Resensi Negeri yang Dilanda Huru Hara



Foto by. Jabbar Abdullah
Selasar, 17 Juni 2018 || Radar Mojokerto

Refleksi Negeri dalam Sebuah Novel



 Judul : Negeri yang Dilanda Huru-Hara
Penulis : Ken Hanggara
Penerbit : BasaBasi
Terbitan : Cetakan Pertama, Maret 2018
Jumlah Hal. : 260 Halaman
ISBN : 978-602-6651-22-8
Peresensi : Agustin Handayani

Semua karya jelas memiliki daya tarik sendiri di mata pembaca. Memiliki gaya sendiri dimana penulis berusaha menampikan hal-hal yang unik dan baru dalam keryanya. Si Pabrik Cerita, seperti itulah pembaca menjuluki seorang penulis bernama Ken Hanggara ini. Bukan tanpa alasan mengapa seorang Ken bisa mendapatkan julukan seperti ini. Lelaki kelahiran 1991 ini sudah menjajal banyak sekali dunia literasi,  baik itu cerpen, esai, puisi, novel, resensi bahkan scenario FTV.

Dalam novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara ini, Ken Hanggara seakan mengantarkan kita pada sebuah kisah negeri yang disebut dengan Negeri Fiktif Belaka. Negeri yang memiliki nilai sejarah lengkap dengan kejayaan bahkan kemundurannya. Membuat sebuah gebrakan pada bab awal hingga pembaca akan merasa penasaran dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya akan diceritakan penulis dan bagaimana cara penulis menggiring pembaca untuk menikmati sebuah dunia yag dimaksud.

Saya kira, sampai di sini, semestinya para pembaca tidak sabar menunggu soal apa yang sebenarnya terjadi. (hal. 14)

Saat membaca akhiran ini di bab pertama, mungkin beberapa pembaca akan berpikiran sama; Ken sengaja mengerjai pembaca dan memupuk rasa penasaran.
Hingga pada bab-bab selanjutnya kita akan dikenalkan dengan sebuah negeri yang dikenal dengan sebutan Negeri Fiktif Belaka. Kaum penjajahan, pribumi,bahkan kamu sihir turut dijabarkan dalam novel ini. Keadaan sebuah Negeri dibawah pimpinan raja Mugo I. raja yang terkenal dengan sifat-sifatnya yang cerdas, cerdik, baik, dan adil hingga mampu disegani oleh para rakyatnya. Dengan kegigihan dan kerja keras yang ia lakukan, ia bisa menjadikan negerinya berada pada masa kejayaan. Hingga saat Raja Mugo I turun tahta yang digantikan oleh keturunannya, yaitu Raja Mugo II, di sinilah ‘masa panas’ Negeri ini. Seperti yang kita ketahui, pergantian Raja tidak akan selalu menghasilkan harapan yang bagus dan tidak menjamin akan terus menjayakan Negeri seperti raja sebelumya. Meski Mugo II adalah keturunan dari Raja Mugo I, akan tetapi raja Mugo II memiliki sifat yang berbeda dari ayahandanya.

“Betapa nasi-nasi di kepala Mugo II sudah terlanjur tidak dapat dicerna. Itu sangking banyaknya dia menelan. Sesendok belum tuntas, masuk empat-lima sendok, dan begitu seterusnya.” (Hal. 35)

Para dukun sihir percaya, kebiasaan yang dilakukan oleh Mugo II adalah cerminan dari sebuah sikap dan kebijakan apa yang raja itu lakukan. Di sini, beberapa kaum dukun sihir mulai menunjukkan ketidaksukaannya pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh seorang Mugo II, namun mereka tetap diam di kota bawah tanah dan menjadi pengamat. Setelah beberapa dekade Mugo II memerintah dan dikabaran tewas karena penyakit diabetes, ternyata inilah masa pemerintahan yang sebenarnya berlangsung. Pemerintahan yang dipimpin oleh Raja Mugo III ternyata berdampak sangat besar pada sejarah Negeri Fiktif Belaka ini.

Dalam karyanya, Ken bukan hanya memfokuskan sebuah dongeng kerajaan, namun bila kita lebih teliti lagi, Ken seakan menjabarkan sebuah kemajuan literasi pada zaman ini. Ken juga akan memperkenalkan kita pada beberapa tokoh seperti Hady Hamzah, Ben Azmara, Guru Blewah, dan seorang yang akan merajai jalannya cerita ini, Popo Gusnaldi.

