kejadian yang semakin meyakinkan aku bahwa cinta memang tidak harus selalu bersama. Ada kalanya kita harus saling melepas untuk sejenak merasa bebas. Kita perlu bernapas untuk mengisi perasaan yang mulai kebas.

 Setiap waktu yang bergulir, setiap kata yang selalu kita katakan di setiap malam itu, banyak perbedaan yang semakin kentara. Perbedaan yang satu per satu muncul dengan sendirinya. Itu sudah menjadi aba-aba perpisahan kita, bukan?

Aku sudahi sejenak cerita ini. esok mari kita sambung lagi dengan lebih rinci. Dan mungkin esok, cerita ini sudah tentang aku dan kamu masing-masing, bukan lagi kita.

Probolinggo, 1 September 2019

Resensi Novel Sepasang Sepatu Tua



Kabar Madura

Personifikasi Kisah yang Menyentuh Lainnya.

Judul                            : Sepasang Sepatu Tua
Penulis                         : Sapardji Djoko Darmono
Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama    
Terbitan                      : Cetakan Pertama, Maret 2019
ISBN                           : 978-602-06-2672-7
Peresensi                     : Agustin Handayani

Tidak ada yang mengecewakan dari hasil tangan seorang Sapardji Djoko Darmono atau sering disapa Eyang Sapardji. Sastrawan yang terkenal dengan Hujan Bulan Juni ini selalu bisa menampilkan hal beda dan menyentuh tepat ke hati pembaca. Tidak seperti karyanya yang lain yang lebih banyak berupa puisi atau novel, kini Eyang Sapardji hadir dengan kumpulan cerpen yang terkumpul dalam judul Sepasang Sepatu Tua. 19 cerpen yang dikemas dengan sangat apik dan menarik.

“Mereka itu ternyata telah jatuh cinta padamu. Mereka senang kau membelinya, sebab sudah belasan tahun berada di toko itu tanpa ada yang menawarnya.” –Hal. 5

Kisah pertama yang dibuka dengan sebuah judul cerpen Sepasang Sepatu Tua yang juga menjadi judul dari buku ini. Majas personifikasi yang ditampilkan tentang sepasang sepatu tua yang milik tokoh aku. Sepatu yang awalnya jebol, hingga tokoh aku memutuskan membeli sepasang sepatu baru di China Town. Tidak seperti sepatu buntutnya yang bisu, sepasang sepatu tua yang baru ia miliki ini sangat ramai dan selalu berbicara dengan bahasa yang belum dimengerti oleh si empunya. Di mana pun berada, sepasang sepatu ini seakan terlihat sangat tertarik dengan keadaan baru yang ditemuinya setelah keluar dari toko yang menjadi rumah lamanya.

Dalam cerpen ini, mungkin akan banyak penafsiran yang didapatkan oleh pembaca. Tidak ada yang salah, karena tafisran yang beragam tersebut mengandung kebenaran dari buah pikir pembaca. Bila dilihat dari sudut pandang tokoh ‘Aku’, sifat yang dimilikinya dalam menghargai barang-barang milik pribadi dan bagaimana ia yang seakan menganggap bahwa sepasang sepatu itu adalah teman yang paling sejati. Ia tidak pernah merasa sendiri atau sepi karena selalu mencengarkan ocehan-ocehan dari sepasang sepatu tersebut. Dan bila kita lihat dari bagaimana sepasang sepatu yang tetap bersama meski berbeda dari kulit sapi, kita diingatkan tentang hakikatnya sepasang manusia.

Manusia selalu ditakdirkan bersama meski berasal dari perbedaan. Laki-laki dan wanita. Dari Jawa atau Sunda, tetap saja dari mana asal mereka, tetap tidak bisa membuat mereka berpisah. Manusia harus menerima takdir yang membuat mereka bersana atas dasar perbedaan. Karena yang sama, belum tentu bersama.

Melompat ke sebuah cerita yang berjudul, “Seorang Rekan di Kampus Menyarankan Agar Aku mengusut Apa Sebab Orang Memilih Menjadi Gila.” dalam cerpen ini memang sedikit berbeda dari cerpen lainnya yang mengusung majas personifikasi. Cerpen ini lebih membahas tentang hubungan atau interaksi manusia dengan sesama. Hidup adalah pilihan, seperti itulah yang sering kita dengar. Begitupun dengan orang gila di sekitar. Dalam cerpen ini, mereka percaya bahwa orang gila pasti memiliki alasan kenapa mereka akhirnya memutuskan menjadi gila. Maka dari itu, seorang mahasiswa yang melihat orang gila di tepi jalan, memutuskan mengajak orang gila itu berinteraksi dan bertanya perihal alasan menjadi gila. sebuah interaksi yang aneh sebenarnya. Bagaimanapun kita tahu, bahwa orang gila tidak pernah merasa dirinya gila, dan orang waras yang berbicara dengan orang gila makan akan terlihat gila oleh orang lain. Bukankah ini adalah hal yang aneh? Meski begitu, saya menangkap sebuah inti dari cerita ini di bagian akhir yang sengaja di tuliskan sebagai jawaban dari interaksi tersebut.

