Ibadahku hanya Untuk-Mu, Ya Rabb

Yani, Just it


"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Dalam surah tersebut, telah ditegaskan bahwa Allah SWT tidak menciptakan makhluknya selain untuk menyembah kepada-Nya. Mendekatkan diri pada siapa yang menciptakannya.

Bagaimana cari kita mendekatkan diri kepada Allah SWT? Beribadah. Jelas kita harus beribadah agar kita bisa lebih dekat dengan siapa pencipta kita.

Menurut bahasa, Ibadah adalah tunduk, berserah diri. Sedangkan menurut terminologi, ibadah adalah taat kepada perintah Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya.

Apa-apa saja perintah Allah SWT tersebut? Semua telah dijelaskan di Al-Quran. Bahkan saat kita menempuh pendidikan di TPQ atau madrasah, kita telah diberi pengetahuan apa-apa saja yang harus dilakukan sebagai bentuk taat kita kepada Sang Pencipta.

Ibadah pun tak hanya langsung beribadah semau dan sesuka kita. Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam beribadah agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT dan pastinya bermanfaat untuk kita. Misal:

a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.

b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Bila kedua hal tersebut dilakukan, yakinlah Ibadah kita pasti diterima oleh Allah SWT.

Apa kegunaan Ibadah? Mengapa kita harus beribadah? 

Saya rasa akan banyak pihak yang bertanya-tanya tentang hal tersebut. Tak terkecuali juga saya. Namun, sebagai makhluk yang cerdas dan berpikir kita diharuskan untuk menggali sebuah kebenaran. Mendapatkan sebuah jawaban atas pertanyaan. Bukan hanya membiarkan saja pertanyaan-pertanyaan tersebut tanpa tanggapan.

Bila saya jabarkan sedikit -Karena seyogyanya sangat banyak. Beberapa mengapa kita harus beribadah kepada Allah SWT adalah :

1. Bentuk syukur karena kita tlah diberi sebuah kehidupan hingga kita bisa merasakan kenikmatan dunia

2. Mendekatkan diri kepada sang Pencipta.

3. Menentramkan jiwa dan raga dari segala masalah yang kita hadapi.

4. Sebagai tempat curhat kala kita sendiri dan lelah menjalani masalah yang berbelit. Percayalah, semakin kita berinteraksi dengan Allah SWT, masalah akan cepat terselesaikan

5. Meminta pertolongan. Karena hanya Allah SWT lah yang sedia membantu kita 24 jam tanpa henti kala kita kesulitan. Saudara bahkan kerabat saja memiliki waktu tertentu yang tak bisa kita ganggu padahal kita sedang butuh pertolongan. Maka, bersujudlah dan minta kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT akan membantumu.

Ini hanya beberapa hal yang mampu saya jabarkan. Sebenarnya sangat banyak sekali manfaat dari ibadah kepada Allah SWT.

Pertanyaan terakhir adalah, bagaimana cara kita meningkatkan ibadah kala kita malas?

Ingatlah. Setan memang selalu ada di samping kita. Berjalan bersamaan dengan segala apa yang kita lakukan. Bila kita hanya diam dan membiarkan setan bersama kita, maka selamanya kita akan berteman dengan setan.

Beberapa tips yang mungkin bisa saya berikan pada kali ini, misal:

1. Perkuat Niat. Semua hal yang kita lakukan harus disesuaikan dengan niat. Niat adalah awalan, permulaan dari sikap. Niatkan ibadah kita hanya untuk Allah SWT. Niatkan untuk mendapat ridha-Nya

2. Ingatlah tentang segala kenikmatan yang telah diberikan-Nya pada kita. Layaknya penjual dan pembeli. Saat pembeli memberikan barang olahannya, maka penjual wajib membayar. Sama halnya dengan kita. Allah SWT sudah berbaik hati memberikan segala kenikmatan-Nya untuk kita.

3. Hindari rasa malas dengan meningkatkan sikap disiplin. Jangan menunda-nunda ibadah agar kita tidak terbiasa molor hingga akhirnya lupa.

4 mulailah dengan hal kecil yang dapat kita lakukan. Sekecil apapun ibadah kita, peecayalah!! Allah SWT selalu menghargai usaha dari hamba-Nya.

Sekian ini yang bisa saya jabarkan pada malam hari ini. Semoga apa yang saya tulis hari ini bisa bermanfaat bagi semua pembaca sekaligus teman semua. Ke depannya, saya harap bisa menulis hal yang lebih bermafaat lagi dari ini. Amin.


Sumber Referensi


Monolog Sepi dan Pergi

Yani, Just it


Karya. Yani

Malam terakhir bulan Mei. Itu yang sedang aku catat dalam sebuah kertas yang kuhias cinta. Apakah aku sedang jatuh cinta? Tidak. Nyatanya aku tak berteman baik dengan rasa-rasa merah jambu itu. Terlalu bermusuhan layaknya kucing dan anjing.

Hanya saja, malam tetaplah malam. Sebentar datang, sebentar pergi. Aku tak pernah mengecewakan malam. Karena dari malam aku mulai belajar. Hitam, tak selalu gelap. Ada Bulan dan Bintang yang menyinari.

"Meski malam tetap akan datang keesokan harinya, mengapa kamu pergi dan enggan kembali?" Bisikku lirih pada angin-angin yang menyapa.

Mereka seakan berkata 'hay' dan 'selamat tinggal' secara bersamaan. Apakah aku marah? Jelas. Hanya saja, aku bisa apa. Tak ada yang bisa aku hentikan. 

Sama halnya dengan dia. Aku mengenalnya pada bulan yang tak genap tiga puluh. Ah, Februari yang basah. Dalam percakapan, aku tahu bahwa dia juga mulai mengenalku. Tak pernah serumit dengan lainnya. Perkenalan itu bagai air yang mengalir. Hanya saja, kesan pertama amat penting bukan?

Kesan-kesan yang tak pernah aku lupakan. Di sini, dia menempati tempat tersendiri dalam hati. Ego-ego dan amarah merajai perasaan lembutku kala itu. Hingga sebuah kesabaran mulai membawa arti sebuah persahabatan. Apakah cukup sampai disitu? Tidak.

Manusia adalah makhluk yang sangat rakus. Setelah persahabatan, ada kalanya aku meminta lebih. Dia untuk aku, sekarang dan secepatnya. Egois dan pemaksa. Namun, aku tak peduli. Nyatanya, keegoisanku terimbangi oleh kesabarannya. 

Ah, aku tak ingin bercerita bagaimana kami bersama. Lebih dari itu, aku ingin menuliskan sedih perih yang tiada tara. Nyatanya, melepaskan memanglah tak pernah gampang. Terlalu sakit untuk dilakukan. Akan tetapi, bertahanpun tetaplah kesalahan. Mengiris hati secara perlahan. 

