Doc. Kabar Madura, 09 Januari 2020
Menyikapi Penyesalan dan Penerimaan Takdir
Judul : Ranjang Sebelah
Penulis : Wardah T.
Penerbit : Stiletto Books
Terbitan : Cetakan I, 2019
Tebal : 398 halaman
ISBN :
978-602-339-863-1
Peresensi : Agustin Handayani
Bahtera rumah tangga ibaratkan
sebuah kapal besar yang tengah berlayar di lautan luas. Kadang kala akan ada
ombak yang menerjangnya berkali-kali, mencoba menguji seberapa kuat pondasinya.
Tidak akan ada jalan yang mulus tanpa rintangan. Semua butuh ombak, butuh
cobaan untuk menjadikannya semakin kuat. Seperti itulah pelayaran perahu ke
dermaga.
Kisah yang sama dengan bahtera
rumah tangga. Seperti yang Wardah ceritakan dalam novel Ranjang Sebelahnya. Kisah
cinta yang diangkat dalam sebuah hubungan suami isteri. Bagaimana sebuah awal
akan selalu menentukan sebuah akhir, dan bagaimana sebuah penerimaan selalu
diawali dengan penolakan.
“Penyesalan bukan untuk diratapi, tapi untuk memperbaiki.” –Hal. 342
Lowee, seorang wanita modern yang
menikah diawali dengan rasa terpaksa. Rasa sakit hati dan merasa dicurangi oleh
lelaki yang dipanggilnya Abang. Kealpaan lelaki itu dalam hidupnya membuat
Lowee memutuskan menikah dengan lelaki yang mengidap OCD (Obsessive Compulsive
Disorder) bernama Roshan. Lelaki yang ternyata memiliki hubungan sangat dekat
dengan masa lalunya. Takdir seakan mempermainkan wanita modern itu.
Semua berjalan dengan baik dan
teratur dari usaha penerimaan yang Lowee berikan pada sang suami. Namun saat
rasa iri dan cemburu menguasai hatinya pada sosok masa lalu, hubungan suami
isteri menjadi taruhan. Tidak ada lagi keharmonisan, malah hambar dan semakin
membuatnya jenuh. Lowee lupa diri bahwa ada lelaki yang mencintainya dengan
tulus. Ia malah terus memandang ke
belakang dengan banyak perandaian indah bersama yang terasa mustahil saat itu.
Semua doa-doa buruk yang
dirapalkan Lowee setiap waktu, ibaratkan mantera yang minta dikabulkan ternyata
menjadi boomerang sendiri bagi Lowee.
Penyesalan dan kesedihan membelenggunya hingga kehilangan setengah waras.
Setiap sudut dalam ingatannya semakin membuatnya bersedih akan kesalahan sikap buruknya
dan doa yang kadung diamini Tuhan.
“Kadang cinta lebih indah dengan jalan penolakan, daripada dimulai dengan penerimaan.” –Hal. 322
Novel Ranjang Sebelah bukan hanya
kisah cinta antara penyesalan dan keinginan. Namun juga tentang bagaimana
menyikapi segala hal dengan lebih menerima, ketimbang mencaci. Tentang Lowee
yang dipermainkan takdir dan berlabuh pada lelaki yang membuatnya berkhianat
pada suaminya. Lowee kembali mendapati sebuah jalan yang sama dengan Byan, masa
lalunya.
Novel yang cukup menarik ini juga
memberikan kita banyak pelajaran tentang bagaimana Islam memulaikan perempuan.
Tentang bagaimana harusnya seorang isteri yang menghormati suami, dan hubungan
timbal baliknya. Keterlibatan agama dalam novel ini sangat kuat hingga menjadi
pandangan hidup bagi setiap sikap dan langkah yang diambil oleh setiap tokoh.
Bahwa tidak ada manusia yang bisa adil, kecuali Allah SWT. Penuturan yang halus
tentang berpoligami juga disampaikan dengan baik dan mudah dipahami.
Penulis seakan menggiring pembaca
untuk mengikuti bagaimana arus tokoh Lowee dengan penyesalannya, bagaimana
kehilangan adalah cambuk yang menyakitkan, dan sifat keirian adalah belati yang
mematikan. Kisah ini diambil dengan cukup realistis dan banyak terjadi di
sekitar. Ini menjadi poin tambahan untuk novel Ranjang Sebelah.
“Kesalahan adalah kebodohan yang tidak pernah mau diakui.” –Hal. 367
Tutur bahasa penulis yang lembut
dan mendayu-dayu cukup mengaduk emosi pembaca. Bagaimana penulis memberikan amanat
dalam ceritanya bisa sampai dengan tepat sasaran lewat tokoh Lowee. Novel ini
cocok untuk semua kalangan, karena dibalik kisah rumah tangganya, pesan moral
cukup mengena ke dalam diri pembaca.
Probolinggo,
13 Desember 2019
Agustin Handayani. Aktivis Literasi kota dan anggota FLP
Probolinggo.
No comments:
Post a Comment