Resensi Museum Anomali






Foto. by Jabbar Abdullah
Radar Mojokerto

Memanfaatkan Hidup dengan Anomali Waktu   

Judul Buku                 : Anomali Hati
Penulis                        : Lubis Grafura
Penerbit                     : Mojok
Tebal                          : 175 Halaman
ISBN                            : 978-602-1318-67-6
Cetakan                      : Pertama, Mei 2018
Peresensi                   : Agustin Handayani

Berbicara tentang waktu, selalu ada rahasia besar di dalamnya. Sepeti itulah yang kiranya dijabarkan dalam novel yang berjudul, ‘Anomali Hati’ ini. Berbicara dengan Anomali mungkin beberapa orang akan bertanya apa itu anomali? Menurut Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) anomali diartikan dengan penyimpangan dari yang sudah ada. Sedangkan bila kita mendengar kata ‘Hati’, jelaslah mengenai sebuah perasaan yang dimiliki oleh semua insan manusia. Lantas apa hubungan antara Anomali dan Hati dalam karya ini? Inilah pemikiran awal yang akan biasa kita pikirkan sebelum berlajut membaca isinya. Lubis Grafura, penulis kelahiran Kediri 1984 akan membawa kita semua untuk menyelami karyanya dengan santai namun juga serius.

“Ada peluang besar, tapi di sana juga tersimpan bahaya yang besar.” – Hal. 50

Sebuah perbedaan waktu di mana waktu di tempat lain seakan menyusut dengan sendirinya. Uniknya, penyusutan waktu tersebut hanya dialami oleh Alendra. Seorang mahasiswa Ilmu Fisika yang memiliki keambisiusan dengan otaknya yang di atas rata-rata dari mahasiswa lain. Secara tak disengaja, ia mengalami anomali waktu hingga membuatnya tak bisa bertemu dengan Sheli, wanita yang ia kenal dari sambungan  telepon  nyasar. Terlalu banyak alasan dan sebab hingga mereka tidak pernah mendapatkan titik temu. Setelah menganalisa beberapa kejadian, Alendra dengan kecerdasanya mendapati sebuah keganjilan waktu antara dirinya dan Sheli saat berkirim surat. Dengan perhitunganya sendiri, Alendra menghiung berapa lama waktu menyusut dan kapan waktu antara dirinya dan Sheli dapat sejajar.

Penulis dengan sangat cerdasnya menjabarkan berbagai ilmu hukum dalam novel ini melalui kecerdasan Alendra. Tentang usaha-usaha yang dilakukan lelaki tersebut guna menempuh berbagai cara agar mereka –Sheli dan Alendra- bisa berkomunikasi hingga melibatkan orang-orang terdekat mereka. Akan tetapi smeuanya gagal. Waktu seakan memiliki sebuah rahasia yang semakin rapat dan membuat mereka berpikir dengan keras bagaimana memecahkan sebuah rahasia tersebut.

 “Demi waktu bahwa sesungguhnya kita benar-benar dalam keadaan kerugian, kecuali orang-orang yang beriman. Mengerjakan amal shaleh, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” –Hal. 143

Benar. Dalam karya ini penulis mencoba menajabarkan pada kita bahwa selain rahasia, waktu juga membawa arti tersendiri di setiap detiknya. Bagaimana cara manusia untuk memanfaatkan waktu tersebut dengan semaksimal mungkin karena waktu selalu berotasi ke dapan dan tidak pernah perlahan mundur. Seperti itulah yang dilakukan Alendra daalam misinya mempelajari anomali waktu. Anomali waktu antara dirinya dan Sheli digunakan untuk memperbaiki beberapa kejadian yang kurang baik di masa lalu agar bisa menjadi baik di masa depan. Akan tetapi mereka sadar. Bagaimanapun mereka berusaha, Tuhan-lah yang menentukan semuanya.

Dalam kisah ini memang yang menjalaninya adalah sepasang manusia dengan perasaan ketertarikan dan rasa nyaman, namun anomali tetaplah menjadi penghalang. Pembawaan cerita yang banyak memasukkan unsur-unsur disiplin ilmu menjadikan kisah ini sebagai pembelajaran beberapa pengetahuan. Beberapa pesan yang diringkas dengan lebih ringan dalam sebuah percakapan tokoh lebih cepat diresap dan menjadi perenungan diri bagi para pembaca.

