Kabar Madura, 20 Mei 2019
Potret Metafora Kehidupan Wong Cilik
Judul
: Senyum Karyamin
Penulis
: Ahmad Tohari
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Terbitan
: Cetakan kesebelas, Januari 2019
Halaman
: 88 Halaman
ISBN
: 978-979-22-9736-2
Peresensi
: Agustin Handayani
Saat
dunia sastra populer hadir dan merebak, Ahmad Tohari datang dengan cerpennya
yang akan terasa asing, dan jauh dari dunai popular atau gemerlap kehidupan.
Ahmad Tohari seakan memberikan penampakan lewat karya yang ia buat bahwa ada
sebuah lapisna masyarakat bawah yang perlu diperhatikan dengan alur dna konflik
mereka sendiri. Wong cilik dengan
kepolosan, kebodohan, dan kehidupan mereka yang kumuh. Namun, meski seperti
itu, Ahmad Tohari seakan sukses dan menjadikan karyanya sebagai ciri khas dari
kumpulan cerpen yang disatukan dengan judul ‘Senyum Karyamin.
“Mereka,
para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri
mereka sendiri.” –Hal. 1
Cerpen
pertama yang dibuka dengan judul Senyum Karyamin yang juga menjadi perwakilan
judul buku ini. Sebuah penampakan kehiduapn seorang lelaki bernama Karyamin
yang menjadi tukang pengumpul batu. Keseharian, ia bersama teman-temamnya
mencari batu di kali dan menjualnya dengan harga rupiah yang rendah. Ada
hal-hal menarik dari cerita ini. Bagaimana kehidupan masyarakat bawah dan
kegiatannya, tentang bagaimana orang-orang itu mencari kebahagiaan sendiri
dengan saling menertawakan kesialan kawannya, bahkan bagaimana Karyamin
memahami burung-burung yang mencari makan untuk anak-anaknya di sarang. Meski
begitu, satu hal yang sangat menarik dari cerpen ini adalah sebuah
ketidakadilan. Saat Pak Pamong datang dan menagih uang iuran untuk
berpartisipasi dana Afrika. Benar-benar sebuah kehidupan nyata di sebuah desa.
Padahal bila kita simak kehidupan Karyamin sendiri, untuk hidup saja ia harus
bekerja keras dan menahan lapar. Bahkan ia harus mengumpulkan batu dari satu
kali ke kali lainnya dengan bayaran yang jauh dari kata pantas. Namun,
kehidupan desa memang tak selalu baik-baik saja. Mereka kurang perhatian pada orang-orang bawah lainnya.
Jasa-Jasa Buat
Sanwirya. Cerpen kedua ini berhasil menggelitik pikiran
kita nantinya. Ada hal yang benar-benar tak sampai di nalar dari cerita ini.
Bagaimana orang-orang yang berkumpul untuk saling menghitung jasa-jasa apa yang
bisa mereka lakukan untuk seseorang yang sedang sakit atau bisa dikatakan
sedang sekarat ini. Contohlah, Sampir, Waras, dan Ranti yang berkumpul di rumah
Sanwirya yang sedang meregang nyawa. Dari pada lekas bertindak untuk
menyelamatkan nyawa seorang Sanwirya, mereka malah saling menghitung jasa-jasa
yang akan dilakukan untuk kesembuahn Sanwirya. Sekali lagi, hanya ‘akan’ dan
belum melakukan tindakan. Cerpen ini seakan memberikan sindiriran keras bagi
kita semua, bahwa sesuatu yang diniatkan tanpa tindakan langsung hanya akan
menjadi angin yang sia-sia. Tidak dapat menghasilkan sesuatu sesuai perhitungan
mereka.
Dalam
buku ini bukan hanya menceritakan hubungan manusia dengan manusia, atau manusia
dengan alam baik flora ataupun fauna. Namun, juga ada hubungan yang sangat
kental antara manusia dan sang penciptanya. Terbukti dengan salah satu cerpen
yang berjudul Pengemis dan Shalawat
Badar. Dalam cerpen ini, diceritakan
seorang pengemis yang naik ke dalam sebuah bus yang disopiri dengan sangat ugal-ugalan.
Hal yang menarik di sini adalah keadaan yang sangat kontras antara keadaan bus
dengan pengemis tersebut. Tokoh ‘aku’ yang diceritakan dalam cerpen itu seakan
menjadi pengamat bagaimana pengemis itu yang tetap tenang dan terus mengalunkan
shalawat badar selama perjalanan yang ugal-ugalan tersebut. Seakan ikatannya
dengan Tuhan semakin erat lewat lantunan shalawat badarnya. Dan Tuhan seakan
selalu menjaga keselamatannya dari marabahaya. Terbukti dengan akhir cerita ini
yang membuat tokoh ‘aku’ terkejut.
“Kudengar
orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari
bangkai bus. Badannya tak tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang
berjalan kembali ke kota Cirebon.” – Hal. 66
Setidaknya
terkumpul 13 cerpen yang dapat dibukukan dalam judul Senyum Karyamin ini.
Cerpen-cerpen yang menjadi jejak bahwa awal kepengarangan Ahmad Tohari ini
adalah cerpen, yaitu Jasa-Jasa Sanwirya yang berhasil meraih hadiah Sayambara
Kincir Emas Radio Nederland Woreldomroep pada tahun 1975. Dan cerpen yang lainnya
yang berhasil dimuat di berbagai media massa.
Membaca
cerpen kalangan masyarakat bawah ini memang penuh dengan potert kehidupan
masyarakat yang sebenarnya memang penuh dengan ironi dan metafora. Maka benar
saat Sapardji Djoko Darmono memberikan sebuah pendapat di penutup buku ini
bahwa Ahmad Tohari memberikan kecermatan pengamatan tentang berbagai masalah
yang sering tidak kita sadari.
Probolinggo, 21 April 2019
Profil
Penulis
Agustin
Handayani. Seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi yang aktif diberbagai kegiatan
literasi. Menjadi anggota FLP Probolinggo hingga saat ini.
No comments:
Post a Comment