“Sebagian besar rakyat negeri ini tidak sadar betapa kebenaran telah jauh mereka tinggalkan berkat doktrin-doktrin.” (Hal. 112)

“Tidak ada pedang atau tombak yang lebih tajam ketimbang hasil pekerjaannya dalam menulis, maka angkatlah senjata lewat pena dan guncangkanlah dunia dengan senjata itu sampai mati.” (Hal. 145)

Dari beberapa penggal kalimat ini, sebenarnya kita bisa langsung menarik intisarinya. Kita seakan dibawa pada saat pemerintahan Indonesia beberapa tahun silam. Saat sebuah tulisan ternyata mengancam berlangsungnya pemerintahan. Hanya bermodal secarik kertas dan pena, seseorang dapat membuat pemerintah terancam dan akhirnya memburu beberapa sastrawan yang tidak sejalur dengan kebijakan pemerintahannya.

Hal yang sama terjadi pada Negeri Fiktif Belaka ini, tepatnya di sebuah kota bernama Kalodora. Di mulai pada masa pemerintahan Mugo II hingga Mugo III, kegiatan literasi dari para sastawan mulai digiatkan. Negeri ini mulai mencetak ratusan novel-novel yang mengkisahkan Negeri ini beserta kebajikan dari Raja yang memerintah. Semakin parah terjadi pada pemerintahan Mugo III, semua tulisan yang masuk kurasi tidak boleh menentang atau menjelek-jelekkan raja. Bila itu terjadi, keesokannya tubuh mereka akan kehilangan kepala yang nantinya akan dibuang di sebuah sungai hingga bau anyirnya bertahan beberapa hari.

Seperti yang penulis kisahkan. Penulis ingin pembaca memahami bagaimana kegiatan literasi yang telah dicampur oleh doktrin-doktrin mulai merusak sejarah Negeri tersebut. tulisan manipulatif, dan memuji raja adalah tulisan-tulisan yang akan lolos kurasi hingga bisa terbit di pasaran. Bagaimana dengan tulisan yang menentang dan bersifat kebenaran tentang sejarah Negeri tersebut? mati. Itu adalah jawaban singkatnya. Mereka semua akan diburu, dianiaya, dipenggal, dan tindakan sadis lainnya. Sama halnya dengan yang Hady Hamzah dan Popo Alami. Meski Popo seperti pemeran utama dalam cerita ini, dia juga mengalami hal-hal yang menyakitkan. Saat usahanya ternyata tak bisa membuahkan hasil yang diinginkan, Popo harus rela dipenjara dan dihajar habis-habisan lantaran tulisannya yang mengungkapkan seluruh kebusukan Mugo III. Bukan hanya Popo, Hady Hamzah malah memiliki takdir yang lebih prihatin. Hady dibunuh lantaran karyanya dan setelahnya jasadnya dibuang begitu saja. Sampai di sini, saya semakin terkenang pada masa 1980-an.

Hingga di beberapa bab terakhir, Ken seakan muncul dalam tulisannya. Cerita melompat pada masa modern. Masa sekarang dimana dengan bantuan kaum dukun sihir, Popo melewati ruang dan waktu hingga bisa bertemu dengan tokoh ‘saya’. Cerita ini memang memiliki titik terang di akhir cerita. Penulis menjabarkan seluruh kejadian dengan runtut dan singkat lewat transkip pikiran yang dibawa oleh Ben Azamara ke masa sekarang.

Novel politik dengan segala praktik kekuasaan yang otoriter dalam Negeri ini menurut saya sangat berhasil dalam meyakinkann para pembaca. Ken Hanggara, si Pabrik cerita serasa tidak pernah gagal dalam membangun sebuah negeri sendiri dala ceritanya.

Probolinggo, 17 Juni 2018


Cerita Ujung Pisah

Yani, Just it


Lelaki itu diam. Tatapannya kosong. Tak ada emosi di sana.

"Aku nggak suka kamu jadi penulis. Ka---"

"Menulis adalah duniaku," potongku cepat.

Perdebatan ini selalu terulang. Bukan hanya topik aku yang ingin menjadi penulis atau aku yang suka menulis. Kesibukanku yang lain juga didebat olehnya.

"Untuk apa kamu menulis?" Lelaki itu masih saja bertanya dengan nada mencemoohnya.

Aku terbakar. Hatiku terasa diremas kuat-kuat. Menulis adalah hidupku. Saat aku sepi, menulis adalah caraku meramaikan hati. Menenangkan kegalauan saat dia pergi entah kemana.

Sekarang dia meminta aku berhenti? Aku mendecih pelan. Apakah dia bisa mengganti waktu kemarin saat dia pergi? Apakah dia bisa setia seperti pena pada kertas-kertas putih. Dia hanya datang layaknya angin musiman. Sekali dalam setahun. Meninggalkan rindu dan janji yang kadang teringkari.

"Aku akan berhenti menulis saat jiwa dan ragaku terpisah. Hanya itulah waktu dimana aku akan berhenti menulis," jawabku mantap.

Mungkin terdengar sangat dramatis. Akan tetapi itulah kenyataannya. Aku akan berhenti bila waktuku juga ikut berhenti.

