Cinta
Terbaik
Agustin Handayani
Anita tahu. Semua yang ia lakukan adalah arti dari sebuah kesia-siaan. Ia
tak akan mendapatkan hasil yang ia harapkan seperti sesuatu yang sudah ia ingin
dari awal. Ia hanya akan menjadi bayang-bayang yang tak kasat mata bagi sepasang manusia di depannya
ini.
Cakka dan Bella terlihat tengah tertawa bersama di depan Anita yang
menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Sedari beberapa jam yang
lalu, mereka memutuskan untuk duduk di Kafe Pojok yang berada di pertigaan
jalan raya daerah ini.
Anita hanya diam. Ia memperhatikan lagi sepasang kekasih tersebut.
Tersenyum miris saat mengetahui dirinya hanya penjaga lilin bagi mereka.
“haduh. Maaf iya. Aku tiba-tiba
dipanggil sama produser nih. Sayang, nggak apa-apa kan aku tinggal?” ujar Bella
tiba-tiba saat menerima sebuah pesan singkat yang mungkin dari produser yang
memang menyuruhnya ke tempat syuting tersebut.
Cakka hanya mengangguk. Mungkin ia tahu bahwa percuma menahan Bella untuk
tinggal, semua yang berkaitan dengan karier adalah hal yang menjadi magnet ketertarikan
bagi Bella.
“Ta, kamu nanti pulangnya sama Cakka ajah, iya?”
Anita pun hanya bisa mengangguk pelan hingga Bella keluar dari Kafe
tersebut setelah mencium pipi Cakka sekilas. Saat itu, Anita membuang pandangannya ke sembarang arah. Ia tak
mampu melihat hal tersebut.
Sepeninggal Bella, Cakka dan Anita memilih diam. Tak ada percakapan.
Namun Anita berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk mencairkan suasana
tersebut.
“Kita disini dulu ajah iya, Ta?” akhirnya Cakka yang memulai berbicara terlebih
dahulu.
“Huh?”
“Aku masih mau ngabisin senja di sini,” jawab Cakka dengan senyum
manisnya. Anita mengangguk kaku. Ia terlalu speechless
dengan senyuman pertama Cakka.
“Andai Bella nggak terlalu sibuk sama syutingnya,
mungkin aku bisa menghabiskan sunset sama dia,” ucap Cakka dengan pelan.
Seperti ada rasa kegetiran saat mengucapkan hal tersebut.
“Mau liat sunset sama aku? Kebetulan aku suka sunset,” ajak Anita yang
sedetik berikutnya mengutuk mulutnya itu. Mengapa ia bisa dengan sangat excited
mengucapkan hal tersebut
tanpa berpikir lebih panjang lagi. Namun hal tersebut menjadi sebuah
keberuntungan saat dilihatnya Cakka mengangguk pelan.
Mereka akhirnya memutuskan melangkah ke sebuah pantai yang memiliki
hamparan air yang luas. Sudah banyak manusia yang duduk santai menunggu
detik-detik sunset agar
melihat dengan mata telanjang bagaimana senja memakan surya dengan rona merah
dan jingganya.
“Aku sayang Bella,” ucap Cakka tiba-tiba.
Anita menahan napasnya sesaat. Tapi
aku cinta kamu, batinnya.
“Tapi dia selalu sibuk dengan dunianya. Dia selalu hilang saat aku butuhin, dan dia selalu
menunda saat aku meminta. Namun jauh dari semua itu, hatiku tetap buat dia,”
lanjut Cakka. Ia sepertinya tak masalah menceritakan perasaan dan kegalauannya
pada perempuan yang jelas-jelas menunjukka rasa perhatian yang berlebih
padanya.
Anita diam. Memperhatikan matahari dalam kebisuan. Menghitung mundur
keajaiban yang akan tampil, ia mencoba menata hati dan perasaannya.
3
2
1
“Aku sayang kamu,” ucap Anita pelan bersamaan dengan tepi lautan yang
memakan matahari, ah sunset yang indah.
Meski pelan, Anita yakin Cakka mendengarnya. Pasti. Namun lelaki itu
hanya diam, tidak ada tanda-tanda akan berbiacara.
Anita kali ini benar-benar melucuti sisa perasaannya. Kepingan terakhir perasaannya
telah ia pertaruhkan kali ini.
“Maaf, aku nggak bisa,” jawab Cakka akhirnya. Setelah itu lelaki itu
membersihkan debu yang melekat dan tanpa kata meninggalkan Anita yang masih
diam dengan keterpurukanya.
Anita sangat yakin perubahan
sikap yang Cakka tunjukkan sekarang lantaran lelaki itu menghindarinya.
