Kabar Madura, 5 November 2019
Kejujuran dan Toleransi pada Sesama
Judul : Dimsum Terakhir
Penulis : Clara Ng
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : Cetakan Kelima, 2019
Halaman :
376 halaman
ISBN : 9789792279528
Peresensi : Agustin Handayani
“Selama ada harapan dan cinta, hidup akan berkeriap selama-lamanya.” Hal- 334
Dalam bahasa
Kanton, Dimsum adalah makanan kecil yang menjadi makanan khas orang Cina.
Sedangkan dalam novel ini, Dimsum Terakhir adalah sebuah kebiasaan bagi
keluarga Nung Antasana sebelum menyembut perayaan Imlek. Mereka akan makan
dimsum di pagi hari sebelum perayaan. Dalam novel ini, Clara Ng mengangkat
kisah keluarga Tionghoa dengan segala polemic budaya dan kehidapan sosial pada
zaman itu.
“Manusia adalah makhluk yang mempunyai daya tahan dan kekuatan luar biasa. Tapi kesepian adalah virus yang sungguh mematikan.” –Hal. 330
Nung
Antasana dan keempat anak kembar perempuannya adalah keturunan Tionghoa.
Setelah beberapa tahun anak-anak itu menginjak dewasa, masing-masing berpencar
ke penjuru arah untuk menata masa depan masing-masing. Siska yang menjalankan
perusahaannya di Singapura, Indah yang menjadi seorang wartawan sekaligus
penulis di Jakarta, Rosi dengan kebun mawar di puncak, dan Novera yang menjadi
guru TK. Keempat wanita itu harus kembali ke Jakarta karena mendapatkan sebuah
kabar buruk tentang kesehatan sang ayah yang terserang stroke, bahkan sudah
sekarat. Hanya tinggal waktu sampai maut menjemput.
Meski keempat
gadis tersebut kembar, rupanya kepribadian masing-masing sangat jauh berbeda.
Bagaikan empat mata angin yang saling membelakangi, tapi termasuk satu
kesatuan. Setiap tokoh memiliki kegundahan, keputusasaan, rahasia dan juga ego
yang tinggi.
“Dalam kegelapan, kita akan selalu percaya pada orang yang menyelamatkan kita. Jangan terlalu percaya pada apa yang kita lihat. Percayalah pada apa yang kamu rasakan.” –Hal. 157
Selain
mengulik setiap permasalahan dan kegundahan hidup setiap tokoh, dalam novel ini
juga sangat kental dengan kebudayaan Tionghoa dan segala perayaannya. Beberapa
istilah dan kebiasaan saat merayakan imlek, bagaimana pada tahun itu orang
Tionghoa merupakan kaum marginal yang dipandang sebelah mata, dan juga
diskriminasi terang-terangan yang dialami oleh si kembar. Sisi ketuhanan juga
diusung dalam novel ini yang dialami oleh Novera terkait kepercayaannya
terhadap Tuhan dan bagaimana mencintai Tuhan yang seakan terus melindunginya di
saat titik terendah.
Jika
diibartakan, novel ini seperti kue lapis yang setiap lapisnya memiliki sesuatu
yang menakjubkan dan penuh kejutan. Penulis seakan sudah mengatur kadar emosi
cerita agar pembaca ikut hanyut di dalamnya.
Probolinggo,
21 September 2019
Agustin
Handayani. Anggota FLP
Probolinggo dan aktivis literasi daerah.
No comments:
Post a Comment