"Kamu milih jadi penulis ketimbang aku?" Dia bertanya lagi. Mungkin belum paham dengan kata-kata yang aku tegaskan tadi.

Aku mengangguk. Menatap kedua netranya. Mencoba menyalurkan segala ketegasan atas keputusanku kali ini.

"Ini bukan cinta seperti yang kamu ucapkan. Kamu tidak pernah ada di belakangku bahkan di sampingku pun tidak. Kamu terlalu menuntut aku jadi sempurna. Tapi maaf. Aku jauh dari kata itu."

Aku berhenti sejanak. Menghela napas pelan sebelum melanjutkan penjelasanku.

"Aku serasa hidup dan memiliki emosi saat menulis. Aku serasa dihargai dengan menjadi penulis. Emosi dan perasaan yang belum pernah aku rasain saat sama kamu," lanjutku.

Diam. Keadaan menjadi hening seketika. Dia menataku tajam. Tatapan yang dulu mampu mendebarkan hatiku. Entah kemana debaran itu sekarang. Tatapan itu sudah tak banyak berpengaruh lagi padaku.

"Aku pergi."

Dan dengan angin yang semakin dingin, aku melangkah pergi terlebih dahulu. Bukan karena aku jahat telah menyakitinya. Akan tetapi, takdir kami memang berbeda. Dia tak pernah mendukungku atau menguatkan segala yang aku lakukan. Menuntut kesempurnaan yang nyatanya sangat jauh dariku. Aku lelah dan akhirnya menyerah.

Hanya dengan menulis aku memiliki emosi

Dan menjadi penulis bisa membuatku sedikit berharga.

Itulah aku dan ambisiku.

Probolinggo, 16 Juni 2018

Prosa Menunggu dan Rahasia Rahasia Paling Rahasia

Yani, Just it
Menunggu


 Hatiku masih sama. Menghitung bait per bait puisi yang kau tinggalkan. Menggenggam janji dan rindu 'tuk dituntaskan. Menimbun segala rasa yang kupupuk semakin subur. Cinta itu masih ada. Di lipatan hatiku yang paling dalam ; namamu merajai.

 Ragaku masih dingin tak terhangatkan. Semilir angin malam semakin mendinginkan tubuh tanpa peluk hangatmu. Waktu tak pernah berhenti. Tidak sedetikpun. Hingga dingin berhasil bekukan sgalanya ; hati dan raga.

 Semua masih sama. Andai kau kembali, aku masih menunggumu. Tapi, entah dengan hatimu. Masihkah untukku?

Probolinggo, 15 Juni 2018


Rahasia-Rahasia Paling Rahasia



Bila aku jujur akan rasa rahasia, bisakah kau lucuti juga rahasiamu? Tentang cinta, rindu, cemburu, marah dan emosi lainnya, apakah rahasiamu? 

Kemerlap bintang simpan rahasia malammu kala itu. Kala kau dengan rahasia mulai susun rahasia antar kita. Rahasia akan jarak yang semakin panjang. Apakah rahasiamu?

Sedang aku simpan rahasia. Tentang marah dan kecewa yang kueja tiap kau datang dengan duka dan luka. Tak adakah rahasia sukamu padaku. Mengapa wajahmu tetap muram kala bersamaku. Apakah rahasia barumu?

Cukup kita timbun rahasia ini. Waktunya diam atau tuntaskan segala rasa paling rahasia.

Rahasiaku adalah mencintaimu dengan segenap rahasia yang kumiliki.

Sedang kamu, dengan rahasia 'tuk lepas dariku.

Kini, kita ambil rahasia paling adil.
Ke depan, melangkah tanpa menoleh pada rahasia lagi.

Rahasia Rahasia paling rahasia ini sungguh menyakitkan rasa.

Probolinggo, 15 Juni 2018 

Prosa dan Puisi Idul Fitri

Yani, Just it


Prosa Singkat Lebaran dan Kemenangan

Esok, kala malam takbir kau dengar dari masjid dekat rumahmu. Cepat-cepatlah kau sujud syukur. Merasakan letupan kebahagiaan kala malam kemenangan dapat kau genggam lagi. Tuntas puasamu di bulan suci Ramadhan. Waktu bersenang-senang memerdekakan diri dengan amalan ibadah zakat. Kau kembali fitrah, seperti itulah janji Allah SWT setelah umat muslim berpuasa dan berzakat fitrah. Suci diri setelah dosa-dosa kemarin kau gunungkan.

Akan tetapi, fitrahmu tak akan genap bila sampingmu masih mendendam luka yang teramat sangat. Maka saling bermaaf-maaflah kalian. Melebur segala dosa antar umat muslim. Esoknya, pereratlah tali persaudaraan menjadi lebih dekat. Jaga lisan dan sikap, karena sakit hati sahabatmu adalah sumber dosa yang sulit kau hilangkan.