“Orang yang melontarkan kritik pada hakikatnya adalah pengawal jiwa kita, yang bekerja tanpa bayaran.” –Hal. 88

Dalam penggalan kalimat ini sebenarnya sudah mampu menyindir beberapa orang yang sangat hobi mengkritik keburukan seseorang. Padahal, tidak ada  manusia yang hidup tanpa cela. Begitupun dengan Alendra yang terlalu cerdas hingga teman-temannya enggan bergaul dan selalu mengkritik bagaimana sikap Alendra di depan para dosen. Sisi positifnya adalah, kritikan tersebut kita jadikan sebagai perenungan untuk berkembang semakin baik lagi. Biarlah kata pedas atau kasar kita terima, kita hanya perlu menjaga diri kita dengan tidak menyakiti orang lain karena lisan kita yang tajam.

Membaca buku ini, kita seakan diajak kesebuah dimensi waktu yang bermain degan ilmu-ilmu alam. Banyaknya pelajaran yang diharapkan penulis agar bermanfaat bagi para pembaca. Hingga di detik terakhir saya membaca novel ini, saya berfikir penulis sangat pintar menciptakan sebuah kisah yang seakan nyata dalam pikiran saya. Semoga semua pembaca setelah ini lebih bisa menghargai waktu dan tidak menjadi insan yang merugi.


Pangeran Monyet

Yani, Just it



Mungkin sedikit banyak orang-orang telah tahu kisah Pangeran Kodok. Siang ini, saya ingin mengisahkan Pangeran Monyet.

Pangeran Monyet dulunya adalah pangeran yang tampan, gagah dan menjadi idaman Para Puteri. Akan tetapi, Pangeran memiliki sifat buruk, yaitu pelit. Ia tak mau berbagi pada sesama bahkan adiknya sendiri.

Hingga suatu hari, Pangeran bertemu seorang nenek tua yang ringkih. Nenek itu terlihat sangat kelaparan. Sedangkan Pangeran terlihat acuh sambil terus makan apel ditangannya.

"Percuma wajahmu rupawan bila akhlakmu rendahan. Kau akan menjadi monyet hingga kau bisa melakukan kebaikan!" kutuk Nenek tersebut.

Pangeran berteriak tak terima, hingga tiba-tiba badannya mengecil dan suaranya berubah ....

"Uuaak uu aak,"

Pangeran sedih. Meskipun begitu ia tetap pelit dan enggan berbagi pisang dan buah dengan temannya.

Hingga suatu hari, seorang Puteri bernama Ell tengah duduk termenung di taman rumahnya. Di taman tersebut tengah tumbuh pohon mangga yang berbuah lebat.

"Ah, andai ada buah mangga yang jatuh. Aku ingin sekali makan rujak mangga," ucapnya dengan wajah setengah melamun.

Pangeran Monyet yang berada di atas pohon tersebut mendengar ucapan sang Puteri, hanya saja ia tak peduli. Ia masih asyik memetik beberapa buah mangga di dekatnya. Hingga seekor semut tanpa sengaja menggigit kaki Pangeran.

"Uuuaaak uuaaak." Teriakan Pangeran Monyet kesakitan karena si Semut. Ia marah-marah pada semut yang dengan tak bertanggung jawab pergi meninggalkan Pangeran.

Dug.

Sebuah mangga jatuh di dekat sang Puteri. Puteri Ell sangat girang melihat buah tersebut. Ia menengadahkan kepala ke atas dan melihat seekor monyot yang tengah menggaruk kaki dan kepalanya. (Kutuan mungkin 🤣)

"Terima kasih, Monyet," ucap Puteri Ell tulus dan langsung menuju ke dalam rumah. Ia tak sabar membuat rujak mangga.

Sementara si Pangeran Monyet hanya melongo dan mengumpat kesal. Mangganya berkurang satu. Tiba-tiba, Pangeran Monyet merasakan perubahan pada tubuhnya. Kaki dan tangannya memanjang. Tubuh yang tak sampai satu meter tiba-tiba bergetar dan membesar.
Kutukan terlepas.

Pangeran tercengang. Ia mengira akan sangat sulit untuk lepas dari kutukan tersebut. Akan tetapi, hanya karena sebuah kebaikan tak disengaja yang ia lakukan, kutukan itu sudah bebas. Akhirnya, Pangeran kembali ke Kerajaan dan berjanji akan menjemput Puteri tadi agar menjadi Permaisurinya.

Probolinggo, 11 07 2018

Kami Muslim dan Kami Bukan Teroris.

Yani, Just it



Seperti kebanyak muda-mudi di malam minggu. Sore ini, aku menyempatkan diri menikmati indahnya pemandangan taman kota. Duduk santai dengan sebungkus batagor dan segelas cokelat. Aku memandang bagaimana air mancur terus keluar dari mulut sang Angsa.
Bila aku menoleh sedikit saja, sebelah kanan terdapat sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Aku mendecih, sebenarnya ada iri dalam hati. Terbersit dalam hati untuk membawa kekasihku nanti, sayangnya belum ada orang yang bisa aku panggil kekasih.

