Foto. Jabbar Abdullah
Dokumentasi Radar Mojokerto 23 September 2018
Romantisisme Kenangan dalam Puisi di Kota Tuhan
Judul
: Di Kota Tuhan
Aku adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah
Penulis
: Stebby
Julionatan
Penerbit
: Indie Book Corner
Jumlah
Halaman : 130 Halaman
Terbitan
: Cetakan Pertama, 2018
ISBN
: 978-602-3093-33-5
Jenis
: Kumpulan
Puisi
Sebelum
membaca isi dalam buku ini, mungkin beberapa orang akan bertanya-tanya tentang
apa itu ‘Kota Tuhan’? Apa maksud penulis
dari ‘Daging yang Kau Pecah-Pecah’? Saya kira memang itu adalah pertanyaan
mendasar saat kita disodorkan buku bersampul putih ini.
Setiap
penulis memiliki cara dan ciri dalam mengekspresikan yang ia tulis dalam
karyanya, apa yang ia rasakan, lihat bahkan apa yang ia dengar. Bagaimana
dengan Stebby Julionatan? Penulis asal kota Probolinggo ini rupanya memiliki sebuah
keunggulan dalam karyanya kali ini. Di Kota Tuhan Aku adalah Daging yang Kau
Pecah-Pecah merupakan kumpulan puisi yang dibagi menjadi dua midrash dimana
dalam proses penyelesaiannya membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Proses yang
panjang dimana perenungan dan pematangan karya sangat dirasakan oleh Stebby.
Mengusung
lokalitas, Stebby menceritakan setiap sudut kota Probolinggo dengan romantisme
yang mampu menggelitik perasaan. Rabu dan Biru adalah dua tokoh yang seakan mengantar
bagaimana penulis mempuisikan apa yang ia rasakan. Keunikan lainnya dalam puisi
ini adalah penyajiannya yang ditulis seperti ayat-ayat seperti dalam alkitab. Penggunaan
diksi yang sangat indah serta untaian kata yang mampu membawa kita kesebuah kenangan
yang mungkin memang dilalui oleh penulis secara pribadi.
1 Bromo
seperti bentangn yang membawa kembali kenangan.
2 Ia
seperti rentang yang memeluk kembali kenangan.
… (Hal.36)
Dalam salah satu puisi di Midrash
pertama, Stebby rupanya ingin mengajak kita bermain-main dengan kota
Probolinggo dan kenangan yang ia miliki. Dalam puisi ini, Bromo menjadi sebuah
sorotan puisi kenangan yang penulis rasakan. Bahkan pemilihan kata dalam
kalimatnya seakan melemparkan kita tepat di hamparan pasir Gunung Bromo sembari
merasakan apa yang dirasakan oleh penulis kala itu.
Pada sebuah
puisi yang diberi judul, “Serva Ordinem
et Ordo Servabit Te”* (Taatilah ‘Hukum’ maka ‘Hukum’ pun akan baik terhadapmu).
Meski dalam puisi ini terbilang sangat pendek, rupanya tak sependek maka
yang terkandung. Sempat saya berpikir –mungkin begitu dengan orang lain- bahwa
puisi ini adalah jantung dari buku yang sangat apik ini. Berikut saya tampilkan
puisi utuh tersebut:
1
Di
Kota Tuhan aku adalah daging yang kau pecah-pecah. 2 Darah yang kau
alirkan di sepanjang Efrata. 3 Mengikutimu adalah sedih tu sendiri
4
Biru,
apakah jawabmu?
5
Ya, dengan
segenaphatiku.
Sebelumnya
penulis memang sempat menjelaskan bahwa arti dari Kota Tuhan sendiri adalah
sebuah kota yang dianugerahi kepada penulis, sedangkan ‘daging yang kau
pecah-pecah’ lebih merujuk pada anugerah yang diberikan kepada manusia bukan
hanya untuk dirinya, melainkan untuk dibagi ke sesama.
Biru
tak ingin mencintai Hari selain Rabu. Iya. Diambil dari judul salah satu puisi
di midrash pertama, seperti itulah kesimpulan yang bisa kita ambil dari sekian
banyak puisi dalam buku ini. Tidak pernah ada Biru dengan hari selain Rabu.
Bahkan kita seakan bisa menangkap bahwa Biru dan Rabu adalah jodoh yang
ditakdirkan berada di Kota Tuhan untuk saling berbagi pengalaman dan cerita
tentang bagaimana kenangan dari masa kanak-kanak hingga pencarian jati diri.
Keseluruhan
karya puisi ini memang sangat cocok untuk dinikmati oleh banyak pembaca.
Seperti pada hakikatnya sebuah puisi, saat puisi tersebut jatuh pada tangan pembaca,
maka setiap pembaca akan memiliki caranya sendiri dalam menafsirkan. Dilengkapi
dengan gambar tempat-tempat yang menjadi setting
puisi tersebut, bisa menjadi kekuatan sendiri bagi kumpulan puisi ini. Bagi
orang-orang luaran sana, mereka akan lebih bisa mengenal Probolinggo, sebuah
kota yang bahkan di Peta hanya sebuah gambar tak aturan berwarna biru dengan
batas daerahnya.
Rabu
dan Biru, saya harap mereka dapat mengantarkan banyak orang di luar sana
tentang seperti apa itu Kota Tuhan kami, Probolinggo. Buku inipun bisa menjadi
referensi bagi pembaca untuk lebih mengenal Probolinggo dan kenangan yang meski
sekecil apapun layak untuk dikenang.
Probolinggo,
08 September 2018