Kemenangan ini memang hanya akan datang sekali dalam setahun. Itu pun setelah kita diuji menahan segala napsu. Mendekatkan diri kepada sang Ilahi agar kita sadar bahwa kita hanya debu tanpa arti bila tak ada Allah SWT. Sengaja mungkin lebaran hanya didatangkan sekali dalam setahun. Agar kita bisa pandai-padai memanfaatkannya untuk menghapus segala dosa. Bayangkan bila hari kemenangan datang setiap hari? Manusia pasti akan banyak menyepelekannya. Bukankah Allah SWT selalu menciptakan sesuatu dengan manfaat dan pertimbangan yang apik? Maka begitupun dengan hari Kemenangan ini. Agar kita belajar menghargai dan slaing berlomba dalam kebaikan.

Semoga kita menjadi umat muslim yang beruntung setelah hari Kemenangan ini. Muslim yang lebih baik dari hari kemarin. Dan menjadi yang terbaik dikeesokan harinya. Amin yarabbal alamin.




Kembali Fitrah
-Yani-

Ini malam kemenangan
Saat sorak-sorak bahagia dan suka saling bersautan
Di hari ketiga puluh, puasa itu terselesaikan
Membayar zakat sebagai sebuah amalan

Ada adzan, takbir, dan segela macam perayaan
Nyanyian kemerdekaaan turut menghiasi kesenangan
Dari petang hingga esok kepagian
Aku, kami dan para muslim tersenyum menyambut lebaran

Para muslim kembali fitrah
Suci bersih tanpa noda-noda dosa
Melepas dosa dan saling maaf antar sesama
Khilaf kemarin terlupakan dan luntur seketika

Probolinggo, 10 Juni 2018



Aku Masih Hidup Lebaran ini
-Yani-
Lebaran lalu, aku menangis
Bertanya pada bulan; hidupkah aku di lebaran nanti?
Semakin bersujud dan meminta ‘tuk hidup sekali lagi
Dosa-dosaku masih banyak dan menggunung hingga tak terhitung lagi

Tahun ini. Aku menangis lagi
Bersyukur dalam sujud yang selalu kulakukan
Aku masih hidup di lebaran tahun ini
Merasakan bagaimana bahagiaku di hari kemenangan

Probolinggo, 11 Juni 2018


Kiat-Kiat Sukses saat Semua Masih Terdiam

Yani, Just it



Judul                           : Mencuri Start
Penulis                        : Sridaningsih, S.Pd
Penerbit                     : Embrio Publisher
Cetakan                      : Cetakan 2, Maret 2018
Halaman                     : viii+167 halaman
ISBN                            : 978-602-51180-7-4
Peresensi                   : Agustin Handayani

Sebuah tulisan yang bagus dan bernilai adalah tulisan-tulisan yang melalui riset terlebih dahulu, baik lewat membaca beberapa sumber buku atau pengalaman pribadi. Penulis yang bernama Sridaningsih mencoba meracik semua risetnya menjadi sebuah karyanya yang sangat apik dan bermanfaat. Menjelaskan dari awal hingga nantinya akan dialurkan kesebuah usaha dan kiat untuk meraih kesuksesan dalam hidup utamanya menjadikan anak sebagai bintang.

Cerita dalam karya ini seperti dibagi kedalam empat babak. Pertama, kita sebagai pembaca akan dibawa pada sebuah cerita seorang perempuan yang bertokoh ‘aku’ dalam menjalani hidupnya yang serba tidak sempurna. Meski sebenarnya, kita paham bahwa tidak ada makluk yang sempurna di dunia ini karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Akan tetapi, tokoh perempuan yang disebut ‘aku’ di sini memang memiliki banyak sekali kekurangan yang membuatnya sempat berkecil hati untuk menikah. Salah satunya adalah keadaannya yang tidak perawan, bukan karena pergaulan bebas seperti kebanyakan, melainkan sebuah kecelakaan yang diaami oleh tokoh tersebut saat masa kecilnya. Hingga hadirnya seorang lelaki yang dengan ikhlas menerima dia apa adanya adalah awal dimana cerita ini dimulai. Menjadi seorang guru, tokoh aku jelas merupakan seorang isteri yang penyabar. Bagaimanapun, profesi guru dalam sebuah karya memang memiliki daya tarik sendiri bagi beberapa pembaca. Suami yang penyayang dan sabar serta saling mendukung untuk beribadah pada Allah SWT.

Tak ada hidup yang lurus dan tenang. Ibarat air yang mengalir, kadang mereka harus menerjang bebatuan besar dan jatuh dari ketinggian tertentu. Begitupun dengan rumah tangga yang mereka bangun. Berita kehamilan yang awalnya sempat tidak dipercaya hingga menjadi percikan sebuah pertikaian mulai terasa. Akan tetapi, di sinilah sebuah jalan keluar dipaparkan oleh penulis. Karena Allah SWT tak akan memberikan ujian melebihi kemampuan makhluk-Nya. Selalu ada jalan keluar bila kita semakin mendekatkan diri pada Allah SWT.