“Orang-orang lalu lalang, kendaraan lalu lalang, hari berjalan tertatih-tatih sampai saat mendengar suara azan.” –Hal.20

Menurut Eyang Sapardji dalam sebuah acara bedah bukunya, ke-19 cerpen ini tidak memiliki benang merah karena ditulis dalam waktu yang berbeda dan bahkan beberapa sudah dimuat oleh media massa. Meski begitu, kepiawaian dan bagaimana amanat yang terkandung selalu sukses membuat pembaca puas dan terkesan secara bersamaan.
Probolinggo, 10 Mei 2019

Agustin Handayani. Anggota FLP Probolinggo dan KomunLis Probolinggo.

Resensi Novel Hopeless



Kabar Madura, 22 Agustus 2019

Kebenaran yang Membuat Putus Asa

Judul                : Hopeless
Penulis              : Collen Hoover
Penerbit            : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan            : Mei 2019
ISBN                 : 978-602-03-1201-9
Peresensi           : Agustin Handayani

Terkadang mengetahui kebenaran lebih membuat putus asa ketimbang menyakini kebohongan.

Ada beberapa kebenaran yang kadang tidak perlu diungkapkan. Biarkan lambat laun dimakan waktu dan hilang ditelan zaman, itu yang mungkin dipikirkan oleh Collen Hoover saat menulis novel berjudul Hopeless- tanpa daya ini. Kebenaran dan kejujuran yang orang-orang banggakan kadang menjadi satu alasan yang tidak ingin didengar oleh beberapa orang. Bukan karena kebenaran itu tidak penting, hanya saja beberapa kebenaran malah seperi belati yang siap menikam dan membunuh kita tanpa ampun.

Seperti kisah Sky, seorang gadis yang baru pertama kali sekolah umum. Mendapatkan julukan ‘cewek nakal’ karena berteman dengan Six dan sering bergonta-ganti kekasih. Saat ia harus merasakan sekolah umum seperti gadis kebanyakan, sahabatnya Six tidak bisa menemani karena harus pergi di ujung dunia yang lain. Jadilah Sky menjalani kesehariannya sendirian.

Tanpa ponsel, koneksi internet, televisi dan alat elektronik lainnya. Sky seperti hidup di belahan dunia yang belum mengenal teknologi. Ibu angkatnya yang benama Karen mangaku anti teknologi hingga Sky harus sembunyi-sembunyi memakai ponsel barunya yang diberikan oleh Six sebelum pergi.

“Kadang-kadang kau harus memilih dari tumpukan keputusan yang salah, yang di dalamnya tidak ada keputusan yang benar. kau hanya harus memilih keputusan keliru yang kesalahannya paling kecil.” – Hal. 472

Suatu peristiwa membuatnya mengenal Dean Holder. Lelaki yang bereputasi buruk dengan sifat temperamental yang menakutkan. Berkali-kali Sky harus memutar otaknya dengan semua sikap Holder yang membingungkan dan penuh rahasia. Awalnya ia ingin sekali masuk ke dalam kehidupan lelaki itu, memahami setiap ekspresi lelaki itu. namun setelah Sky tahu maksud dari tatapan Holder dan sikap lelaki itu yang membingungkan, Sky mulai bertanya-tanya, apakah itu adalah tindakan yang tepat.

Hubungan masa lalu mereka ternyata sangat dalam. Banyak hal yang Sky temukan dengan kebersamaannya bersama Holder. Lelaki itu memiliki kebenaran tentang mereka di masa lalu. Kebenaran yang membuat Sky mengenal Hope, Lessi dan juga beberapa orang yang membuatnya jatuh tak berdaya, terutama ayahnya. Lelaki yang memiliki peran penting dalam masa kelam di masa lalu.

Dari kebenaran itu pula, Sky dituntut untuk mencari keputusan yang adil tentang sekitarnya. Pada Karen dan kebohongannya selama 13 tahun, Holder dengan segala rahasia yang dimiliki, dan sang ayah yang membuatnya trauma berkepanjangan.

“Aku tidak percaya pada akhir yang mengatakan hidup bahagia selamanya.” – Hal. 484

Setiap satu perlakuan manis, maka Holder berhasil mencuri satu keping hatinya hingga semua bagian hatinya benar-benar milik Holder seketika. Sky tahu bahwa lelaki itu memang memiliki takdir bersamanya. Bagaimana pelukan dan cara Holder meyakini semua yang terjadi, Tidak ada kisah yang selalu pilu, begitupun akhir yang selalu bahagia. Masa depan adalah sebuah rahasia yang tidak banyak diketahui.

