Hidup itu terus
dijalani dari hari senin hingga ahad, dari pukul satu hingga kembali lagi ke
satu. Selalu seperti itu. Berotasi mengelilingi hal yang sama. Mungkin bila mau
diandaikan seperti itulah kami. Rotasi sebuah hubungan yang kami jalani tanpa
lelah. Inginnya adalah menelusuri hidup seperti air yang mengalir pasrah. Bertubrukan
dengan bebatuan besar, jatuh dari ketinggian beratus meter, hingga kembali lagi
ke tempat semula. Bukankah air tak mungkin kembali tanpa melewati segala
rintangan? Tidak mungkin ia berbelok semaunya sendiri.
Sebenarnya aku
tak mau menulis. Otakku terasa buntu hanya untuk membuat alur tentang kami. Seperti saat aku membuat kuah sop tanpa garam
dan bumbu lainnya, hambar. Itulah yang aku takutkan. Membuat sebuah alur tanpa
makna dan tak dapat diterima oleh semua orang yang mungkin secara tidak sengaja
menengok cerita ini. Akan tetapi, bukankah aku adalah makhluk yang paling
egois? Aku tak peduli –meski sebenarnya agak sedikit takut. Aku hanya akan
menulis semau dari jari-jari yang tak pernah lelah memencet huruf-huruf di Komputer.
Seperti inilah alur yang akan saya bawakan
untuk mengawali sekaligus bila mungkin mengakhiri cerita kami.
Pagi itu
masih musim panas, bila tak salah ingat. Kira-kira sudah 8 tahun silam. Masuk ke
dalam sebuah ruangan di mana banyak makhluk baru dan lama yang sudah duduk rapi
di dalamnya. Aku memilih duduk di depan, pas berhadapan dengan papan tulis. Tak
ada yang special hari itu. Masih dengan tas, seragam dan sepatu yang sama. Seragam
putih biru yang melekat sangat pas di badanku. Meliarkan pandangan, mencoba
menatap satu per satu manusia yang dalam setahun nanti akan menjalani hari-hari
bersamaku, bersama kami. Hingga bergulirnya hari dari Senin ke Selasa, atau Selasa
ke Rabu, dst, aku mengenalnya. Lelaki yang sebelumnya tak aku lirik. Hanya sebatas
itu dan kami mulai berkenalan.
Hingga di
tahun berikutnya, bukankah kenyamanan adalah alasan terkuat untuk tetap
bersama? seperti itulah kami. Saat semua orang seakan mengalami seleksi alam,
mungkin kami adalah salah satu golongan yang lolos dari seleksi tersebut. Masih
bersama dengan sebuah predikat yang lebih dari seorang teman –sahabat. Terbersit
sebuah harapan semoga kenyamanan tersebut akan tetap kami rasakan hingga tua
nanti. Akan tetapi, harapan itu hanyalah sebuah harapan dari seorang bocah
polos yang belum mengerti pasang surut kehidupan. Bila leluhur berkata, belum
merasakan asam pahit hidup.
Ombak besar
datang. Tahun itu pertama kalinya kami berpisah. Pada saat seragam putih
abu-abu mulai melekat dan gedung-gedung yang menjadi tujuan kami mencari ilmu
berbeda. Ketidak cocokan mulai terasa kental, perselisihan, bahkan
kesalahpahaman mulai kami rasakan. Mungkin, saat itu aku berpikir itu adalah
titik balik dari rasa nyaman tersebut, jenuh. Di sinilah jarak mulai tercipta
dan waktu mulai berjalan dengan begitu cepat. Sebuah persahabatan seakan dijual
pada jarak.
Akan tetapi,
takdir siapa yang tahu, iya kan? Saat kamu telah membenci seseorang dan
berpikir orang tersebut adalah orang terakhir yang ingin kamu temui, siapa
sangka Tuhan membuat hidup kita kembali jungkir balik. Persahabatan yang mulai
kami bangun dari awal setalah reda dari perselisihan. Berharap di kemudian hari,
kami tak akan mengalami pasang surut kehidupan lagi. Apabila memang harus
berselisih, harus ada jalan keluar secepatnya. Bila rasa bosan menyapa, biarkan
angin dan waktu yang menghilangkannya.
Tak ada persahabatan murni antara lelaki dan perempuan.
Awalnya mungkin
kami tak akan percaya dengan filosofi yang entah siapa yang memprakarsai. Menurut
kami, itu hanya bualan dari para novelis dalam tulisan fiksinya. Akan tetapi,
kami merasakannya. Saat dimana sebuah getaran yang awalnya seirama, mulai tak
beraturan. Saat keringat dingin mulai menjalar di segala tubuh. Dan saat kami
mulai menjaga sikap masing-masing. Ada sensasi yang tak mungkin bisa kami
jabarkan satu-satu. Saat itu, mungkin kami masih remaja labil yang hanya
mengejar kesenangan tanpa berpikir sebuah kesulitan. Berpikir semua hanya
sebuah mainan yang bila bosan, bisa ditinggalkan semuanya tanpa berpikir apa
itu arti dari sebuah menjaga. Kami terlalu egois dan kekanakan.
Kisah apalagi
antara kami? Teman – persahabatan – hubungan labil – bahkan musuh, semua kami
lewati dengan berbagai emosi yang memuncak. Saling tuding kesalahan hingga rasa
lelah mulai menyapa. Ada jeda di setiap hubungan yang kami jalani. Hingga cerita
akan bermonolog tentang aku.
MONOLOG AKU, Setelah Semua Pergi.
Nanti, akan
kuceritakan sesuai sudut pandang dan bagaimana kembang kempis perasaan ini. Intinya,
alur singkat dan sengaja aku cepatkan untuk mengisahkan bagaimana kami yang
telah melalui pasang surut ombak. Aku tak ingin menceritakan semuanya secara gamblang.
Karena tulisan ini abadi, hingga nanti di masa masing-masing dari kami memiliki
kehidupan masing-masing.
Ada kisah di
dinding jatung
Berdebar kala
dirasakan
Sebuah kisah
klasik yang tak bertitik, namun selalu koma
Menjalani hari
ke hari denga suka dan duka
Ada warna di
setiap tangis dan canda
Hingga kamu
tahu bagaimana perjalanan sebuah rasa
Probolinggo, 02 Juni 2018
No comments:
Post a Comment