“Apabila dikemudian hari akan tumbuh masalah dan aku merasa sulit menghadapi, maka akan kulaporkan masalah itu kepada Tuhan dan aku minta solusinya.” –Hal. 43.

Pada bagian kedua, cerita seakan menjadi sebuah cerita non-fiksi yang berisi tentang penjabaran bagaimana seorang ibu harus bersikap saat menghadapi kehamilan, kelahiran bahkan perawatan untuk anaknya. Beberapa sumber yang dicantumkan jelas sebagai bukti riset dari penulis itu sendiri. Di beberapa bab bahkan menjelaskan tentang kandungan ASI, pentingnya pemberian ASI, bahkan usia maksimal pemberiannya pada anak. setelahnya dijabarkan dengan detail tentang sifat-sifat seorang anak, baik itu melankolis, Saguinis, Koleris, maupun Plegmatis.  Di sini persiapan anak untuk menjadi seorang bintang dimulai oleh usaha-usaha orang tua, utamanya seorang ibu.

Kembali pada kisah fiksi, kita seakan diceritakan sebuah perjuangan seorang anak dalam menjalani keseharian. Jelas di sini peran seorangg ibu sangatlah nampak. Bagaiamana seorang ibu mengajarkan pada anak sulungnya cara bersikap mandiri dan bisa mengayomi adik-adiknya saat kedua orang tua sedang bekerja. Di sini kita akan paham, bahwa anak itu adalah anak sulung dari tokoh aku. Bahkan lewat dialog antar tokoh –Ibu dan Anak- dijelaskan bagaimana cara seorang ibu menyelesaikan dan memberi pengertian terhadap setiap masalah yang dialami.

“Ya, sayang. Selalu lipat lidah ke atas dan tutup mulutmu. Sebut nama Tuhan dalam hatimu supaya Tuhan menolongmu jika kamu kesulitan.” –Hal 110.

Bagian keempat dari kisah ini adalah kiat-kiat serta analisan terhadap contoh mengelola anak menjadi bintang. Terdapat beberapa butir penting serta panduan yang bisa kiat terapkan dalam mengelola anak menjadi seorang bintang. Menyiapkan anak sedini mungkin saat mungkin yang lain masih belum memulai apa-apa. Keringat seorang ibu-lah yang bisa mewujudkan semuanya.

Sebagai pembaca, saya menyimpulkan karya dalam buku ini bisa kita masukkan dalam kategori parenting, inspiratif, novel fiksi serta beberapa bagian meruncing ke karya non fiksi yang telah melalui beberapa riset. Tak lupa, penulis juga mencantumkan sumber akurat dari data-data yang ia perolah sebagai tanda menghargai hak cipta sumber tersebut. pembawaan sudut pandang tokoh aku dapat memudahkan pembaca untuk lebih meresapi dan menyelami kisah per kisah. Seakan-akan itu adalah cerminan apa yang harus kita (pembaca) beberapa tahun silam untuk mendidik dan menyiapkan anka kita menjadi bintang dengan tak lupa menjadikan Allah SWT sebagai hal utama yang harus diingat kapanpun dan dimanapun.

Bermanfaat dan berani. Itu kelebihan dari novel ini. Bermanfaat bagi siapapun yang membaca dan berani untuk penulis. Penulis memberanikan diri menyajikan dan bermain dengan meramu karyanya (parenting, inspiratif, fiksi dan no fiksi). Untuk selebihnya, bagi pembaca yang lain akan menemukan hal-hal menarik lainnya yang mungkin terlewat dari pengamatan saya. Maka, bacalah! Dan aku akan tahu keunikan serta manfaat dari sebuah karya yang telah melalui riset-riset tertentu.

Probolinggo, 5 Mei 2018

Bersama Cinta dan Rahasia dalam Persahabatan

Yani, Just it




Judul               : Laka-Laka Rasa
Penulis            : Zachira Indah
Penerbit         :Universal Nikko
Tahun Terbit             : Cet. Pertama November 2017
Halaman         : Xii+ 270 hal.
ISBN                : 978-602-9458-23-7
Peresensi       : Agustin Handayani

Membaca sebuah novel dengan teman persahabatan memiliki sebuah magnet tersendiri bagi pembaca. Apalagi bila di dalamnya terdapat sebuah kisah percintaan yang disajikan dengan sangat apik. Kebanyakan pembaca akan menebak alur dari sebuah persahabatan hanya itu-itu melulu dan memiliki ending yang bisa ditebak dengan mudah oleh semua orang. Hanya saja, bila penulis menyajikan seuatu yang sangat berbeda, pembaca jelas akan langsung jatuh cinta pada cerita tersebut. seperti itulah mungkin yang sedang disajikan oleh Zachira Indah. Penulis yang berdomisili Tegal ini mencoba meramu antara cinta, persahabatan, rahasia, sosial, dan juga lokalitas dalam novel yang berjudul Laka-Laka Rasa (Cinta dan Rahasia).