Dia hanya seseorang dengan kehidupan bebas. Pahit manis hidup tlah dirasakan lebih dulu. Pun dengan cinta. Bisa kukatakan, ia berpengalaman.

Cinta masih tetap buta hingga saat ini kan? Ah, sepertinya aku harua berganti retina mata. Perbedaan yang awalnya menjadi kata "Tak Bermasalah" kini berubah "Bermasalah". Terlalu banyak kata beda yang terucap lisan. Pun dengan orang-orang yang menghujat dan menolak. Aku menyerah.

Kini, di persimpangan aku mencoba mengambil langkah yang berbeda. Aku hanya menatap segala tingkahnya. Berharap suatu saat rasa ini semakin pupus dan aku bisa merasakan cinta yang tulus -Meski bukan dirinya. 

Kepergian adalah kawan dari kedatangan. Tak dapat terpisah sedikitpun. Maka, bila Februari yang basah aku mengenalnya, izinkan aku melepasnya di Mei yang panas ini. Pada angin-angin yang dengan keji menampar tiap malam. Memberi kedinginan tanpa pengobat penghangat. Angin-angin yang aku kutuk setiap malam keberadaannya. 

Februari selamat tinggal.
Mei bawa saja dia yang ingin pergi.
Maret dan April, terima kasih atas Rasa-rasa yang manis itu. Meski sesaat, aku sangat berterima Kasih.

Juni dan lainnya, aku tunggu kisahku esok dengan rasa yang baru -Dan aku harap cinta baru. 

Malam, izinkan aku terlelap
Sebelum lusa kisahku dan Juni dimulai.

Probolinggo, 30 Mei 2018


Lagu-Lagu Rasa dan Cinta

Yani, Just it

Judul                           : Lagu Bathinku
Penulis                        : Tamariah
Penerbit                     : J-Maestro
Cetakan                      : 2018
Halaman                     : 140 halaman
ISBN                            : 978-602-5782-68-8
Jenis                            : Album Puisi
Peresensi                   : Agustin Handayani

Sebuah karya yang apik tak akan jauh dari arti sebuah kerja keras dari penulisnya. Bila ada pepatah berkata, “Keberhasilan adalah nama lain dari kerja keras,” maka album puisi inilah bukti nyatanya. Tamariah, begitulah nama penulis dari ‘Lagu Bathinku’. Seorang wanita yang berprofesi sebagai guru di salah satu Sekolah Negeri. Menjajal dunia literasi pada tahun ini dan mulai giat mengikuti beberapa ajang lomba dan antologi bersama. hingga kini menerbitkan buku album puisinya yang tercipta dari seluruh keadaan sunyi, lirih, suka, duka, dan segala macam emosi di dalamnya.

Menghapus bayangmu dalam sepi
Menghapus jejakmu dalam bimbang
Melupakan semua obsesiku tentangmu (Hal. 11)

Pada album puisi pertama, penulis akan membawa kita pada usaha untuk melupakan sebuah kenangan. Penulis akan membawa kita pada suatu keadaan dimana kita dipaksa berusaha untuk menghapus sebuah kenangan dari ‘seseorang’ yang pernah sangat berarti untuk kita. Seseorang yang dulunya adalah orang yang paling kita butuhkan layaknya udara. Namun, kesemuan tetaplah dirasakannya. Kita harus tetap melupakan apapun yang tak mampu kita miliki, bayang semu. Meski kata berat dan letih dalam melupakan akan kita rasakan nantinya, yakinlah bahwa usaha tak akan pernah sia-sia. Seperti itulah penulis menjabarkan usahanya untuk melupakan jejak orang tersebut.

Tidak hanya sekedar mendengar
Tidak sekedar melihat
Tidak sekedar merasa
Tapi juga memahami (Hal. 54)

Di sebuah puisi lainnya, lagi-lagi penulis menjabarkan sebuah kesedihan yang mendalam. Puisi yang berjudul, ‘Lara’ tersebut sukses membuat kita bertanya, ada apa dengan situasi penulis saat itu?. Puisi yang sangat mampu membangkitkan suasana sunyi dan lirih dimana duka-duka dan sebuah pinta pemahaman kekasih terhadap pasangannya. Dari sini pun kita akan paham, kita tak butuh mereka untuk hanya sekedar melihat, mendengar, atau merasa. Akan tetapi kita ingin mereka juga memahami. Memahami apa yang mulut katakan, telinga dengar dan yang hati rasakaan. Karena diam bukan berarti mereka paham, mereka hanya menyimak.

Dalam album puisi ini, penulis tak melulu mengantarkan kita pada kesunyian dan lara, namun juga ada beberapa puisi religi yang sangat syahdu bila kita baca dengan hati. Puisi berjudul ‘Dzat-Mu’ adalah puisi yang penulis tulis sebagai bentuk kecintaan dan kepasrahannya terhadap Tuhan. Sebuah tanda tanya akan keberadaan Tuhan yang telah menciptakan segala isi di bumi dan suasana yang tercipta. Masihkah kita akan ragu akan keberadaan Tuhan bila sejauh mata memandang tak luput dari ciptaan-Nya? Benar adanya, kadang semua orang –terutama saya- bertanya-tanya seperti apa rupa Tuhan yang menciptakan laut tanpa kering, sinar dan kemerlap bintang di malam hari. Seperti apa Tuhan yang namanya selalu diucapkan kala diri ini bernapas? Seharusnya kita tak perlu bertanya, karena yang harus kita lakukan adalah bersandar dan semakin mendekatkan diri pada Dzat-Nya.

Album puisi yang berjumlah 100 puisi di dalamnya ini benar-benar tercipta dari pergejolakan rasa dan emosi yang dirasakan penulis. Emosi yang terkumpul hingga dapat membangun sebuah puisi yang hidup. Mungkin bila kita rasakan lebih dalam lagi, kita dapat memetik inti dari semua puisi ini yang seakan sebuah kenyataan dari pengalaman penulis.

Seperti saat kita membaca buku apapun itu, bila setelah membaca kita hanya akan langsung menutup buku tersebut. kita tidak akan pernah tahu inti dan maksud buku yang kita baca. Sebaliknya, bila setelah membaca buku, kita diam sejenak, menyimak dan menyimpulkan apa yang telah selesai kita baca, sedikit tidaknya kita akan mendapat manfaat dari pemahaman tersebut. karena itulah tujuan dari seorang penulis. Karya yang apik adalah karya yang dapat membangun dan berguna bagi siapa saja yang membacanya.

