“Aku mungkin
bisa hidup meski tanpa dia.” Dara terdiam setelahnya. Dia mengetuk ujung
dagunya dan berpikir sejenak. “Iya. Aku bisa hidup tanpa dia, tapi tidak tanpa
kamu,” cengirnya setelah itu.
“Kenapa kamu bisa seyakin itu?”
“Hm, mungkin karena dari semua lelaki yang ada, hanya kamu yang
rela aku recokin setiap malam, gendongin aku keliling taman kompleks, dan hanya
kamu juga yang selalu ngasih aku makan saat aku lupa,” jawab Dara enteng.
Sementara Angan, lelaki yang kini berada di depannya hanya
tersenyum tipis. Merasa ajaib juga dengan jawaban Dara yang jauh dari
harapannya. Ia kira, Dara akan berkata ‘karena aku mencintaimu’, tapi itu semua
memang hanya mimpi bagi Angan.
Dara adalah wanita yang Angan sayangi. Mungkin perasaan yang ia
rasakan tidak sepenuhnya bertepuk sebelah tangan. Angan jelas tahu bahwa Dara
juga menyayanginya. Meski dalam rasa yang berbeda, hanya sebagai kakak dan
pelindung.
“Jadi, dalam artian, kamu nggak akan bisa hidup tanpa aku?”
pancing Angan dengan nada menggoda. Namun, anggukan yang ia terima langsung
menghentikan cengiran Angan. Ia mengubah mimik wajahnya menjadi serius dan
berucap lirih, “aku harap kamu memang nggak akan bisa hidup tanpa aku.”
Dara mendekat. Memposisikan dirinya di depan Angan dan langsung
menepuk bahu lelaki itu seakan menyalurkan sebuah energi yang dapat menguatkan
Angan. “Aku harap kamu selalu bahagia,” ujar Dara tulus.
Angan tersenyum tipis. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab
kalimat yang diberikan oleh Dara. Kalimat doa yang sebenarnya cukup mustahil
untuk Angan semogakan. Karena ia sangat paham, bahwa kebahagiaannya bukan
dengan cara seperti ini. Kebahagiaannya bukan dengan cara melepaskan Dara untuk
menuju kebahagiaanya esok, jelas bukan. Angan tidak akan pernah mampu setegar
itu. ia seperti manusia kebanyakan yang memiliki sifat egois. Dan sekali saja,
Angan ingin egois dengan memiliki Dara untuk dirinya sendiri.
“Besok kamu harus datang ke acara pernikahanku, ya!” pinta Dara
yang berhasil membuyarkan semua hayalan yang berada di atas kata ‘seandainya’.
“Nyatanya, meski kamu nggak bisa hidup tanpa aku, takdirmu
memilih dia menjadi teman hidupmu,” batin Angan sendu. Ada perih setiap Angan
tahu, bahwa semua yang ingin ia miliki hanya sekadar angan dalam hayalannya. Ia
tidak akan mampu meminta semesta menjadikan Dara sebagai teman hidupnya.
Maka, biarlah Angan menitipkan saja segala kenangan, cinta, dan
rindu yang ia rasakan pada angin yang selalu datang setiap waktu. Pada
rerumputan yang selalu menjadi saksi bahwa ia sedang bersandiwara dan memainkan
sebuah lakon berkarakter kuat. Ia menipu semua orang bahwa ia kuat menghadapi
hari esok. Hari di mana sebuah ikrar suci akan melayang di ujung doa bersamaan
dengan retak segala harapannya. Ia kalah telak.
***
Hari ini Angan sengaja tidur sampai siang. Ia bahkan mengabaikan rengekan adiknya dan teriakan sang abang yang memintanya bersiap untuk menghadiri pernikahan Dara yang sedang digelar di gedung Joyolelono. Katakan saja ia pengecut, tapi itu lebih baik dari pada kedatangannya hanya akan menimbulkan kekacauan. Angan tidak yakin dirinya akan bertindak normal dan santai saat melihat Dara tersenyum bahagia bersama lelaki lain. Ia tidak sebaik itu. Bisa saja ia akan mengamuk dan menghancurkan acara pernikahan itu dengan kebrutalannya.