Menceritakan sebuah novel lokalitas jelas memiliki sebuah kebanggan sendiri bagi penulis. Mengajak pembaca seakan berkelana dan memijakkan kaki di tempat yang diceritakan tanpa harus terbang langsung ke tempat tersebut. Penulis mendeskripsikan tentang bagaimana daerah Tegal dan segala tempat sejarahnya. Bahkan tak jarang pula, mitos juga diangkat dalam novel ini melalui percakapan antara tokoh. Jadilah novel ini sebagai novel lokalitas yang sempurna dan memikat.

Keunggulan kedua adalah pembawaan karakter per tokoh yang dibuat sedemikian misterius dengan segala permasalahan yang membuntuti masing-masing. Sebutlah dia Gari dengan julukan mahasiswa abadi, Malik dengan masa lalu kelam, Suci dengan korban pelecehan seksual, dan Mita yang mencintai suami orang. Masing-masing masalah tersebut semakin meruncing di tengah cerita. Menjabarkan bagaimana sebuah kekuatan persahabatan membuat mereka kuat dan melupakan fakta bahwa dunia tak pernah selalu memihak pada apa yang mereka inginkan.

Alur campuran yang tidak membosankan. Beberapa bagian menceritakan masa lalu dimana keberadaannya sebagai penjelas bahwa masa terkelam antara tokoh yang akan terus membayangi hingga di masa depan. Akan tetapi sekali lagi, kenangan bukan untuk dilupakan, namun untuk direlakan.

“Tapi… dunia kadang nggak adil dengan korban pelecehan seksual ataupun korban pemerkosaan, Gar. Kamu tahu kan?” –Hal. 227

Mengulik dari dunia nyata. Faktanya, kalimat yang dilontarkan dari seorang Mita yang tomboy ini memang benar adanya. Mita menjelaskan pada Gari bahwa dunia memang kadang tak akan pernah peduli pada bagaimana masalah kita masing-masing. Dunia hanya diam dan memperhatikan bagaimana kita mencoba bertahan dan bangkit. Karena hanya manusia-manusia yang kuatlah yang bisa menakhlukkan dunia.

“Saranku, hadapi ini! Kamu laki-laki, kamu harus jantan menuntaskan perasaanmu. Jagoan kelahi tapi takut patah hati. Ah cemen kamu.” –Hal. 262

Benar saja, kan? Tak ada persahabatan murni antara lelaki dan perempuan ternyata masih mempengaruhi Laka-Laka Rasa ini. Karena dalam persahabatan rasa nyaman dan saling pengertian yang paling penting hingga mau tak mau mengundang perasaan cinta tersebut. dan itulah yang dialami oleh tokoh Malik dan Suci. Penulis seakan berpesan lewat dialog antara tokoh bahwa cinta itu untuk diungkapkan bukan untuk dipendam sendiri. Karena saat kita patah hati, tak akan ada pihak yang mau bertanggung jawab atas luka yang telah ditorehkan.

Selesai membaca novel ini, saya sebagai pembaca jelas sangat kagum. Pantas saja cerita ini mendapatkan predikat sebagai, “ The Winner of Young Adult Locality Novel Competition.” Alur yang mengalir dengan pembawaan yang menyenangkan. Aku yakin, pembaca lain akan sepakat bahwa dihalaman-halaman awal sudah mampu memikat dan membuat kita jatuh cinta. Love in first sight.  

Probolinggo, 5 Mei 2018

Kesedihan Tokoh 'Ia'

Yani, Just it





Semua yang ada di Bumi maupun langit adalah milik Allah SWT. Baik itu angin, makhluk hidup dan harta yang sedang kita miliki hari ini. Percayalah bahwa semua yang sedang kamu miliki sekarang adalah titipan yang bersifat sementara. Lantas, mengapa kau merasa kehilangan saat titipan tersebut diambil kembali?

Wacana di atas terus terbaca berulang kali. Merapalkannya ibarat sebuah mantera yang dapat merubah kehidupan. Ikhlas ikhlas dan ilkhlas. Bibirnya terus mengeja tiada henti. Setitik air mata itu bahkan ikut melaju turun sebagai jawaban mantera tersebut.

Ia membalik badannya. Menatap lampu yang semakin meredup lantaran lama dipakai. Warnanya tak putih, agak sedikit jingga. Pantulan cahaya yang mengenai wajahnya, membuat saraf-sarafnya kembali menegang. Mengingat dengan sangat jelas bahwa ia baru saja kehilangan.

Bodoh.