Probolinggo, 27 Mei 2018

Kisah Klasik Malam Sabtu

Yani, Just it



Malam tetap saja gelap. Menghitam dari timur ke barat. Pun dengan selatan hingga ke utara. Mega-mega yang tadi putih, kini turut gelap dan mendung. Suasana yang mencekam dengan jangkrik-jangkrik yang bersautan. Auman singa dan lolongan serigala semakin menghiasi jalan setapak dekat tol ini.


"Bagaimana jika kita pulang saja?" Tawar Jusud yang bulu kuduknya sudah berdiri dengan tegak. Bahkan bulu roma di sekitar lehernya pun semakin memberi kesan merinding tak menentu.


Gagas menolak. Ia semakin mengeratkan jaket kulitnya dan membenarkan sarung yang disampirkan di pundaknya.

"Sudahlah. Bentar lagi kita akan masuk ke pemakaman," ujar Gagas semakin semangat berjalan ke barat. Tepat pintu pemakaman berada.

Seharusnya mereka datang saat malam jumat kliwon. Hanya saja, malam jumat kliwon sangat serem dan menakutkan. Mental mereka tak akan sanggup bila harus meniti jalanan sepi tanpa seorangpun.

"Kamu yakin mau mengambilnya?" Jusud bertanya lagi. Merasa tak yakin dengan niat sang teman.

"Terus kamu mau nolak rezeki kita malam ini?"

Jusud menggeleng, namun sedetik kemudian mengangguk. Merasa bingung juga.

"Kita balik sajalah. Kapan-kapan kita balik lagi!" Bujuk Jusud lagi. Ia benar-benar merasa angker berada di tengah-tengah kuburan. Bumi seakan buncit kekenyangan dengan lemak-lemak yang berjejer rapi. Itulah yang dipikirkan Jusud melihat gundukan tanah itu.

"Jusud!!! Kamu kenapa, hah?! Kita hanya akan mengambil daun pohon pisang, bukan ngambil tali pocong!" Sentak Gagas yang sangat gemas dengan ketakutan temannya.

Mereka ke sini hanya untuk mengambil daun pohon pisang saja. Seharusnya memang kemarin, tepat jumat kliwon, hanya saja mereka memilih hari ini. Hari ini mereka akan aman dari para arwah setan yang bangun karena terusik.

"Isterimu itu juga gila! Ngidam daun pisang di tengah kuburan. Kan bisa sih ngidam daun pisang di rumahku," balas Jusud tak terima.

Jika Gagas bukan temannya, Jusud pasti sudah misuh-misuh pada wanita ngidam itu. Apakah tak ada yang lebih waras sedikit dari ngidam daun pisang kuburan?

"Sudahlah. Ikuti saja. Dari pada anakku ngeces."

"Sekalian anakmu seperti embek. Makan daun pisang ini," sahut Jusud dongkol.

Malam ini, telat pukul 23.14 WIB, mereka kembali ke rumah dengan beberapa helai daun pisang dari makam. Daun pisang muda yang warnanya tak boleh ada hijau dan panjangnya harus lebih dari satu meter.

Satu kata dalam pikiran Jusud, merepotkan.

Kegelisahan Tengah Malam

Yani, Just it

Hasil gambar untuk kegelisahan

Ini masih tengah malam saat aku mulai terbangun dengan suara grasuk-grusuk di lemari. Suara plastik yang seakan di cakar, kerdus yang digigit bahkan suara kertas yang ditarik paksa oleh tikus-tikus kecil. Aku jengah. Membalik badan ke kanan, suara itu masih ada. Telentang, telungkup, suara itu masih saja nyaring di telinga. Mungkin karena jarak lemari dan tempat tidur hanya setengah meter.

Aku menyerah. Kali ini aku memilih bangun dan mengumpulkan ceceran kesadaran. Meliarkan pandangan kesegala penjuru ruangan ini, aku baru ingat bahwa sejak kemarin aku belum menghidupkan ponselku sama sekali. Segera saja aku mencari ponsel tersebut dan mendapati baterainya masih separuh. Aku bersyukur namun miris juga bersamaan. Tak ada tanda-tanda pesan masuk dari siapapun, terutama dia. Dia seakan lenyap tanpa kabar. Seyogyanya aku memang mengakhiri saja semua kesemuan ini. Karena tanpa sadar, di sini aku lagi yang mulai bermain hati. Sedangkan dia, masih berdiri di tempatnya bahkan menjauh pergi.

“Aku lelah,” aduku pada malam yang semakin gelap.

Langit masih saja bercumbu dengan gelap. Pun dengan rembulan dan bintang yang asyik bercanda hingga sinarnya teramat terang. Lagi-lagi mereka berpasangan seakan mengejak aku yang hanya bisa menahan segala rindu untuknya. Mungkin harus  segera aku tuntaskan segala rinduku malam ini, akan tetapi apakah harus aku yang memulai? Sedangkan sejak dulu, aku selalu menjadi pihak yang lemah. Ah, aku mulai lelah dengan pertikaian batinku.

Tepat pukul satu dini hari, aku menyerah. Menghidupkan computer dan mulai bercengkrama dengan aksara yang selalu setia menemaniku setiap saat. Kali ini, biarkan aku bersenggama dengan rindu yang semakin menyemukan segalanya. Ilusi-ilusi emosi yang tertancap dalam pikiran dan dada. Tak ingin enyah meski telah aku coba usir pergi.

“Rindu ini harus kau bayar dengan pertemuan yang abadi.”

Seperti itu mungkin pikiranku selama ini. Pintaku padanya yang hanya bisa tersenyum tanpa kata. Tak menolak saat rindu yang kusebut peluru dalam senjata yang jitu. Menembus kulit dan merembeskan darah merah yang kental.

“Aku rindu dan lelah, lagi.” Dan malam ini aku tuntaskan segala rasaku. Berakhir dalam kata tanpa arti. Hanya coretan, luapan emosi dan segalanya. Semua aku tuangkan dalam kata-kata yang menjadikannya kalimat.

Probolinggo, 25 Mei 2018
00.10-01.00 WIB

Negeri Ramadhan

Yani, Just it





Pada zaman dahulu, tepatnya beberapa tahun setelah Hijriyah, berdirilah sebuah Negeri yang bernama Negeri Ramadhan. Negeri yang sangat subur dan makmur pada masa itu. Seorang Raja yang arif dan bijaksana memerintah dengan sangat tegas. Semua peraturan harus ditaati dan bila ada salah satu rakyat yang ingkar, maka akan dihukum mati.

