Doc. Kabar Madura 28 Juni 2019
Tukang Kaba
Lelaki itu
terus saja bercerita. Bahkan ini sudah lima jam saat ia memutuskan duduk di
tengah pasar dan bercerita tentang banyak kisah. Puluhan orang mulai
mengerubunginya sejak tadi. Bukannya berkurang, setiap detik malah bertambah
semakin banyak.
“Oh, bahagia
orang kita sebarkan, derita orang kita sembunyikan ….”
Tukang kaba
itu selalu memulai kisahnya dengan nyanyian yang menjadi lagu wajib ceritanya.
“Oh Tukang
Kaba! Ceritakan tentang kisah puteraku yang sebentar lagi akan menghadapi pilkades
tahun ini,” pinta seorang lelaki tua yang punggungnya sudah bongkok. Matanya
terlihat rabun, namun masih memancarkan harap untuk mendengarkan kisah anaknya
yang akan mujur dari mulut tukang kaba.
“Oh, anakmu
yang bernomor satu, ‘kan?” tanya tukang kaba yang sempat tahu poster pilkades
di desa ini.
Pak tua itu
mengangguk bersemangat. Ia menuggu dengan sabar untuk mendengarkan kisah dari
tukang kaba tersebut.
Tukang kaba
menarik napas dalam-dalam. Ia memejamkan matanya lama-lama sebelum terbuka dan
tatapannya berbeda. Ada titik hitam yang serius dalam pandangannya. Seakan
tatapan itu memutar sebuah gambar yang akan ia ceritakan setelah ini.
“Oh, kisah
bahagia orang kami sebarkan, derita orang kita sembunyikan ….”
Dan
mengalirlah sebuah cerita tentang kepala desa yang arif dan bijaksana. Dengan
kemurahan hatinya, rakyat hidup makmur dan desa semakin maju. Kepala desa yang
lahir dari orang bawah yang mengerti bagaimana nasib orang-orang bawah berjuang
untuk hidup. Kepala desa yang mencintai rakyatnya dengan segenap perjuangan.
“Oh, tukang
kaba, apakah itu anakku? Yang menjadi kepala desa itu adalah anakku?” tanya pak
tua itu penasaran. Namun binar bahagia tak pernah redup di wajahnya. Ia sudah
bisa menebak bahwa anaknya akan menjadi kepala desa yang arif dan bijaksana.
“Benar.
kepala desa itu adalah anakmu. Dia adalah kepala desa paling tampan dan gagah
di desa ini. Kerendahan hatinya bahkan membuat rakyta segan,” jawab tukang kaba
dengan senyum yang nampak aneh.
Pak tua yang
mendengarnya semakin mengembangkan senyum. Ia mengelus dadanya berkali-kali dan
bergumam dengan pelan, “akhirnya aku bisa mati dengan damai. Terima kasih,
Tukang Kaba. Aku sudah tidak perlu mengkhawatirkan nasib anakku setelah ini,”
ujarnya yang langsung memberikan beberapa koin pada tukang kaba sebagai upah
berceritanya.
Setelah
langkah membawa pak Tua itu pergi, tatapan tukang kaba masih terus saja
mengiringi Pak tua itu.
“Oh, bahagia
orang kami kabarkan. Derita orang, kami sembunyikan ….”
Kepala desa itu hanya akan bertahan setahun
di masa jabatannya. Karena Ia memiliki kekasih yang tamak dan haus akan uang.
Kepala desa muda ditemukan tewas di peraduannya dengan leher yang digorok oleh
sang kekasih.
Tukang kaba
akan berjelajah dari satu pasar ke pasar lain, dari satu desa ke desa yang lain.
Dengan keahliannya bercerita, banyak orang-orang yang menunggunya untuk meminta
cerita bahagia dari tukang kaba tersebut.
“Tukang
kaba, ceritakan tentang kekasihku! Malam Minggu nanti kami akan melangsungkan
pernikahan!” seru seorang gadis berpakain kebaya. Wajahnya bulat dengan kulit
kuning langsat. Kentara sekali bahwa perempuan itu keturunan jawa asli.
Tukang kaba
tak mampu menolak. Ia mengangguk untuk mengiyakan permintaan gadis tersebut.
Ia mengambil
napas dalam-dalam dan memulai menyanyi sebelum memulai kisahnya.
“Oh, bahagia
orang kami kabarkan, derita orang kami sembunyikan …”
“Sepasang
suami isteri yang hidup dengan dua anak kembar. Keadaan mereka bahagia dengan
canda tawa setiap hari. Teh hangat yang selalu menjadi rutinitas mereka di kala
senja datang, dan berkumpul penuh canda saat malam tiba. Oh, benar-benar
keluarga yang penuh cinta.”
Tukang kaba
terus bercerita hingga membuat gadis itu menitikkan air mata. “Oh, benarkah aku
akan bahagia dengan suamiku kelak? Aku benar-benar lega mendengarnya,” ujar
gadis tersebut.
Setelah
gadis itu memberikan koin pada tukang kaba, ia masuk ke dalam rumahnya.
Sementara
tukang kaba masih menatap kepergian gadis itu dengan tatapan sendu.
“Oh, bahagia
orang kami kabarkan, derita orang kami sembunyikan ….”
“Di belakang
isterinya, lelaki itu memiliki anak dari madunya. Aib yang terus tertutupi
hingga terbongkar di saat yang tepat,” lirih tukang kaba melanjutkan ceritanya,
tanpa gadis itu tahu.
Begitulah
keseharian tukang kaba. Setelah malam datang, ia melangkah menuju tabing
rumahnya. Di sana ia akan beristirahat dengan segelas kopi panas yang ia seduh.
Begitulah
kisah manusia. Tidak selamanya akan indah. Ada saatnya derita selalu datang di
bekalang bahagia atau berbarengan dengan tawa. Seperti kisah tukang kaba itu.
Hidup
sendiri tanpa seorang pendamping. Ia hanya bisa merangkai kisah tentang
orang-orang, namun tidak untuk kisahnya. Ia tidak memiliki kisah bahagia yang
bisa ia ceritakan. Hidupnya hanya mempu menghibur orang lain, bukan dirinya
sendiri.
“Oh, kisah
orang saya kabarkan, kisah sendiri tak tahu rimbanya,” ujar tukang kaba sebelum
kantuk membawanya terpejam sampai batas waktu tak memberikannya hari lagi.
Probolinggo,
27 Maret 2019
Biodata Penulis
Agustin Handayani, penggiat literasi dan anggota FLP Probolinggo
No comments:
Post a Comment