Umpatnya berkali-kali saat ia sadar dengan semua sikapnya. Ia kelewat bodoh dan gegabah untuk bertindak. Seharusnya ia menjaga apa-apa yang ada di sampingnya. Seharusnya ia tak akan kehilangan bila ia lebih bisa peka dengan semua di sekitarnya.

Ia hanya memiliki satu itu, tak ada yang lain. Bahkan dalam doanya, ia selalu meminta kepada Tuhan untuk tidak mengambil satu ini. Ia bisa hancur bila satu ini hilang dari hidupnya, ia yakin itu.

Akan tetapi, doanya seakan nyanyian malam yang mudah terhembus semilir angin. Ia kehilangan dan Tuhan tak membantunya. Ia tak bisa mempertahankan hal tersebut.

Cinta.

Ia pernah berdoa dalam sujudnya. Ia bisa hidup meski tanpa uang sepeserpun. Ia masih bisa bahagia meski hidup sebatang kara. Akan tetapi, penuhi hari-harinya dengan cinta. Ia ingin banyak dicintai oleh orang di sekitarnya, terutama seseorang yang beberapa waktu ia kenal.

Jelas ia meminta orang tersebut juga akan balas mencintainya. Karena ia sudah tahu bahwa ia jatuh cinta pada orang tersebut. Setiap sujud dan doa, ia meminta agar rasanya terbalas.

Terkabul.

Doa-doa di penghujung malam itu seakan mampu membelah langit hingga doanya bisa terkabul. Ia bahagia. Terlebih bisa merasakan cinta yang saling berbalas dengannya.

Di dunia ini, banyak hal yang tak bisa ditebak keberadaannya, salah satunya adalah waktu di detik berikutnya. Ia terlalu terbuai dalam keindahan yang ia miliki, hingga ia lupa bahwa semua yang ia peluk tak akan abadi menjadi miliknya. Ia harus mengembalikan semuanya kepada Tuhan yang memberikan keindahan tersebut. 

Kebahagiaan sesaat itu seakan terenggut paksa. Ia dipaksa merelakan sesuatu yang sangat ia cintai. Ia lupa, semua yang ada di atas (langit) dan bawah (bumi) adalah milik Tuhan. Tuhan hanya menitipkan semuanya agar ia bisa merasakan kebahagiaan. 

Apa yang bisa ia lakukan? Saat jari-jarinya tak dapat lagi bergerak untuk memeluk. Saat kakinya bahkan tak dapat melangkah untuk mengejar. Lidahnya pun kelu, hanya untuk berkata dan memohon agar orang tersebut tak pergi.

Ia kehilangan.

Saat itulah, mantera-mantera itu mulai ia rapalkan kembali. Ikhlas dan relakan. Ia kembali bersujud pada Tuhan. Meminta kelapangan dada agar apa yang telah hilang darinya bisa digantikan dengan sesuatu yang lebih indah lagi.

Dan Tuhan sangat mencintai makhluknya bila kita terus menunduk dan memohon. Itulah pegangannya. Ia semakin menunduk dalam doa. Memohon tiada henti untuk kelapangan hatinya dan kebahagiaan di waktu depan.

Ikhlaslah, maka kau dapatkan emas dalam sujudmu.

Dan tokoh 'ia', mulai merelakan semua yang bersifat titipan dari Tuhan. Menyadari bahwa suatu saat pun, ia juga akan kembali pada Tuhan. Dan saat itu pun, orang-orang di sekitarnya juga belajar ikhlas dan merelakannya pergi.

Ia ikhlas.

Probolinggo, 5 Mei 2018. 

Pasang Surut Layaknya Ombak Bulan Juni

Yani, Just it


Hidup itu terus dijalani dari hari senin hingga ahad, dari pukul satu hingga kembali lagi ke satu. Selalu seperti itu. Berotasi mengelilingi hal yang sama. Mungkin bila mau diandaikan seperti itulah kami. Rotasi sebuah hubungan yang kami jalani tanpa lelah. Inginnya adalah menelusuri hidup seperti air yang mengalir pasrah. Bertubrukan dengan bebatuan besar, jatuh dari ketinggian beratus meter, hingga kembali lagi ke tempat semula. Bukankah air tak mungkin kembali tanpa melewati segala rintangan? Tidak mungkin ia berbelok semaunya sendiri.

Sebenarnya aku tak mau menulis. Otakku terasa buntu hanya untuk membuat alur tentang kami.  Seperti saat aku membuat kuah sop tanpa garam dan bumbu lainnya, hambar. Itulah yang aku takutkan. Membuat sebuah alur tanpa makna dan tak dapat diterima oleh semua orang yang mungkin secara tidak sengaja menengok cerita ini. Akan tetapi, bukankah aku adalah makhluk yang paling egois? Aku tak peduli –meski sebenarnya agak sedikit takut. Aku hanya akan menulis semau dari jari-jari yang tak pernah lelah memencet huruf-huruf di Komputer.