Bukan tanpa alasan mengapa
Anita bisa berpikir seperti itu. Namun, tepat sehari setelah pengungkapan hal
tersebut, Cakka langsung menghindarinya. Dan sekarang terhitung sudah seminggu
lebih mereka berada dalam jarak yang fana.
“Kalian kenapa?” tanya Bella saat melihat Cakka dan Anita terdiam
tanpa berbicara sepatah kata pun. Mungkin Bella
sudah meresa ganjil dengan perubahan sikap mereka yang aneh.
“Huh?”
Anita sendiri tak tau harus
berkata apa. Ia juga bingung. Meski Cakka sudah menunjukkan penolakannya, namun Anita tak bisa
menghilangkan sedikit saja perasaannya pada lelaki tersebut.
“Kami nggak apa-apa kok,
sayang,” ucap Cakka menenangkan wanita yang ia cintai itu. Cakka mengelus
rambut Bella dengan sayang tepat di depan mata Anita. Lagi dan lagi Anita
tersenyum miris. Apa lelaki itu sengaja ingin membuatnya cemburu? Jika memang iya, berarti lelaki itu sangat-sangat
berhasil.
“Kamu sengaja mau buat aku
semakin sakit?” tanya Anita tepat saat Bella pamit seperti biasanya.
Pergi bersama, tak meyakinkan
mereka akan pulang bersama. Di tengah kegiatan, Bella pasti akan pamit terlebih dahulu.
“Nggak. Biasa saja,” jawab
Cakka santai. Benar-benar sangat menganggap hal tersebut wajar bagi mereka.
“Jujur ajah, Cak. Kalo kamu
pengen aku pergi. Maka, aku
akan pergi,” ucap Anita final. Ia akan menuruti semua yang diinginkan oleh
lelaki tersebut. Apapun itu, ia harus pergi memang.
Ia juga tak pernah meminta kepada Tuhan untuk bersama dengan lelaki tersebut.
Ia tak pernah meminta untuk jatuh pada lelaki sahabatnya.
Cakka tak menjawab, ia
memandang Renita lekat. Mungkin mencari sebuah jawaban yang bisa membantunya
agar tak akan ada rasa penyelasan di akhirnya nanti.
“Jauhi aku.”
Hanya ucapan itu, Anita
langsung mengangguk dengan pelan. Ia sudah menerima perintah. Perintah yang
seperti sandi untuk penggerak hatinya.
Ia harus pergi dan menjauh.
Maka Anita pergi dan menjauh.
Ia lah yang menjadi pihak tersakiti untuk kisah ini. Padahal ia belum merasa
memulai, tapi ternyata ia harus mengakhiri kisah dari perjalanan hatinya.
Musim panas kemarin kini telah
menjadi musim penghujan yang mulai menyapa bumi setiap saatnya. Selalu hadir
tanpa izin. Sekan memberiathukan bahwa hujan akan selalu setia meski
kehadirannya mungkin tak pernah disambut baik.
Begitu pun dengan Anita. Meski
ia benar-benar pergi dan menjauh, namun semua alat inderanya seakan menolak. Ia
masih menatap lelaki itu meski dalam diam. Selalu memperhatikan wajah Cakka
tanpa sepengetahuan lelaki itu.
Hingga Anita tahu. Dalam cinta ada pembuktian. Dalam cinta ada
pengorbanan. Maka hal itulah yang menjadi pondasinya hingga dengan nekat ia
mengorbankan sesuatu yang hanya ia miliki sekali dalam seumur hidup.
Bella datang padanya dengan
wajah yang sudah berantakan dan sembab. Ini tak baik, dan seakan radar buruk
telah menghantuinya Anita tak bisa menahan rasa sakit dalam hatinya.
“Cakka kecelakaan, Nit. Dia
sekarang kritis di ICU. Ak—aku nggak tahu harus gimana lagi. Dokter bilang
tulang ekornya mengalami benturan yang keras,” jelas bella dengan sesegukannya.
“Kemungkinan dia ak--- akan
bu---ta, Nit,” lanjut Bella hingga tangisnya semakin pecah.
Anita sendiri hanya terdiam
kaku. Semua organ geraknya seakan berhenti bekerja. Hatinya seperti diremas
oleh sesutu yang tak kasat mata. Otakknya seakan tertimpa beton yang
bertubi-tubi.
“Bawa aku kesana,” ucap Anita
terakhir kalinya saat mereka memutuskan ke tempat dimana lelaki yang mereka cintai terbujur kaku dengan alat
pernafasan yang melekat pada tubuhnya.
