Foto by. Jabbar Abdullah
Selasar, 17 Juni 2018 || Radar Mojokerto
Refleksi Negeri dalam Sebuah Novel
Judul : Negeri yang Dilanda Huru-Hara
Penulis : Ken Hanggara
Penerbit : BasaBasi
Terbitan : Cetakan Pertama, Maret 2018
Jumlah Hal. : 260 Halaman
ISBN : 978-602-6651-22-8
Peresensi : Agustin Handayani
Semua karya jelas memiliki daya tarik sendiri di mata pembaca. Memiliki gaya sendiri dimana penulis berusaha menampikan hal-hal yang unik dan baru dalam keryanya. Si Pabrik Cerita, seperti itulah pembaca menjuluki seorang penulis bernama Ken Hanggara ini. Bukan tanpa alasan mengapa seorang Ken bisa mendapatkan julukan seperti ini. Lelaki kelahiran 1991 ini sudah menjajal banyak sekali dunia literasi, baik itu cerpen, esai, puisi, novel, resensi bahkan scenario FTV.
Dalam novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara ini, Ken Hanggara seakan mengantarkan kita pada sebuah kisah negeri yang disebut dengan Negeri Fiktif Belaka. Negeri yang memiliki nilai sejarah lengkap dengan kejayaan bahkan kemundurannya. Membuat sebuah gebrakan pada bab awal hingga pembaca akan merasa penasaran dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya akan diceritakan penulis dan bagaimana cara penulis menggiring pembaca untuk menikmati sebuah dunia yag dimaksud.
Saya kira, sampai di sini, semestinya para pembaca tidak sabar menunggu soal apa yang sebenarnya terjadi. (hal. 14)
Saat membaca akhiran ini di bab pertama, mungkin beberapa pembaca akan berpikiran sama; Ken sengaja mengerjai pembaca dan memupuk rasa penasaran.
Hingga pada bab-bab selanjutnya kita akan dikenalkan dengan sebuah negeri yang dikenal dengan sebutan Negeri Fiktif Belaka. Kaum penjajahan, pribumi,bahkan kamu sihir turut dijabarkan dalam novel ini. Keadaan sebuah Negeri dibawah pimpinan raja Mugo I. raja yang terkenal dengan sifat-sifatnya yang cerdas, cerdik, baik, dan adil hingga mampu disegani oleh para rakyatnya. Dengan kegigihan dan kerja keras yang ia lakukan, ia bisa menjadikan negerinya berada pada masa kejayaan. Hingga saat Raja Mugo I turun tahta yang digantikan oleh keturunannya, yaitu Raja Mugo II, di sinilah ‘masa panas’ Negeri ini. Seperti yang kita ketahui, pergantian Raja tidak akan selalu menghasilkan harapan yang bagus dan tidak menjamin akan terus menjayakan Negeri seperti raja sebelumya. Meski Mugo II adalah keturunan dari Raja Mugo I, akan tetapi raja Mugo II memiliki sifat yang berbeda dari ayahandanya.
“Betapa nasi-nasi di kepala Mugo II sudah terlanjur tidak dapat dicerna. Itu sangking banyaknya dia menelan. Sesendok belum tuntas, masuk empat-lima sendok, dan begitu seterusnya.” (Hal. 35)
Para dukun sihir percaya, kebiasaan yang dilakukan oleh Mugo II adalah cerminan dari sebuah sikap dan kebijakan apa yang raja itu lakukan. Di sini, beberapa kaum dukun sihir mulai menunjukkan ketidaksukaannya pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh seorang Mugo II, namun mereka tetap diam di kota bawah tanah dan menjadi pengamat. Setelah beberapa dekade Mugo II memerintah dan dikabaran tewas karena penyakit diabetes, ternyata inilah masa pemerintahan yang sebenarnya berlangsung. Pemerintahan yang dipimpin oleh Raja Mugo III ternyata berdampak sangat besar pada sejarah Negeri Fiktif Belaka ini.