Dari semua peraturan itu, Negeri ini mewajibkan semua rakyatnya untuk berpuasa di bulan suci Ramadhan. Bagi siapapun itu, Negeri ini sangat mengagungkan bulan Ramadhan dan segala kegiatan pada bulan suci ini. Bagi anak-anak yang belum balig namun berusia di atas 4 tahun harus dididik belajar puasa setengah hari. Sedangkan bagi anak-anak yang sudah baligh dan dewasa wajib puasa kecuali beberapa alasan yang telah diajarkan islam.

Di sebuah kota bernama Kota Suro, kota terpencil dan di sudut Negeri, seorang anak berusia sepuluh tahun mengeluh pada orang tuanya. Ia protes pada sang Ibu yang memaksanya untuk puasa sampai magrib sedangkan dalam aturan Negeri itu, ia hanya perlu puasa setengah hari untuk belajar.

“Irvan nggak mau, Bu. Nanti kalo Irvan lapar gimana?” seru anak tersebut dengan keras kepala. Perdebatan ini sudah berlangsung beberapa jam setelah saur tadi. Masih ada dua jam lagi sebelum imsya’.

“Dicoba dulu saja, Van. Kan nggak ada salahnya puasa sampai magrib,” bujuk sang Ibu yang entah sudah keberapa kalinya. Masih sabar agar Irvan mau puasa sampai magrib nanti. Sang Ibu berpikir, umur Irvan sudah bisa dididik untuk belajar puasa sampai petang. Toh, sebentar lagi anak lelakinya ini akan baligh.

“Tapi kalo Irvan mokel gimana, Bu?” Irvan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Ia sudah terbiasa puasa setengah hari untuk belajar saja. Dan diumurnya yang baru sepuluh tahun ini, puasa sampai petang benar-benar adalah tantangan terbaru baginya.

“Yang penting niat dulu, Van. Kalo niat mau, Allah SWT pasti akan membantu dan meringankan masalah kita.”

Irvan menghela napas pelan. bagaimanapun, menolak permintaan sang Ibu memang sangat sulit. Ia pasti akan menjadi anak durhaka bila menolak dan membantah seluruh perkataan sang Ibu. Akan tetapi, mengiyakan suruhan sang Ibu pun, Irvan masih enggan. Berpikir dan menerka-nerka akan seperti apa dirinya besok dengan perut yag melilit lapar dan tenggorokan yang kering dan kehausan. Irvan bergidik ngeri, apakah besok ia akan mati kelaparan karena puasa?

“Allah SWT akan selalu menjaga umatnya, Van. Allah tak akan membiarkan kita mati kelaparan hanya karena puasa. Lihat Ibu, ibu masih bisa hidup meski sering puasa sampai petang,” ujar sang Ibu dengan senyum simpulnya. Seakan mengetahui semua kebimbangan sang anak. Ia hanya ingin Irvan belajar.

Irvan hanya mengangguk paham. Ia mengambil segelas air putih dan meminumnya. Tak lupa juga dengan doa niat puasa. Irvan memutuskan untuk mencoba puasa hingga petang nanti. Semoga Allah SWT memudahkan segala urusannya, batin Irvan.

Dan seperti inilah Negeri Ramadhan. Meski dalam peraturan Negeri ini anak yang belum baligh diperbolehkan puasa setengah hari untuk perkenalan, namun mereka juga tak melarang bila orang tua mulai mengajarkan puasa sampai petang. Di sini, orang tua menjadi kepala pemerintahan sendiri di keluarganya masing-masing. Raja di istana hanya akan mengamati sambil tersenyum puas dengan kegigihan semua orang tua dalam mendidik anak-anaknya untuk berpuasa. Raja yakin, semakin banyak rakyatnya yang mendekati Allah SWT, maka semakin Allah SWT memberikan kemudahan dan kelancaran rezeki pada umat-Nya.

Tamat.
Probolinggo, 22 Mei 2018

Seputar Menulis dan Penulis

Yani, Just it


Beberapa waktu terakhir ini, kesibukan saya berubah. Dari menulis novel/cerpen menjadi peresensi sebuah buku karya teman-teman penulis. Jelas ini adalah suatu kehormatan bagi saya karena bisa secara langsung menikmati karya teman-teman seperjuangan. Dari beberapa teman dengan bermacam-macam penulis, mulai dari Indie, Mayor atau self publishing ini, saya belajar banyak sekali ilmu yang akan saya bagikan kepada seluruh teman-teman yang membaca artikel kali ini.

Niat yang Menggebu-gebu akan mudah surut bila salah takaran.

Kenapa bisa? Jadi begini ceritanya. Saya pernah memiliki seorang teman yang masih giat-giatnya menulis. Sangat giat malah menurut saya. Saat dia terlalu berambisi menulis dan menerbitkan bukunya, dia ingin ambil jalur cepat. Dia memakai jalur indie agar bisa cepat-cepat memiliki karya yang sudah dibukukan. Apakah itu salah? Jelas tidak. Hanya saja niat dari awal yang salah. Dari niat yang salah tersebut, mereka tidak bisa menakar mana yang untuk mental dan mana yang untuk semangat. Mental? Yep. Penulis itu tidak gampang, kawan!. Menulis itu berdarah-darah. Menghabaiskan waktu yang seharusnya untuk istirahat, menulis dan menggali ide yang jelas mempekerjakan otak, setelah selesai akan mendapat beberapa apresiasi dari para pembaca. Nah, di sinilah tulisan kita akan dinilai kualitasnya. Dan yang kita harus siapkan adalah mental yang kuat. Kita harus berlapang dada sata karya kita dikritik dengan bahasa yang sopan atau bahkan cacian sekalipun. Jangan hanya karena beberapa orang menilai tulisan kita abal-abalan dan tidak layak, kita menjadi drop dan berhenti menulis. JELAS INI YANG SALAH.

Penulis yang benar menurut sudut pandang saya saat ini adalah dia yang mau berkembang maju, terus memperbaiki diri dan bermental baja. Tetap kokoh meski diterjang angin topan. Sampai saat ini, sudahkah kawan-kawan paham dengan takaran semangat dan mental? Bila sudah paham, mari kita lanjut.

Hargai tulisanmu, Karyamu!

Di sini sebenarnya juga berhubungan dengan mental. Kenapa? Jadi gini, beberapa penulis pemula merasa malu-malu kucing untuk mempublikasikan karyanya ke khalayak umum dengan alasan malu atau merasa karyanya tidak pantas untuk dibaca. Oke. Dari sini sebanarnya saya memiliki banyak argument yang ingin saya sampaikan. Bila alasannya adalah tidak layak, bukankan sebaiknya kawan-kawan terus berlatih dan berlatih agar tulisan yang tidak layak tadi menjadi layak untuk dibaca oleh khalayak umum. Yang kedua, alasan malu? Sebentar. Jadi gini, siapa lagi yang akan memuji dan menghargai karya kita bila bukan si empunya. Jika dari empunya saja sudah berkata jelek dan malu, terus kita bisa apa saat pembaca juga tidak akan tertarik sama sekali dengan apa yang kita tulis. 