“Kamu nggak harus lakuin itu,
Nit. Kamu nggak harus korbanin itu buat Cakka,” respon Bella saat Anita memilih
sesuatu yang sangat berbahaya untuknya.
“Ini pilihanku, Bel.”
Hanya itu. Hingga kata
terakhir itulah yang menjadi pengubah semuanya.
Cakka harus sembuh dan melihat pelangi setelah hujan.
“Sayang,” panggil Bella pelan
dengan air mata yang menetes haru. Cakka-nya bangun setelah beberapa minggu
koma dari operasinya.
Cakka tersenyum dan menatap
sekelilingnya pelan. Ia baru saja bangun dari sebuah mimpi yang indah namun
penuh dengan rasa penyesalan dan pengorbanan sekaligus.
“Bel—la,”
Bella mengangguk kuat. Ia
sangat bahagia. Cakka bangun, mengingatnya, dan sembuh. Namun raut itu perlahan
berubah. Ia terdiam sendu. Cakka yang melihatnya mengernyit heran. Apa Bella
tak menyukai kesembuhannya?
Hingga semua terjawab dari
surat berwarna merah muda tersebut. Cakka tak langsung membukanya. Bella
sendiri meminta agar lelaki itu membukanya setelah kepulangannya dari rumah
sakit. Bella paham ada apa dengan sahabat dan kekasihnya sekarang. Ia merasa
kecil karena bukan dirinya yang berkorban untuk Cakka, namun sahabatnya sendiri.
Sahabat yang ia ketahui memiliki sebuah perasaan yang teramat besar untuk
Cakka. Rasa malunya memang berhasil merajai hatinya, namun ia tak akan
melepaskan Cakka. Itu pesan dari Anita, dan ia akan memegang pesan tersebut.
Dear Cakka, lelaki yang aku cintai selalu.
Aku pergi. Sesuai keinginanmu. Mungkin dulu aku masih bisa memperhatikanmu
dalam diam. Maaf karena aku sempat ingkar. Hati ini selalu saja ingkar. Aku
mencintaimu tanpa sebab yang jelas. Tak pernah terduga. Seperti awan di langit.
Tak tahu artinya namun indah.
Aku pergi. Kali ini benar-benar pergi. Aku titip sesuatu yang mungkin tak
seberapa. Namun bisa membantuku untuk selalu bersamamu. Pelihara jantungku agar
selalu berdetak di dekat hatimu. Jagalah mata itu yang akan selalu menatap
keindahan.
Salam,
Wanita yang mencintaimu dengan sangat.
Cakka terdiam kaku. Dia
benar-benar terkejut. Cakka memegang dadanya, tepat dimana jantungnya berdetak
dengan kencang.
“ Kamu kritis waktu itu. Dokter sudah memvonis kamu akan buta. Maka Anita
dengan kenekatannya mendonorkan matanya. Aku sudah mencegah. Tapi kamu tahu
bagaimana keras kepalanya dia.”
“ aku kira itu semua sudah cukup. Tapi semua itu ternyata nggak cukup.
Jantung kamu mengalami kebocoran dan luka. Sehingga membahayakan kamu. Anita
yang ingin kamu sembuh. Langsung mendaftarkan jantungnya buat kamu. Ia ingin
kamu sembuh total tanpa cacat,” jelas bella dengan pandangan yang menerawang ke
depan. Membayangkan bagaimana keras kepalanya Anita untuk Cakka.
“ aku juga sudah tahu tentang semua perasaannya. Dia mencintai kamu. Aku
iri. Aku yang berstatus tunanganmu nggak berani berkorban sebesar itu. Tapi
Anita benari. Dia mampu memberikan cinta terbaik kepadamu.”
“Maaf dan terima kasih,” ucap
Cakka pada tumpukan tanah yang masih dipenuhi oleh bunga-bunga segar diatasnya.
“Terima kasih atas cinta
terbaik ini,” ucap Cakka dan meletakkan bunga melati dan juga dandelion di atas
makam tersebut.
Karena beberapa orang berkata bahwa cinta tak harus memiliki. Maka, Cakka
paham sekarang. Ia memang mencintai Bella, namun perempuan bernama Anita
mengajarkan hal lain dari sebuah cinta. Ia mengajarkan bahwa cinta itu sesuatu
yang tak selalu bisa diucapkan dengan lisan, tak selalu bisa ia genggam dengan
tangan. Kadang cinta hanya bisa kita lihat dari binar mata, bisa kita genggam
dengan kekosongan dan kita buktikan dengan pengorbanan. Itulah Cinta.
Probolinggo, 31 Maret
2018