Dalam karyanya, Ken bukan hanya memfokuskan sebuah dongeng kerajaan, namun bila kita lebih teliti lagi, Ken seakan menjabarkan sebuah kemajuan literasi pada zaman ini. Ken juga akan memperkenalkan kita pada beberapa tokoh seperti Hady Hamzah, Ben Azmara, Guru Blewah, dan seorang yang akan merajai jalannya cerita ini, Popo Gusnaldi.
“Sebagian besar rakyat negeri ini tidak sadar betapa kebenaran telah jauh mereka tinggalkan berkat doktrin-doktrin.” (Hal. 112)
“Tidak ada pedang atau tombak yang lebih tajam ketimbang hasil pekerjaannya dalam menulis, maka angkatlah senjata lewat pena dan guncangkanlah dunia dengan senjata itu sampai mati.” (Hal. 145)
Dari beberapa penggal kalimat ini, sebenarnya kita bisa langsung menarik intisarinya. Kita seakan dibawa pada saat pemerintahan Indonesia beberapa tahun silam. Saat sebuah tulisan ternyata mengancam berlangsungnya pemerintahan. Hanya bermodal secarik kertas dan pena, seseorang dapat membuat pemerintah terancam dan akhirnya memburu beberapa sastrawan yang tidak sejalur dengan kebijakan pemerintahannya.
Hal yang sama terjadi pada Negeri Fiktif Belaka ini, tepatnya di sebuah kota bernama Kalodora. Di mulai pada masa pemerintahan Mugo II hingga Mugo III, kegiatan literasi dari para sastawan mulai digiatkan. Negeri ini mulai mencetak ratusan novel-novel yang mengkisahkan Negeri ini beserta kebajikan dari Raja yang memerintah. Semakin parah terjadi pada pemerintahan Mugo III, semua tulisan yang masuk kurasi tidak boleh menentang atau menjelek-jelekkan raja. Bila itu terjadi, keesokannya tubuh mereka akan kehilangan kepala yang nantinya akan dibuang di sebuah sungai hingga bau anyirnya bertahan beberapa hari.
Seperti yang penulis kisahkan. Penulis ingin pembaca memahami bagaimana kegiatan literasi yang telah dicampur oleh doktrin-doktrin mulai merusak sejarah Negeri tersebut. tulisan manipulatif, dan memuji raja adalah tulisan-tulisan yang akan lolos kurasi hingga bisa terbit di pasaran. Bagaimana dengan tulisan yang menentang dan bersifat kebenaran tentang sejarah Negeri tersebut? mati. Itu adalah jawaban singkatnya. Mereka semua akan diburu, dianiaya, dipenggal, dan tindakan sadis lainnya. Sama halnya dengan yang Hady Hamzah dan Popo Alami. Meski Popo seperti pemeran utama dalam cerita ini, dia juga mengalami hal-hal yang menyakitkan. Saat usahanya ternyata tak bisa membuahkan hasil yang diinginkan, Popo harus rela dipenjara dan dihajar habis-habisan lantaran tulisannya yang mengungkapkan seluruh kebusukan Mugo III. Bukan hanya Popo, Hady Hamzah malah memiliki takdir yang lebih prihatin. Hady dibunuh lantaran karyanya dan setelahnya jasadnya dibuang begitu saja. Sampai di sini, saya semakin terkenang pada masa 1980-an.
Hingga di beberapa bab terakhir, Ken seakan muncul dalam tulisannya. Cerita melompat pada masa modern. Masa sekarang dimana dengan bantuan kaum dukun sihir, Popo melewati ruang dan waktu hingga bisa bertemu dengan tokoh ‘saya’. Cerita ini memang memiliki titik terang di akhir cerita. Penulis menjabarkan seluruh kejadian dengan runtut dan singkat lewat transkip pikiran yang dibawa oleh Ben Azamara ke masa sekarang.
Novel politik dengan segala praktik kekuasaan yang otoriter dalam Negeri ini menurut saya sangat berhasil dalam meyakinkann para pembaca. Ken Hanggara, si Pabrik cerita serasa tidak pernah gagal dalam membangun sebuah negeri sendiri dala ceritanya.
Probolinggo, 17 Juni 2018