Pernah ada pengalaman begini, seorang penulis pemula, dia sudah menyiapkan mentalnya dan dengan percaya diri menyodorkan naskahnya pada teman untuk diapresiasi. Dia (penulis) bercerita dengan menggebu-gebu dan bersemangat tentang keunggulan karyanya. Si teman sendiri (pembaca) bukan terfokus pada naskahnya, namun dengan semangat yang penulis berikan. Ia seakan ingin mendapatkan bayaran dari kerja kerasnya selama ini. Bayaran yang dimaksud adalah berupa apresiasi dari teman-teman yang membaca karyanya. Dari sini, seharusnya ada ilmu yang kita petik.

Terakhir tapi bukan yang akhir, tentang Penerbit itu sendiri. Mayor or Indie?

Jadi gini, sebenarnya apapun itu penerbitnya semuanya jelas sudah bagus. Penerbit Mayor memang menjadi impian semua penulis karena akan ada kebanggaan tersendiri saat karya kita yang sudah lulus kurasi bisa mejeng di toko buku besar. Namun, untuk bisa lolos ke penerbit mayor pun tidak semudah membalik tangan. Banyak kerja keras dan usaha yang harus dilakukan penulis. Kita harus terus berkembang dan memperbaiki tulisan kita sendiri.

Nah, di sinilah kegunaan dari penerbit indie. Mereka datang dengan uluran tangan kepada para penulis yang ingin menerbitkan karyanya. Jelas tidak gratis, kan? Jangan terlalu tergiur dengan harga murah. Kenapa? Karena sebenarnya jasa itu mahal. Mereka yang bekerja di penerbitan mengeban banyak tanggung jawab, seperti pengurusan ISBN, editing, layout, cover, bahkan kepuasan dari pelanggan. Jadi, berpikirlah cerdas dalam memilih penerbit itu sendiri. Sekali lagi, kembali ke poin-poin sebelumnya. Kita juga harus teliti memilih penerbit. Kenapa? Karena di zaman dimana penulis pemula bermuculan, para penerbit indie pun juga mulai menjamur. Hal ini juga rawan terjadi penipuan. Mulai dari ISBN palsu atau uang yang dibawa kabur oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Cek terlebih dahulu penerbit tersebut di Perpsunas. Bila karya kita sudah terbit, tetap cek ISBN nya valid atau tidak.

Dari beberapa poin yang saya jabarkan, pastinya banyak kekurangan. Jadi, saya berharap akan ada masukan dari teman-teman agar artikel ini bisa disempurnakan lagi. Hal-hal yang belum saya jelaskan di sini, akan saya jelaskan di postingan lain kali. Terima kasih, kawan!.

 Probolinggo, 19 Mei 2018

Monolog Rindu

Yani, Just it




Sebenarnya aku yakin, di luar sana kamu hanya diam dan tak beraksi apapun. Hanya menandaskan kopi yang entah sudah gelas keberapa. Mungkin juga, kamu tengah menghisap beberapa putung rokok yang kamu beli di warung Mpok Jum. Warung yang letaknya di pojok kompleks dekat rumahmu. Atau, kau sedang melakukan hal lain yang sebenarnya tidak aku ketahui. Percayalah, apapun itu, aku yakin kau pasti sedang bersantai.
Keadaan berbalik padaku. Aku masih duduk di kamar dengan sebuah laptop di pangkuanku. Mengetik beberapa kata yang indah, tapi selalu gagal. Sesekali, aku akan beralih pada benda kotak pipihku. Mengeja beberapa kata yang mucul di layar, membalasnya dan berpaling pada laptop lagi. Mencoba focus dan aku gagal lagi. Bibirku terkedut samar. Malam ini aku berdialog dengan kamu. Tak bertatap sebenarnya, hanya melalui jaringan yang mengudara hingga bisa saling terhubung. Bahkan aku tak akan bisa menatapmu dengan mata bulatku, dan juga tak bisa memeluk erat ragamu. Tapi, ternyata semua itu tak penting sekarang. Mendapat sebuah kabar darimu saja, aku sarasa mimpi jatuh ke jurang. Menebarkan dan membuatku sadar, aku mulai merasakan lagi ilusi itu.
“Aku mulai merindu, apakah salah?” tanyaku pada angin yang bergilir menyapaku.
Mereka datang silih berganti, tersenyum lantas pergi. Semua ingkar dan aku mulai menepi. Sewajarnya, semua mengalami apa itu perpisahan. Namun, aku bukan sewajarnya. Aku hanya manusia yang terlahir dari rahim kokoh seorang ibu. Di sana, aku dibelai agar semakin kuat menghadapi hidup. Datang dan pergi. Kenal dan pisah. Semuanya seperti partikel-partikel yang menyusun suatu massa. Atau semacam senyawa yang terkumpul hingga menjadi sebuah campuran.
“Kamu tahu, aku mulai merindu?” tanyaku lagi pada aksara-aksara yang kutata rapi. Pada mereka-mereka yang terangkai dalam sebuah arti. Aksara-aksara yang beralur cerita. Menjelaskan bagaimana asal muasal rinduku padamu.
Namun semuanya diam. Tak ada sedikit saja petunjuk atau aba-aba. Aku buntu dalam ilusi yang aku ciptakan. Mundur, terjatuh. Maju, tersesat. Maka, bisakah aku memintamu membalas ilusiku? Merasakan bagaimana rongga-rongga dalam dada yang mulai terisi namamu. Nama yang seyogyanya tak akan pernah aku miliki, lantaran kau yang enggan berbagi. Enggan merasakan ilusi yang sama. Bagaimana kita akhiri saja monolog ini?


Kamar Yani. 12 04 2018

Hakikat Melepaskan Cinta

Yani, Just it


Judul : Marry Miss Phobia
Penulis : Jae Kho
Penerbit : Loka Media
Halaman : 346 Halaman
Terbitan : Cetakan Pertama, April 2017
ISBN : 978-602-60841-2-5
Peresensi : Agustin Handayani

Novel yang berjudul ‘Marry Miss Phobia’ ini adalah novel yang menjadi juara kedua dalam event Menulis Novel Tema Phobia yang diadakan oleh salah satu penerbit, yaitu Loka Media. Sebenarnya tidak kaget bila novel karya Jae Kho ini bisa menduduki posisi kedua dalam event tersebut. pembawaan alur dan pendeskripsian setiap adegan sangat detail dan membuat pembaca seakan larut dalam ceritanya.