Dari novel ini kita bisa mendapatkan banyak pelajaran bahwa setiap masalah, semua kesedihan memang harus dilalui dengan sekuat tenaga. Kita tidak bisa mengharapkan hidup yang selalu bahagia dan monoton. Ada kalanya bergejolak. Dari sikap Holder yang selalu memberi dukungan dan sangat memahami Sky, kita tahu bahwa cara terbaik menghadapi masalah dengan menjalaninya. Teman-teman yang membaca novel ini mungkin juga akan paham bagaimana peliknya masalah dan cara mengatasinya.
Probolinggo, 1 Juli 2019


Agustin Handayani. Anggota FLP Probolinggo dan aktivis literasi daerah.

Resensi Novel Cinta dan Senja


Kabar Madura, 27 Agustus 2019


Belajar Memandang dari Kacamata Orang Lain

Judul               : Cinta & Senja
Penulis            : Pelangi Tri Saki
Penerbit           : Pastel Books
Terbitan           : Cetakan pertama, Mei 2019
ISBN                : 9786026716484
Peresensi         : Agustin Handayani

Sebenarnya tidak ada nilai mutlak dari suatu keberhasilan seseorang. Keberhasilan itu relative menurut beberapa orang. Pasalnya satu hal yang disebut keberhasilan bagi seseorang, belum tentu akan dinilai sama oleh orang lain. Setidaknya seperti itulah yang akan dibahas dalam novel Cinta dan Senja. Meski mengusung tema remaja, nyatanya kisah yang lebih pelik seakan mengikuti cerita seorang perempuan bernama Cinta ini.

“Jangan jadiin keadaan orang benalu buat ngekang hidup lo sendiri, karena hidup bukan begitu. Hidup bebasin lo sendiri yang nentuin.” –Hal 142


Jika bisa dikatakan, Cinta itu tidak bahagia. Bagaimana bisa ia bahagia jika selama hidup dalam kesehariannya selalu menjadi bayang-bayang kakak perempuannya yang sangat sempurna. Seorang kakak yang cantik, pintar dalam akademis, mantan ketua OSIS dan banyak digandrungi oleh lelaki di luar sana. Sementara Cinta? Tidak sampai seujung kuku dari kesempurnaan itu. Mereka seperti dua sisi yang berlawanan.
Cinta seakan memiliki trauma yang membuatnya selalu memadang skeptis sekitaranya. Pengalaman memang adalah guru paling bijak dalam kehidupan. Pengalaman Cinta yang selalu dimanfaatkan oleh sekitar untuk mendekati kakaknya, membuatnya meresa selalu dimanfaatkan. Tidak pernah dipandang sebagai seorang Cinta yang sesungguhnya.

“Sementara dalam kehidupan, sebenarnya kita dituntut buat bisa melihat dari kacamata orang lain juga.” –Hal. 101

Memiliki seorang tetangga yang bernama Senja atau dipanggil Jaja, padahal lebih enak dipanggil Irgi adalah awal mula trauma yang Cinta miliki. Mungkin tak masalah jika lelaki lain mendekatinya untuk bisa berkenalan dengan sang kakak, tapi jangan Irgi. Karena lelaki yang berhasil mencuri hatinya itu selalu berpengaruh pada hidupnya dan membuat dirinya jatuh-sejatuhnya.
Hal yang menarik dari novel ini mungkin dari segi Cinta yang memadang semua hal dari kaca matanya sendiri. Kebiasaan lingkungan yang selalu membuatnya berprasangka buruk nyatanya membuat percaya dirinya jatuh. Cinta menjadi perempuan yang emosian, karena baik keluarga dan lelaki yang ia cintai lebih menyukai kakaknya kebanding dirinya.
Pencarian sebuah masa depan dan passion turut menjadi hal yang menarik dari novel ini. Bagaimana saat remaja yang berumur 16 tahun dituntut untuk mulai berpikir dewasa dan mengambil belajar kesabaran.

“Karena memaafkan bukan tentang kepuasan diri, tapi tentang kedamain hati.” –Hal. 249

Dari semua masalah yang dihadapi, rasa kepercayaan diri yang hilang, dan kekecewaan dari sekitar, semua hanya perlu satu tindakan yang harus dilakukan; memaafkan. Sedangkan buah dari memaafkan itu sendiri adalah rasa ikhlas. Itu yang diajarkan oleh Kakak iparnya tentang bagaimana seorang Cinta harus bertindak saat di semua sisi meenyudutkannya dan memandangnya seakan orang yang paling menyedihkan.

Dalam novel inipun, pembelajaran tentang sikap bullying baik verbal maupun fisik turut menjadi pelajaran bagi pembaca. Bagaimana kita yang tidak harus selalu memandang semua hal dari sisi kita, tapi juga dari kaca mata sekitar. Itulah kuncinya.

Probolinggo, 2 Juli 2019

Agustin Handayani. Seorang aktivis literasi daerah. Anggota KomunLis dan FLP Probolinggo. 

Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...