Hari ini Angan sengaja tidur sampai siang. Ia bahkan mengabaikan rengekan adiknya dan teriakan sang abang yang memintanya bersiap untuk menghadiri pernikahan Dara yang sedang digelar di gedung Joyolelono. Katakan saja ia pengecut, tapi itu lebih baik dari pada kedatangannya hanya akan menimbulkan kekacauan. Angan tidak yakin dirinya akan bertindak normal dan santai saat melihat Dara tersenyum bahagia bersama lelaki lain. Ia tidak sebaik itu. Bisa saja ia akan mengamuk dan menghancurkan acara pernikahan itu dengan kebrutalannya.
Angan sudah berniat untuk melanjutkan tidurnya bila saja
teleponnya tidak berbunyi nyaring dengan nama ‘Soni’ yang terpampang di
layarnya. Dengan malas, Angan segera mengambil ponsel dan menekan tombol hijau.
“Kamu ganggu ak—“
“Kamu di mana?” potong Soni dengan nada panik dari seberang sana.
Angan menjauhkan ponselnya sejenak. Kenapa abangnya nampak panik?
“Di rumah. Kenapa? Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Angan yang mulai khawatir. Ia menyesal juga tidak ikut serta dengan sang abang dan adik ke sana. Bisa saja mereka sedang di jalan dan---
“Kamu di mana?” potong Soni dengan nada panik dari seberang sana.
Angan menjauhkan ponselnya sejenak. Kenapa abangnya nampak panik?
“Di rumah. Kenapa? Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Angan yang mulai khawatir. Ia menyesal juga tidak ikut serta dengan sang abang dan adik ke sana. Bisa saja mereka sedang di jalan dan---
“Dara kecelakaan. Mobil pengantin wanita ditabrak truk hingga
sekarang seisi mobil di rawat di Rumah Sakit Dharma Husada dengan kondisi
kritis.”
Telinga Angan mendengung. Ia tidak bisa mendengar semuanya dengan jelas. Bukan. Bukan kerena ini memiliki riwayat gangguan pendengaran, hanya saja informasi yang ia terima sangat menyakitkan untuk ia dengar.
“Aku udah hubungin kamu dari tadi. Sekarang cepat kamu ke sini. Dara kritis.”
Telinga Angan mendengung. Ia tidak bisa mendengar semuanya dengan jelas. Bukan. Bukan kerena ini memiliki riwayat gangguan pendengaran, hanya saja informasi yang ia terima sangat menyakitkan untuk ia dengar.
“Aku udah hubungin kamu dari tadi. Sekarang cepat kamu ke sini. Dara kritis.”
Ponsel yang Angan pegang terjatuh. Ini bukan mimpi. Semuanya
jelas nyata. Maka dengan tangan yang sudah gemetar hebat, Angan segera
menyambar jaket dan kunci motornya. Berdoa dalam hati semoga Dara tidak
mengalami kondisi buruk. Semoga saja.
Nyatanya, Tuhan kadang tidak mengabulkan semua doa yang kita
panjatkan. Ada beberapa hal yang dijadikan ujian bagi manusia sebelum
doa-doanya terkabul. Angan merasakannya sat ini. Ia harus menerima kabar buruk
keadaan Dara saat sampai di rumah sakit tersebut.
Mama Dara, Irana yang menangis dalam pelukan suaminya. Seorang lelaki dengan bahu bergetar yang seharusnya menjadi suami Dara hari ini. Di depan ruangan yang mungkin tempat di mana Dara dirawat, ada Soni dengan tatapan kosong.
Mama Dara, Irana yang menangis dalam pelukan suaminya. Seorang lelaki dengan bahu bergetar yang seharusnya menjadi suami Dara hari ini. Di depan ruangan yang mungkin tempat di mana Dara dirawat, ada Soni dengan tatapan kosong.