Dalam novel ini, Jae Kho serasa menjadi Tuhan bagi semua tokoh-tokoh yang sudah ia rangkai dengan takdir sedemikian rupa. Bercerita tentang kisah phobia yang dialami oleh Kaneko Sora. Perempuan yang phobia pada pernikahan lantaran sering melihat pertengkaran kedua orang tuanya. Belum sampai di situ, sang Kakak yang memilih bunuh diri lantaran ditinggal oleh kekasihnya sehari sebelum pernikahan. Semua masalah itulah yang membuat Sora tidak percaya pada mahligai pernikahan. 
Hingga sebuah keadaan mempertemukannya pada lelaki sok sibuk bernama Miyamoto Hiro. Mereka terjebak dalam keadaan yang memaksanya harus hidup dalam sebuah ikatan suci bernama pernikahan. Hiro sendiri memiliki konflik batin yang mengganggunya. Hati, hanya konflik itu yang membuatnya enggan menikah lantaran ia yang masih menyimpan sebuah rasa pada cinta pertamanya. Cinta pertama yang meninggalkannya dan menikah dengan lelaki lain. Pernikahan Sora-Hiro adalah pernikahan yang unik dan lucu. Dimulai dari mereka yang selalu bertengkar, ciuman pertama Sora yang karena sangking kagetnya hingga mendorong Hiro terlalu kuat dan membuat lelaki itu jatuh di kue pernikahannya. Pertengkaran-pertengkaran kecil dan segala keusilan menghiasi keseharian mereka.

Hingga dipertengahan cerita, pertemuan Hiro dengan Akina berhasil membuat benih-benih cinta tumbuh kembali. Banyak sekali kejutan dalam cerita ini. Hubungan gelap yang Hiro lakukan dengan Akina dengan menyembunyikan status pernikahannya, Kenichi yang ternyata telah merasakan cinta pada pandangan pertama pada Sora, dan konflik-konflik lain yang bergiliran menyapa.

Meski terkesan sangat ‘melow’ menurut saya, namun dalam novel ini memang sukses menggetarkan hati. Semangat seorang Sora untuk menjadi seorang mangaka dan bagaimana ia yang bertekad untuk mempertahankan pernikahannya dengan Hiro.

“Dua orang bisa disebut saling mencintai bila di antara mereka tidak ada cinta yang dipaksakan. Percayalah, suatu hari nanti Tuhan akan memberimu lebih banyak cinta.”  (Hal. 334)

Konflik yang sangat complicated  dan ending yang jauh dari perkiraan awal adalah sebuah kejutan tersendiri dari novel ini.  Pesan-pesan tentang sebuah pengorbanan cinta, penerimaan cinta serta hakikat cinta itu sendiri menjadi sebuah hal yang patut dicontoh. Meski sebenarnya beberapa pihak tidak ingin mengalami sebuah kisah yang sangat complicated. 

Seperti saat kita salah menaiki Bus, pastilah tujuan Bus itupun juga tidak sesuai dengan keinginan kita. Tidak perlu menyesali. Kita hanya perlu belajar dari pengalaman dan memulai sesuatu yang benar untuk ke depannya. Tidak ada perjalanan yang sia-sia bila kita menikmatinya. Seperti itulah kira-kira inti cinta dalam novel ini.


Probolinggo, 17 Mei 2018

Dakwah dalam Pena

Yani, Just it





“Kamu tahu tulisan seperti apa yang bermanfaat itu?” tanya Popo saat kami tengah duduk sambil merapikan beberapa buku dalam rak.
Rak yang baru kami beli kemarin sudah hampir penuh dengan buku-buku baru yang kami beli di bazar atau toko-toko buku terdekat.
Aku menggeleng sebagai jawaban dari Popo. Masih sibuk memilah beberapa buku yang belum disampul. Niatnya nanti setelah semua beres, buku-buku yang tak bersampul harus segera dirapikan.
Popo tampak mengambil beberapa buku dari samping kananya. Buku dari penulis Asma Nadia yang baru saja kami borong dari toko buku. Sebenarnya aku tak berniat membeli buku tersebut, hanya saja Popo tetap bersikeras ingin membeli buku tersebut untuk ia baca kala senggang.
“Seperti ini.” Popo membuka plastic segelnya. Membuka beberapa halaman dan membaca sesaat.
“Buku yang bermanfaat adalah buku yang memiliki banyak pesan. Memiliki kandungan dakwah dimana pembaca memperoleh pengetahuan dan ilmu yang bermanfaat,” lanjutnya.
Aku mengernyit heran. Mengambil satu buku sebagai perbandingan.
“Dari buku ini aku juga mendapat ilmu,” sanggahku dan menunjukkan buku yang aku pegang.
Popo tampak tersenyum tipis.
“Apakah dari buku itu kamu mendapatkan sebuah ilmu yang sesuai agamamu?”
Aku menggeleng pelan. aku mengigat isi buku yang aku pegang. Memang sih tidak ada hal-hal yang berbau pengetahuan dan pesan. Hanya saja, bukankah buku sebagai sarana refreshing dan menghilangkan jenuh? 
“Kamu tahu, novel-novel ini sebenarnya juga bisa menghilangkan jenuh,” ujar Popo seakan bisa membaca fikiranku. Ah, pikiranku memang mudah tertebak oleh Popo selama ini.
“Bagaimana bisa? Sedangkan yang kita tahu novel-novel ini terlalu serius dan membosankan. Tidak ada humor atau hal-hal baper yang bisa membuat kita senyum-senyum sendiri.”
Aku memperbaiki duduk agar lebih dekat dengan rak yang lain. Menatap novel-novel yang aku kelompokkan berdasarkan genre-nya. Komedi, teenlit, romance, fanfiction, dll. Semua adalah novel yang sering aku baca. Novel-novel yang bisa membuat aku tersenyum dan menghayalkan aku sebagai tokoh utama novel tersebut.
Popo menghela napas. Aku menoleh padanya dan mengernyitkan alis bingung.


“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (Al-Qalam [68]: 1)

Rasululllah Saw. bersabda, “Sesungguhnya yang pertama-tama diciptakan Allah adalah pena (qalam), lalu Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ ia menjawab, ‘Ya Rabbku apa yang hendak kutulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai hari kiamat.” 

Aku membaca kalimat tersebut. Entah dari mana Popo mendapatkannya, yang jelas itu benar-benar membuatku tertegun sekaligus tertampar.

