Semua yang ada di Bumi maupun langit adalah milik Allah SWT. Baik itu angin, makhluk hidup dan harta yang sedang kita miliki hari ini. Percayalah bahwa semua yang sedang kamu miliki sekarang adalah titipan yang bersifat sementara. Lantas, mengapa kau merasa kehilangan saat titipan tersebut diambil kembali?
Wacana di atas terus terbaca berulang kali. Merapalkannya ibarat sebuah mantera yang dapat merubah kehidupan. Ikhlas ikhlas dan ilkhlas. Bibirnya terus mengeja tiada henti. Setitik air mata itu bahkan ikut melaju turun sebagai jawaban mantera tersebut.
Ia membalik badannya. Menatap lampu yang semakin meredup lantaran lama dipakai. Warnanya tak putih, agak sedikit jingga. Pantulan cahaya yang mengenai wajahnya, membuat saraf-sarafnya kembali menegang. Mengingat dengan sangat jelas bahwa ia baru saja kehilangan.
Bodoh.
Umpatnya berkali-kali saat ia sadar dengan semua sikapnya. Ia kelewat bodoh dan gegabah untuk bertindak. Seharusnya ia menjaga apa-apa yang ada di sampingnya. Seharusnya ia tak akan kehilangan bila ia lebih bisa peka dengan semua di sekitarnya.
Ia hanya memiliki satu itu, tak ada yang lain. Bahkan dalam doanya, ia selalu meminta kepada Tuhan untuk tidak mengambil satu ini. Ia bisa hancur bila satu ini hilang dari hidupnya, ia yakin itu.
Akan tetapi, doanya seakan nyanyian malam yang mudah terhembus semilir angin. Ia kehilangan dan Tuhan tak membantunya. Ia tak bisa mempertahankan hal tersebut.
Cinta.
Ia pernah berdoa dalam sujudnya. Ia bisa hidup meski tanpa uang sepeserpun. Ia masih bisa bahagia meski hidup sebatang kara. Akan tetapi, penuhi hari-harinya dengan cinta. Ia ingin banyak dicintai oleh orang di sekitarnya, terutama seseorang yang beberapa waktu ia kenal.
Jelas ia meminta orang tersebut juga akan balas mencintainya. Karena ia sudah tahu bahwa ia jatuh cinta pada orang tersebut. Setiap sujud dan doa, ia meminta agar rasanya terbalas.
Terkabul.
Doa-doa di penghujung malam itu seakan mampu membelah langit hingga doanya bisa terkabul. Ia bahagia. Terlebih bisa merasakan cinta yang saling berbalas dengannya.
Di dunia ini, banyak hal yang tak bisa ditebak keberadaannya, salah satunya adalah waktu di detik berikutnya. Ia terlalu terbuai dalam keindahan yang ia miliki, hingga ia lupa bahwa semua yang ia peluk tak akan abadi menjadi miliknya. Ia harus mengembalikan semuanya kepada Tuhan yang memberikan keindahan tersebut.
Kebahagiaan sesaat itu seakan terenggut paksa. Ia dipaksa merelakan sesuatu yang sangat ia cintai. Ia lupa, semua yang ada di atas (langit) dan bawah (bumi) adalah milik Tuhan. Tuhan hanya menitipkan semuanya agar ia bisa merasakan kebahagiaan.
Apa yang bisa ia lakukan? Saat jari-jarinya tak dapat lagi bergerak untuk memeluk. Saat kakinya bahkan tak dapat melangkah untuk mengejar. Lidahnya pun kelu, hanya untuk berkata dan memohon agar orang tersebut tak pergi.
Ia kehilangan.
Saat itulah, mantera-mantera itu mulai ia rapalkan kembali. Ikhlas dan relakan. Ia kembali bersujud pada Tuhan. Meminta kelapangan dada agar apa yang telah hilang darinya bisa digantikan dengan sesuatu yang lebih indah lagi.
Dan Tuhan sangat mencintai makhluknya bila kita terus menunduk dan memohon. Itulah pegangannya. Ia semakin menunduk dalam doa. Memohon tiada henti untuk kelapangan hatinya dan kebahagiaan di waktu depan.
Ikhlaslah, maka kau dapatkan emas dalam sujudmu.
Dan tokoh 'ia', mulai merelakan semua yang bersifat titipan dari Tuhan. Menyadari bahwa suatu saat pun, ia juga akan kembali pada Tuhan. Dan saat itu pun, orang-orang di sekitarnya juga belajar ikhlas dan merelakannya pergi.
Ia ikhlas.
Probolinggo, 5 Mei 2018.
No comments:
Post a Comment