Sedang khusyuknya dengan batagor yang aku makan, tiba-tiba dari arah selatan seorang pemuda bercelana cingkrang berlari ke arahku.

"ALLAHHU AKBAR!!!" teriaknya sambil melempar sebuah benda yang menyerupai Bom rakitan ke kakiku.

Aku melompat kaget. Terhenyak sendiri dengan banyak umpatan yang aku keluarkan. Apakah ini saatnya aku menjadi puing-puing tanpa bekas?

Dengan segala umpatan itu, aku berlari menjauh. Sedangkan lelaki celana cingkrang itu pun berlari ke arah pepohonan besar.

Lima menit dan belum terjadi apa-apa. Apakah Bom itu mati? Kabelnya terputus? Atau mlempem?

Dengan hati-hati, aku mendekati keberadaan bom rakitan tersebut. Banyak pertanyaan dalam dada. Apakah bila aku mendekat, bom itu akan meledak? Kemana orang-orang? Mengapa hanya aku sendirian yang seakan nyawanya berada di ujung tanduk?

"Assalamu'alaikum, mbg?" sapa segerombolan orang dengan senyumnya sebelum aku mendekati keberadaan bom itu. Sementara di belakangnya terdapat kamera yang aku pastikan sedang merekamku. Tak lupa dengan lelaki celana cingkrang tadi.

"Kamu!!!" tunjukku kesal. 

Sementara seorang perempuan muslim mengambil bom tersebut dan membukanya di depanku.
Hanya sebuah bom mainan.
Hingga mengalirlah sebuah cerita tentang misi mereka melakukan hal tersebut. Aku hanya menganggukkan kepala. Terasa pening dengan keterkejutan yang belum reda.

"Jadi, maksud kami agar orang-orang tidak langsung menilai lelaki celana cingkrang dan wanita cadar sebagai pelaku teroris. Bisa saja, tadi saya lempar uang, heheh," cengir lelaki celana cingkrang disela penjelasannya.

Aku mendengus dengan gurauannya yang garing. Akan tetapi dalam hati aku mengiyakan. Terlalu banyak adu domba yang menjelekkan beberapa kaum. Dan memojokkan cara berpakaian sebagai pelaku kejahatan tersebut.

"Jadi, Mbg. Kami Muslim dan Kami bukan Teroris."

Aku mengangguk dengan senyum tulus. Benar. Aku muslim dan aku bukan teroris.
Di akhir sesi sore itu, kami berfoto bersama dan saling berjabat tangan.

"KAMI ISLAM DAN KAMI BUKAN TERORIS!!!" ucap kami bersamaan sebagai penutup video yang direkam oleh lelaki berperut besar.

Prob. 07 07 18

Puisi Lama

Yani, Just it


EGOKU

Yani

Sempat kita berbincang saat mentari malu-malu di ufuk barat. Mengintip dengan mesra tak kala kita terfokus pada titik pembahasan.

"Aku adalah perempuan teregois, kak!" Seruku padamu.

Aku ingin menciptakan sebuah pertengkaran kecil yang ku pantik dari ujung senyummu. Namun semua tahu, kau cukup dewasa 'tuk tersulut.

Aku ingin merangkai hati dari awan-awan mendung yang dijauhi para burung jantan. Kau menolak. Menyuruhku membangun hati dengan aurora-aurora yang indah. Berharga, tak semua orang dapat menyentuh.
Aku tergelak dengan kencang. Menggeleng kepala bukti menolak.

"Tidak, Kak. Aku tidak mau menjadi hal yang indah. Karena aku buruk. Egoku menjadikannya buruk," ungkapku.

Kali ini kita terdiam. Saling mengecup perbedaan yang terbentang. Egoku dan egomu, sama.
Melucuti ego masing-masing pun kita enggan. Ego layaknya sarung yang terpakai saat kita di Gunung Bromo. Penghangat kala dingin.

Sedangkan cinta, hanya terucap di atas ranjang. Kala kita bergerumul dengan peluh-peluh tak terhitung. Meneriakkan nama di atas dosa-dosa malam. Dosa yang setelahnya memaksa kita bertaubat.

Aku egois, kakak!
Karena aku tak membiarkan cinta hilang
Mengulang lagi dan lagi kesalahan terindah
Hingga berharap, Neraka pun ada kita di sana


Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...