“Kamu tahu
tulisan seperti apa yang bermanfaat itu?” tanya Popo saat kami tengah duduk
sambil merapikan beberapa buku dalam rak.
Rak yang
baru kami beli kemarin sudah hampir penuh dengan buku-buku baru yang kami beli
di bazar atau toko-toko buku terdekat.
Aku menggeleng
sebagai jawaban dari Popo. Masih sibuk memilah beberapa buku yang belum
disampul. Niatnya nanti setelah semua beres, buku-buku yang tak bersampul harus
segera dirapikan.
Popo tampak
mengambil beberapa buku dari samping kananya. Buku dari penulis Asma Nadia yang
baru saja kami borong dari toko buku. Sebenarnya aku tak berniat membeli buku
tersebut, hanya saja Popo tetap bersikeras ingin membeli buku tersebut untuk ia
baca kala senggang.
“Seperti
ini.” Popo membuka plastic segelnya. Membuka beberapa halaman dan membaca
sesaat.
“Buku yang
bermanfaat adalah buku yang memiliki banyak pesan. Memiliki kandungan dakwah
dimana pembaca memperoleh pengetahuan dan ilmu yang bermanfaat,” lanjutnya.
Aku mengernyit
heran. Mengambil satu buku sebagai perbandingan.
“Dari buku
ini aku juga mendapat ilmu,” sanggahku dan menunjukkan buku yang aku pegang.
Popo tampak
tersenyum tipis.
“Apakah dari
buku itu kamu mendapatkan sebuah ilmu yang sesuai agamamu?”
Aku menggeleng
pelan. aku mengigat isi buku yang aku pegang. Memang sih tidak ada hal-hal yang berbau pengetahuan dan pesan. Hanya saja,
bukankah buku sebagai sarana refreshing dan
menghilangkan jenuh?
“Kamu tahu,
novel-novel ini sebenarnya juga bisa menghilangkan jenuh,” ujar Popo seakan
bisa membaca fikiranku. Ah, pikiranku
memang mudah tertebak oleh Popo selama ini.
“Bagaimana
bisa? Sedangkan yang kita tahu novel-novel ini terlalu serius dan membosankan. Tidak
ada humor atau hal-hal baper yang
bisa membuat kita senyum-senyum sendiri.”
Aku
memperbaiki duduk agar lebih dekat dengan rak yang lain. Menatap novel-novel yang
aku kelompokkan berdasarkan genre-nya. Komedi, teenlit, romance, fanfiction,
dll. Semua adalah novel yang sering aku baca. Novel-novel yang bisa membuat aku
tersenyum dan menghayalkan aku sebagai tokoh utama novel tersebut.
Popo
menghela napas. Aku menoleh padanya dan mengernyitkan alis bingung.
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (Al-Qalam [68]: 1)
Rasululllah Saw. bersabda, “Sesungguhnya yang pertama-tama diciptakan Allah adalah pena (qalam), lalu Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ ia menjawab, ‘Ya Rabbku apa yang hendak kutulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai hari kiamat.”
Aku membaca
kalimat tersebut. Entah dari mana Popo mendapatkannya, yang jelas itu
benar-benar membuatku tertegun sekaligus tertampar.
“Kamu suka
menulis, kan? Kamu ingin menjadi penulis hebat? Bagaimana kalo langkah
perjalanan menulismu diselipkan dakwah untuk semua saudara kita, hm?”
“Tapi, Po. Aku
takut itu membosankan pembaca dan bukuku nggak akan laris,” bantahku. Memikirkan
minat pembaca dan pasaran membuatku takut. Aku tidak ingin melihat buku yang
sudah aku sebut sebagai ‘anak’ hanya akan menganggur di rak-rak buku tanpa ada
sedikitpun yang menyentuhnya. Itu jelas adalah sebuah mimpi buruk bagi setiap
penulis.
“Kamu bisa
sisipkan komedi dan kisah-kisah ringan lainnya. Dakwah tidak selalu berat. Tergantung
bagaimana kita menyampaikannya. Sampaikanlah hal-hal yang kamu paham pada
saudara-saudara kita dengan bahasamu sendiri. Hal itu saja sudah termasuk
dakwah.” Popo menjelaskan dengan sangat telaten. Tak pernah kuraguan
pengetahuan Popo masalah agam dan lain-lain. Popo lahir dari keluarga
pesantren. Besar dan menempuh pendidikan di pondok dan belajar banyak segala
ilmu agama hingga ke akar-akarnya. Popo juga aktif di beberapa media massa
seperti koran yang isinya selalu tentang dakwah dan berita islami.
“Aku coba
saja, Po.” Hanya itu jawabanku sebagai pengakhir perbincangan sore ini. Setelahnya
kami menyibukkan diri dengan buku-buku yang harus segere dirapikan dan beberapa
akan kami sumbangkan ke sebuah panti asuhan agar bisa lebih bermanfaat.
Perbincangan
itu memang sudah selesai. Namun, pemikiran-pemikiran menulis sebagai sarana
dakwah sekaligus ibadah seakan mengusik pikiranku. Seperti sebuah tantangan
yang harus segera aku pecahkan. Menjadi sebuah hal baru yang terlihat
menggiurkan. Aku mulai memikirakn masalah apa yang akan aku angkat sebagai
langkah pertamaku berdakwah.
Kisah Aisyah?
Kisah Yusuf?
Ta’aruf yang benar?
Atau aku bisa menggabungkan ketiganya menjadi
sebuah kisah yang menarik.
Aku
tekadkan dalam hati, memulai sesuatu yang seharusnya sudah lama aku mulai. Kali
ini, pena-pena itu akan menuliskan bagaimana isi dari dakwah-dakwahku kepada
semua saudaraku. Kali ini, novel-novel yang akan aku ciptakan bukan lagi sebuah
novel yang sekali baca langsung ditutup, akan tetapi sebuah novel yang setelah
dibaca akan terus mengalirkan ilmu yang bermanfaat bagi semuanya.
Probolinggo,
17 Mei 2018
No comments:
Post a Comment