Lewat kertas
kosong sisa buku tulis sekolah ini, aku utarakan bagaiamana perasaan hatiku. Lewat
setiap kata yang selalu aku susun sama, tidak ada yang berubah. Terik matahari
yang masih mentereng hingga membuat kulit terbakar, cinta itu masih tetap ada. Bahkan
angin yang kemarin datang bersama kita, masih tetap tertiup mesra membelai
kulit telanjangku. Ah, bukankah semua masih sama? Tidak ada yang berubah
kecuali kita.
Iya, kita
memang sangat berbeda. Bukan lagi berbeda yang menyatukan, tapi sebaliknya. Kita
adalah dua hal yang sangat berbeda dan itu menimbulkan jarak di antara
kebersamaan kita. Kita seperti dua manusia yan terpisah ratusan kilo mater. Padahal
dulu kita terlampau dekat, bahkan angin pun tak bisa lewat di sela kita.
Roda memang
selalu berputar, ‘kan?
Kekasihku
yang dulu aku cinta. Lewat surat ini aku ingin memberitahukan betapa aku sangat
mencintaimu. Bahkan kamu pun mungkin tak akan sadar seberapa besar itu. apakah
sebesar gunung? Atau sebesar dunia ini? Ah, aku pun tak dapat mengira-ngira
sebesar apa cintaku. Karena yang aku tahu adalah perasaan ini terlampau besar
hingga tak ada perandaian yang dapat mewakilinya.
Namun kekasihku,
kamu jangan terlalu senang dulu. Sudah aku bilang di awal, bahwa roda itu
berputar, bumi pun sama. Perasaan yang dulu membuncah ruah, lama kelamaan
menyurut. Cinta yang dulunya besar, lama-lama mengkerut, mengecil hingga
akhirnya habis.
Kekasihku yang
dulu pernah aku cintai tanpa alasan apa dan mengapa. Ternyata waktu memang tak
berwujud tapi kenapa ia berhasil melululantahkan semua yang kita bangun. Waktu seakan
menghipnotismu untuk berbubah dan berjalan menjauh dariku. Aku sadar, itu pasti
bukan kehendakmu. Mungkin kamu di bawah pengaruh waktu yang jahat hingga kini
kita menjadi masing-masing aku dan kamu.
Aku tidak
tahu harus dari mana memulai kisah ini. Apakah sejak aku jatuh cinta? Atau sejak
kita bersama? Tapi alangkah bijaknya, aku mulai saat kita mulai merasa saling
menjauh. Karena menurutku inilah awal kisah baru kita. Kita akan melangkah
dengan jalan yang saling bersebrangan tanpa ada titik temu di depan sana. Kita
seakan menuruti waktu yang memerintah kita berpisah.
Tidak ada
orang ketiga atau keempat di dalam hubungan kita, seperti perjanjian kita di
awal. Meski begitu, retaknya hubungan bukan hanya karena masalah orang lain. Ini
murni karena kita sendiri. Kamu yang mulai menjadi orang lain, atau memang
seperti itu kamu? dari dulu hanya bertopeng karena kamu merasa perlu
menakhlukkanku? Dan setelah aku takhluk, kamu dengan sikapmu kembali pada
semula. Sikap yang jelas tidak aku kira dan pastinya tak aku suka.
Kamu terlalu
mengekang dan mengikatku hingga aku tak bisa apa-apa. Bahkan sekadar bernapas
pun, terlampau sulit. Ikatannya terlalu ketat. Apakah kamu sadar bahwa semakin
kuat ikatan ini maka semakin besar keinginanku lepas?
Kekasihku yang
berubah. Tidak baik bila kita sama-sama ketakutan. Kau takut aku berpaling
sedang aku takut kamu berubah. Karena dari ketakutab itu, aku sadar bahwa kita
sama-sama melangkah di arah yang berbeda.
Ketakutan itu
tidak baik, kataku dulu. Namun kamu bilang kamu tidak takut hanya awas saja. Aku
tak lantas percaya. Karena sinar mata kita sama, sama-sama dalam kecemasan dan
ketakutan setiap bersama.
Kekasihku yang
terlampau aku cintai dulu, siang ini bnayak kejadian yang semakin meyakinkan
aku bahwa cinta memang tidak harus selalu bersama. Ada kalanya kita harus
saling melepas untuk sejenak merasa bebas. Kita perlu bernapas untuk mengisi
perasaan yang mulai kebas.
Setiap waktu yang bergulir, setiap kata yang
selalu kita katakan di setiap malam itu, banyak perbedaan yang semakin kentara.
Perbedaan yang satu per satu muncul dengan sendirinya. Itu sudah menjadi
aba-aba perpisahan kita, bukan?
Aku sudahi
sejenak cerita ini. esok mari kita sambung lagi dengan lebih rinci. Dan mungkin
esok, cerita ini sudah tentang aku dan kamu masing-masing, bukan lagi kita.
Probolinggo,
1 September 2019
👍🏻
ReplyDeleteMantab jaya
ReplyDelete