“Kamu suka menulis, kan? Kamu ingin menjadi penulis hebat? Bagaimana kalo langkah perjalanan menulismu diselipkan dakwah untuk semua saudara kita, hm?”
“Tapi, Po. Aku takut itu membosankan pembaca dan bukuku nggak akan laris,” bantahku. Memikirkan minat pembaca dan pasaran membuatku takut. Aku tidak ingin melihat buku yang sudah aku sebut sebagai ‘anak’ hanya akan menganggur di rak-rak buku tanpa ada sedikitpun yang menyentuhnya. Itu jelas adalah sebuah mimpi buruk bagi setiap penulis.
“Kamu bisa sisipkan komedi dan kisah-kisah ringan lainnya. Dakwah tidak selalu berat. Tergantung bagaimana kita menyampaikannya. Sampaikanlah hal-hal yang kamu paham pada saudara-saudara kita dengan bahasamu sendiri. Hal itu saja sudah termasuk dakwah.” Popo menjelaskan dengan sangat telaten. Tak pernah kuraguan pengetahuan Popo masalah agam dan lain-lain. Popo lahir dari keluarga pesantren. Besar dan menempuh pendidikan di pondok dan belajar banyak segala ilmu agama hingga ke akar-akarnya. Popo juga aktif di beberapa media massa seperti koran yang isinya selalu tentang dakwah dan berita islami.
“Aku coba saja, Po.” Hanya itu jawabanku sebagai pengakhir perbincangan sore ini. Setelahnya kami menyibukkan diri dengan buku-buku yang harus segere dirapikan dan beberapa akan kami sumbangkan ke sebuah panti asuhan agar bisa lebih bermanfaat.
Perbincangan itu memang sudah selesai. Namun, pemikiran-pemikiran menulis sebagai sarana dakwah sekaligus ibadah seakan mengusik pikiranku. Seperti sebuah tantangan yang harus segera aku pecahkan. Menjadi sebuah hal baru yang terlihat menggiurkan. Aku mulai memikirakn masalah apa yang akan aku angkat sebagai langkah pertamaku berdakwah.
Kisah Aisyah?
Kisah Yusuf?
Ta’aruf yang benar?
Atau aku bisa menggabungkan ketiganya menjadi sebuah kisah yang menarik.
            Aku tekadkan dalam hati, memulai sesuatu yang seharusnya sudah lama aku mulai. Kali ini, pena-pena itu akan menuliskan bagaimana isi dari dakwah-dakwahku kepada semua saudaraku. Kali ini, novel-novel yang akan aku ciptakan bukan lagi sebuah novel yang sekali baca langsung ditutup, akan tetapi sebuah novel yang setelah dibaca akan terus mengalirkan ilmu yang bermanfaat bagi semuanya.

Probolinggo, 17 Mei 2018


Monolog Patah Hati





Agustin Handayani

Aku terduduk dengan kaki yang kutekuk. Memeluk erat badan yang sedari tadi terisak pelan. Rusuk-rusuk yang seakan menyesakkan dada. Otakku terasa pening lantaran terkuras. Aku menatap nanar pada benda-benda yang telah hancur berserakan. Vas bunga, lembaran buku yang tercecer di lantai, pun dengan kursi dan meja yang telah lupa asalnya. Semua menjadi lampiasan amarahku.
Aku mengutuk dan mengumpat bergantian. Merutuki kebodohanku selama ini. Kenapa Tuhan sangat tega membiarkan aku hilang akal dan malah andalkan rasa. Membekukan segala cerdasku dan cairkan segala cinta yang telah lama aku simpan.
“Tuhan! Aku mencintainya!!!” teriakan yang entah sudah berapa kali aku lontarkan. Mencoba meluapkan segala pernyataan-pernyataan yang   bersarang dan mendesak keluar.
Lelaki bermata sipit dengan kaca mata yang membingkainya. Wajahnya terpahat sempurna dengan lesung pipinya. Manis saat ia tersenyum. Coba saja dia melirikku sedetik saja, maka kakiku seakan lumer seperti cokelat-cokelat yang kepanasan. Seperti cacing-cacing yang berada di bawah terik. Ah, memalukan sebenarnya. Namun, itu adalah pengakuan terdalam yang sedang aku rasakan tiap kali ia melirikku tak sengaja.
Tak akan ada tepukan bila hanya dilakukan sebelah tangan. Tak akan ada langkah bila hanya sebelah kaki. Dan bukan cinta bila hanya dirasakan sepihak. Itu yang aku rasakan. Lelaki bermata sipit itu, memiliki kekasih. Memiliki tambatan hati yang telah melarang siapapun untuk masuk. Pun dengan aku yang telah kesulitan masuk.
Aku memujanya sangat lama. Namun, takdir sekarang tak adil padaku. Ia malah bersama dengan wanita yang baru sedetik menyapanya. Meninggalkan aku yang menatap nanar segala senyum dan tawanya. Bahagia yang dia rasakan, malah semakin menyesakkanku. Bukan, bukan aku sumber bahagianya. Melainkan wanita lain dengan hati yang lain. Dia bahagia dengan aku yang berduka.
Hati ini teriris. Semakin perih dan sedih. Aku tahu apa itu cinta dan tawa dengannya. Akan tetapi, dia pun yang ajarkan aku dukan dan lara. Impas!!!
“Aku berhenti!!! Aku berhenti mencintainya!” teriakku lagi. Berharap ini adalah teriakan terakhirku. Sebelum mata terpejam erat dan tersambut alam-alam  mimpi dengan seluruh godaannya. Aku terbuai. Di sana, aku bisa menciptakan sendiri mimpiku bersamanya. Hanya ada aku, dia, keindahan, kebahagian, tanpa orang lain. Meski sebenarnya semua adalah kesemuan. Setelah terbangun, aku sadar, aku bukan siapa-siapa.

Probolinggo, 15 mei 2018


Bersama Perempuan dan Takdirnya

(Terbit di radar mojokerto, 6 Mei 2018)

Judul  : Perempuan yang Memesan Takdir
Jenis  : Kumpulan Prosa
Penulis          : W Sanavero
Penerbit  : Mojok
Cetakan  : Pertama, Februari 2018
Tebal : VI+102 Halaman
ISBN  : 978-602-1318-65-2
Peresensi  : Agustin Handayani


Berbicara tentang perempuan memang sebuah hal yang menarik. Makhluk dengan sejuta cinta yang mengemban makna. Memerankan sejuta karakter sekaligus penyeimbang bagi kaum lelaki. Di tangannya tergenggam berbagai pilihan, antara dicintai atau mencintai, menyerah atau bertahan, lemah atau kuat. Semua pilihan itu seperti melekat bagai hukum alam. Sedangkan kita tahu bahwa manusia sangat dekat dengan takdir. Sebenarnya apa itu takdir? Apakah perempuan mengalami salah satu dari pilihan-pilihan takdir? Ketika emansipasi dijunjung tinggi sebagai langkah pembebasan rantau marginalisasi, tetap saja ada beberapa pihak yang belum menyukai persamaan derajat antara perempuan dan lelaki. Hingga kita tahu, seperti apa takdir yang melekat pada para perempuan hingga saat ini.

