Aku
mulai melangkah dengan pelan lagi. Seakan baru saja belajar berlatih melangkah
seperti anak kecil yang belum genap berumur setahun. Mungkin juga orang-orang
yang kini sedang menatapku tengah mencibir dalam hatinya. Bahkan anak berumur
tiga tahun saja sudah berlari mengitari pancuran di taman. Hal ini benar-benar membuatku
iri.
Namun
apa daya. Inilah keadaanku. Selama tiga tahun hidup dalam kelumpuhan akibat
sebuah kecelakaan beruntun yang menewaskan orang tuaku, aku hidup bersama bibi
yang sangat mengasihaniku. Seorang wanita yang mungkin sudah hampir memasuki
setengah abad, dengan lesung pipi dan gigi kelincinya. Tidak akan ada yang
mengira bahwa ia berumur sekian bila dilihat dari kecantikan wajahnya. Aku pun
sempat tertipu dan tak percaya dengan umur beliau. Namun, itulah kenyataannya.
"Bintang!
Ayo makan!" Teriakan itu berhasil membuatku menoleh dengan senyum
mengembang. Itu adalah suara dari Rama. Anak dari bibi Sinta yang menampungku
selama ini. Dan mungkin saja, Rama jugalah yang menjadi alasanku untuk bangkit
dan sembuh.
"Bentar!"
teriakku tak kalah lantang. Dengan hati-hati, aku menapaki rumput taman dengan
perlahan. Sejak tadi, aku memang tak memakai sandal atau alas kaki lainnya.
Anggap saja aku sedang melakukan terapi. Karena Kata dokter, aku memang harus
sering-sering menapak tanah agar saraf di kaki cepat bisa merespon dan tidak
kaku seperti sebelumnya.
Baru
beberapa langkah, aku merasakan badanku melayang. Otomatis aku terpekik dan
hampir saja memukul siapa orang yang lancang mengangetkan aku, tetapi urung
saat melihat wajah Rama yang jaraknya sangat dekat denganku.
"Kamu
lama. Aku sudah lapar banget," gerutunya yang bahkan helaan napasnya
terdengar jelas di telingaku. Jarak kami terlalu dekat. Dan ini benar-benar tak
baik untuk kesehatan jantungku.
"Maaf,"
cicitku dan semakin masuk ke dalam gendongannya. Aku paling tak suka digendong,
tetapi gendongan Rama jelas terasa lain. Ada rasa nyaman dan aman yang menjadi
satu di sana. Dan aku suka dengan gendongannya.
"Sampai
mana perkembanganmu?" tanya Rama setelah berhasil membawaku dan
mendudukkan di sebuah karpet yang ia bawa untuk acara piknik kami kali ini.
Hanya
ada aku dan Rama. Paman dan bibi harus berangkat ke Bali pagi-pagi sekali untuk
mengevaluasi resort di sana. Dan untuk mengusir kejenuhan, Rama mengajakku
piknik sekalian terapi di alam terbuka. Aku menyutujui usulannya. Aku pun ingin
segera sembuh dan meraih cita-citaku terutama memantaskan diri bersanding
dengan Rama. Katakan saja itu adalah bunga tidur. Karena nyatanya, takdir tak
pernah mengizinkan kami bersatu. Dengan banyak alasan, aku hanya mampu
mengaguminya dari jauh.
"Sudah
lumayan. Aku mulai merasakan saraf kakiku bekerja," jawabku seraya
mengambil buah yang sudah ia kupas.
Terlihat
Rama mengangguk dengan binar puas di matanya. Aku paham, Rama sangat mendukung
kesembuhanku. Ia sangat ingin aku segera menjadi Bintang seperti dulu lagi.
Bintang yang kuat, bersinar dan semangat.
Lama
kami saling fokus dengan santapan yang terhidang. Semilir angin sore
benar-benar menjadi selimut kenyamanan bagi kami. Gumpalan awan di langit
seakan berbentuk hewan-hewan yang berlarian yang menghiasi birunya semesta.
Aku
menikmati bagaimana rumput dengan gemulainya mengikuti angin yang bergerak di
sekitarnya. Semuanya nampak damai dan menenangkan. Namun tidak dengan hatiku
yang sejak tadi berdetak liar. Ini pasti karena Rama.
"Bin?"
Aku
menoleh dan mendapati Rama yang memandangku lekat. "Ada apa?" tanyaku
penasaran.
"Hmm,
gini. Besok, aku akan ke Paris," ujar Rama dengan suara yang terbata.
Aku
tercekat. Paris? Luar Negeri? Untuk apa?
Aku
jelas-jelas kaget. Sebelumnya Rama tidak pernah bercerita apa-apa tentang Paris
dan tujuannya ke sana. Dan berita ini benar-benar seperti bom waktu bagiku.
Meledak tepat di wajahku bahkan saat aku belum siap menerimanya.
"Aku
mau lanjutin S2 ku di sana. Dan besok mungkin aku akan berangkat."
"Secepat
itu?" tanyaku kaget.
Rama
mengangguk pelan.
Aku
tertawa miris. Sepertinya memang hanya aku yang berat melepaskannya. Rama malah
terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada gurat sedih di wajahnya. Apa memang
hanya aku yang selalu menderita?
"Oh,
oke. Kamu baik-baik di sana," ujarku untuk terakhir kalinya. Setelah itu,
aku lebih banyak diam. Tak menghiraukan ajakan Rama untuk keluar dan
jalan-jalan. Menurutku semua sama saja. Rama tetap akan meninggalkan. Tidak ada
bedanya besok ataupun sekarang.
Aku
memang hanya bisa sendiri. Iya. Aku memang harus berdiri sendiri dan terbiasa.
Seperti kata pepatah, 'jangan bersandar pada manusia, karena saat ia bergerak,
kita bisa jatuh.'
Mungkin
merelakan memang tidak akan pernah mudah, tapi bukan berarti aku tak bisa. Rama
ke Paris untuk masa depannya. Untuk menapaki tangga kehidupan yang lebih
tinggi. Seharusnya aku mendukung dan bangga pada dirinya. Itu seharusnya bila
andai saja aku tak jatuh hati.
Probolinggo,
13 Februari 2019
Keren mbak artikelnya sukses slalu y👍👌😊
ReplyDeleteUnch-unch hhe keren mbak😊
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir, Sob
ReplyDeleteArtikel bagus, penulis yang enerjik
ReplyDelete