Seperti inilah alur yang akan saya bawakan untuk mengawali sekaligus bila mungkin mengakhiri cerita kami.

Pagi itu masih musim panas, bila tak salah ingat. Kira-kira sudah 8 tahun silam. Masuk ke dalam sebuah ruangan di mana banyak makhluk baru dan lama yang sudah duduk rapi di dalamnya. Aku memilih duduk di depan, pas berhadapan dengan papan tulis. Tak ada yang special hari itu. Masih dengan tas, seragam dan sepatu yang sama. Seragam putih biru yang melekat sangat pas di badanku. Meliarkan pandangan, mencoba menatap satu per satu manusia yang dalam setahun nanti akan menjalani hari-hari bersamaku, bersama kami. Hingga bergulirnya hari dari Senin ke Selasa, atau Selasa ke Rabu, dst, aku mengenalnya. Lelaki yang sebelumnya tak aku lirik. Hanya sebatas itu dan kami mulai berkenalan.

Hingga di tahun berikutnya, bukankah kenyamanan adalah alasan terkuat untuk tetap bersama? seperti itulah kami. Saat semua orang seakan mengalami seleksi alam, mungkin kami adalah salah satu golongan yang lolos dari seleksi tersebut. Masih bersama dengan sebuah predikat yang lebih dari seorang teman –sahabat. Terbersit sebuah harapan semoga kenyamanan tersebut akan tetap kami rasakan hingga tua nanti. Akan tetapi, harapan itu hanyalah sebuah harapan dari seorang bocah polos yang belum mengerti pasang surut kehidupan. Bila leluhur berkata, belum merasakan asam pahit hidup.

Ombak besar datang. Tahun itu pertama kalinya kami berpisah. Pada saat seragam putih abu-abu mulai melekat dan gedung-gedung yang menjadi tujuan kami mencari ilmu berbeda. Ketidak cocokan mulai terasa kental, perselisihan, bahkan kesalahpahaman mulai kami rasakan. Mungkin, saat itu aku berpikir itu adalah titik balik dari rasa nyaman tersebut, jenuh. Di sinilah jarak mulai tercipta dan waktu mulai berjalan dengan begitu cepat. Sebuah persahabatan seakan dijual pada jarak.

Akan tetapi, takdir siapa yang tahu, iya kan? Saat kamu telah membenci seseorang dan berpikir orang tersebut adalah orang terakhir yang ingin kamu temui, siapa sangka Tuhan membuat hidup kita kembali jungkir balik. Persahabatan yang mulai kami bangun dari awal setalah reda dari perselisihan. Berharap di kemudian hari, kami tak akan mengalami pasang surut kehidupan lagi. Apabila memang harus berselisih, harus ada jalan keluar secepatnya. Bila rasa bosan menyapa, biarkan angin dan waktu yang menghilangkannya.

Tak ada persahabatan murni antara lelaki dan perempuan.

Awalnya mungkin kami tak akan percaya dengan filosofi yang entah siapa yang memprakarsai. Menurut kami, itu hanya bualan dari para novelis dalam tulisan fiksinya. Akan tetapi, kami merasakannya. Saat dimana sebuah getaran yang awalnya seirama, mulai tak beraturan. Saat keringat dingin mulai menjalar di segala tubuh. Dan saat kami mulai menjaga sikap masing-masing. Ada sensasi yang tak mungkin bisa kami jabarkan satu-satu. Saat itu, mungkin kami masih remaja labil yang hanya mengejar kesenangan tanpa berpikir sebuah kesulitan. Berpikir semua hanya sebuah mainan yang bila bosan, bisa ditinggalkan semuanya tanpa berpikir apa itu arti dari sebuah menjaga. Kami terlalu egois dan kekanakan.

Kisah apalagi antara kami? Teman – persahabatan – hubungan labil – bahkan musuh, semua kami lewati dengan berbagai emosi yang memuncak. Saling tuding kesalahan hingga rasa lelah mulai menyapa. Ada jeda di setiap hubungan yang kami jalani. Hingga cerita akan bermonolog tentang aku.

MONOLOG AKU, Setelah Semua Pergi.

Nanti, akan kuceritakan sesuai sudut pandang dan bagaimana kembang kempis perasaan ini. Intinya, alur singkat dan sengaja aku cepatkan untuk mengisahkan bagaimana kami yang telah melalui pasang surut ombak. Aku tak ingin menceritakan semuanya secara gamblang. Karena tulisan ini abadi, hingga nanti di masa masing-masing dari kami memiliki kehidupan masing-masing.  

Ada kisah di dinding jatung
Berdebar kala dirasakan
Sebuah kisah klasik yang tak bertitik, namun selalu koma
Menjalani hari ke hari denga suka dan duka
Ada warna di setiap tangis dan canda
Hingga kamu tahu bagaimana perjalanan sebuah rasa

Probolinggo, 02 Juni 2018



Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...