Dalam album prosa Perempuan yang Memesan Takdir, menyingkap sisi perempuan-perempuan yang tengah menjalani takdirnya masing-masing. Para tokoh yang masing-masing memiliki sudut pandang dalam memaknai cinta, kenangan, keluarga, budaya bahkan hubungan manusia dengan Tuhan. Keenam belas kisah dalam album prosa ini tercipta dari perenungan sunyi-lirih, liar dan acak sebagai menyelami hakikat kehidupan, utamanya pada perempuan itu sendiri.

“Tuhan benar-benar keterlaluan! Kebencian yang aku rawat ratusan hari hilang seketika. Yang tersisa hanya cinta dan luka yang kembali terbuka menyayat.” (Hal. 11)

W Sanavero membuka prosa pertama dengan judul, “Kata-Kata dan Cermin.” Dalam prosa ini tokoh aku adalah seorang penulis yang membangun sendiri dunianya dalam cerita. Tumpukan-tumpukan kertas hasil tulisannya, sering tokoh aku panggil sebagai ‘anak-anaknya’. Anak-anak yang sudah sekitar tiga ratus hari berdiam diri hingga nantinya bisa terkirim ke salah satu penerbit mayor. Tulisan-tulisan yang dihasilkan dari sebuah kesendirian, kesepian, dan air mata yang tokoh aku alami, hingga nantinya tokoh aku berharap tulisan tersebut cukup kuat membuat pembaca tersiksa setengah mati. Setelah kita membaca masalah tokoh aku dan tulisannya, kita seakan-akan terlempar pada sebuah kenangan tokoh aku dengan seorang lelaki yang pernah mengingkari sebuah janji. Lelaki yang mengajarkannya apa itu luka dan cinta. Luka yang telah ia pupuk dalam waktu lama. Namun, saat takdir menyapa dan mengembalikannya pada sumber luka dan cinta, apa lagi yang bisa perempuan lakukan?

Selesai dengan prosa pertama, ternyata W Sanavero lagi-lagi membuat sebuah kejutan pada prosa berikutnya.
AKU INGIN KEPERAWANANKU KEMBALI, pertama
Selebihnya aku ingin menjadi ibu, kedua. (Hal. 13)
Pembukaan yang benar-benar mencengangkan dan menimbulkan rasa penasaran yang tinggi. Hingga kita akan dibawa pada kisah seorang perempuan bernama Daisy, perempuan yang kehilangan keperawanannya. Daisy sendiri sering dikaitkan dengan Bunga Aster. Bunga eksotis yang selalu basah saat musim hujan. Keadaan desa yang sangat epik menjadi daya tarik dari prosa kali ini. Semua warganya yang kebanyakan sudah tidak perawan membuat kita bertanya-tanya, mengapa bisa? Hingga prosa ini sendiri yang akan membuat kita paham bahwa keadaan desa, dimana lelaki yang sering memanen keperawanan, namun enggan menikahi perempuan yang kehilangan keperawanannya. Mereka lebih menyukai menikah dengan seorang janda. Di sini, kita lagi-lagi menemukan salah satu takdir dari seorang perempuan. Janda seakan lebih terhormat dari pada seorang perempuan yang kehilangan keperawanannya sebelum menikah. Bagaimana pandangan masyarakat pada perempuan yang kehilangan perawannya yang disebabkan oleh pemerkosaan atau hal lainnya. Jelas, di sini keperawanan, adalah mahkota sendiri bagi perempuan yang nilainya sangat tinggi di mata masyarakat.

Di prosa lainnya, penulis menghidangkan sebuah prosa tentang hubungan religius  manusia dengan Tuhannya yang berjudul, Dialog Kepada Tuhan. Kita seakan mendengarkan seorang narator yang menceritakan kisah perempuan yang mengalami ketakutan hebat. Ketakutan-ketakutan pada dimensi waktu yang bernama mimpi. Mungkin seperti mimpi buruk yang enggan kita jumpai. Namun di sini, bukan hanya tentang mimpi buruk, tetap juga tentang kenangan yang tak ingin ia ingat. Mimpi menurutnya hanya sebuah bualan fiksi. Di sini, dalam ketakutannya ia tak lupa untuk berdoa. Meminta dalam ketakutannya agar mimpi tersebut tidak datang lagi. Bila memang datang, segera bangunkan dia. Sesuai dengan judul prosa ini, keterlibatan Tuhan dan doa-doa yang mencolok. Tokoh yang seakan berserah pada semua takdir. Saat semua orang terdekat tak bisa menjadi sandaran tempat berbagi, maka memang seharusnya kita meminta dan berserah pada Tuhan. Meminta dengan segala kesungguhan hati. Namun, meminta tanpa ada usaha tetap saja omong kosong. Di sini, tokoh mulai membuat kenangan baru agar kenangan sakit tersebut bisa tergantikan.

Beberapa dialog maupun monolog dapat membuat saya ketagihan untuk terus membaca album prosa ini. Bagaimana tentang seorang perempuan yang menyikapi takdirnya, baik dalam hal cinta, sosial, dan hubungannya dengan Tuhan. Semuanya seakan tertata dan terhidang dengan sangat menggiurkan untuk dibaca.

Alur yang mengalir membuat saya bisa memahami dengan mudah album prosa ini. Ketertarikan akan setiap judul membuat saya bertanya, ada pesan apa lagi setelah ini? Sebenarnya jika kita mau membaca dengan hati-hati tanpa didahului oleh protes tentang sikap dan sifat para perempuan dalam album ini, kita akan tahu bahwa perempuan memang identik dengan hati. Lemah dan pasrah. Namun, yang terpenting lainnya adalah sikap kita sebagai para pembaca. bila kita hanya asal membaca, menutup buku setelah selesai, maka kita tak akan pernah tahu maksud dari album prosa ini. Namun, saat kita memahami bagaimana alur-alur dan sikap perempuan dalam karya ini,  kita akan paham bahwa kisah tersebut mengandung pesan yang mendalam bagi para pembaca, utamanya perempuan. Meski sebenarnya bukan hanya perempuan saja yang harus membaca album prosa ini, lelaki juga harus membaca agar mereka tahu apa takdir yang berteman dengan perempuan.


Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...