“Dia kritis. Dan mungkin setelah ia sadar, ia akan mengalami
kebutaan. Retinanya rusak. Rumah sakit juga tidak memiliki pendonor yang yang
cocok untuknya,” jelas Soni dengan suara pelan. Meski tidak begitu akrab dengan
Dara, beberapa kali mereka masih saling betegur sapa apabila Angan membawa Dara
ke rumahnya.
“Buta?” beo Angan dengan pikiran kosong. Kepalanya terasa berat
dan siap meledak dengan informasi yang ia terima saat ini. Apakah tak cukup
Tuhan menguji dirinya dengan harus melepaskan Dara bersama lelaki lain? Apakah
Angan juga harus ikhlas menerima kenyataan hidup Dara yang jelas tidak akan
sama seperti semula? Tidak dapat melihat bagaimana warna-warni dunia. Tidak
dapat juga melihat bagaimana bunga yang selalu mereka petik di kebun belakang.
Dara juga tidak akan bisa melangkah seriang kemarin.
“Aku akan mendonorkan mataku untuk dia,” ujar Angan yang
langsung mendapatkan perhatian dari semua orang di dalam sana, tak terkecuali
abangnya sendiri.
“Jangan bodoh!” hardik Soni geram. Ini bukan masalah mendonorkan
dan semuanya selesai. Akibat yang ditimbulkan akan mempengaruhi kehidupan Angan
setelah ini. Dan sebagai Abang, Soni belum bisa melihat adiknya berkorban
terlalu jauh.
“Aku nggak bisa lihat Dara menderita, Bang. Aku mungkin bisa
hidup dengan kekurangan aku nantinya, aku kuat. Tapi Dara nggak, Bang. Dia
pasti akan frustasi dengan kodisinya. Lagi pula, Dara masih seperti anak
kecil.” Angan tertawa kosong sebelum melanjutkan ucapannya, “dia bahkan masih
sering nangis saat aku godaian dia. Coba kalian bayangkan! Bagaimana reaksi
Dara saat tahu dirinya buta? Aku jelas nggak bisa ngebayangin itu,” jelas Angan
dengan aliran air mata di pipinya. Angan menangis dalam ucapannya.
Semua orang kembali menangis. Mereka tidak dapat melontarkan
apa-apa untuk menjadi jawaban dari penjelasan Angan. Karena semua orang tahu
bahwa semuanya benar. Dara belum sekuat itu untuk menerima semuanya.
“Baiklah. Jika kamu mau mengorbankan semuanya.” Soni
mengucapkannya dengan nada pelan. Mungkin sebagian hatinya berharap Angan tidak
akan mendengar ucapannya. Namun saat melihat Angan yang tersenyum senang, Soni
yakin ia akan menyesali persetujuannya barusan.
“Terima kasih, Bang. Aku hanya ingin mengorbankan sesuatu untuk
orang yang aku cintai. Mungkin aku tidak akan bisa menemaninya seumur hidup,
tapi mata ini akan menjadi bagian dari hidupnya dan itu sudah lebih dari
cukup,” jelas Angan dengan nada pelan agar hanya Soni yang mendengarnyua.
Karena tidak ada yang tahu bagaimana perasaannya pada Dara selama ini selain
abangnya.
Cukup hari ini saja ia mengungkapkan perasaannya. Esok, ia harus
semakin kuat menutupnya agar tidak merusak kebahagian Dara. Cukup ia menjadi
salah satu bagian tubuh orang yang ia cinta, itu sudah cukup. Setidaknya ia
pernah berkorban demi orang yang ia cinta.
Selesai.
Probolinggo, 13 februari 2019
Mobil pengantinnya nggak papa, kan? Kasian,mobilnya.
ReplyDeleteMobil pengantinnya nggak papa, kan? Kasian,mobilnya.
ReplyDelete