Agustin Handayani
Aku terduduk dengan kaki yang kutekuk. Memeluk erat badan yang
sedari tadi terisak pelan. Rusuk-rusuk yang seakan menyesakkan dada. Otakku terasa
pening lantaran terkuras. Aku menatap nanar pada benda-benda yang telah hancur
berserakan. Vas bunga, lembaran buku yang tercecer di lantai, pun dengan kursi
dan meja yang telah lupa asalnya. Semua menjadi lampiasan amarahku.
Aku mengutuk dan mengumpat bergantian. Merutuki kebodohanku selama
ini. Kenapa Tuhan sangat tega membiarkan aku hilang akal dan malah andalkan rasa.
Membekukan segala cerdasku dan cairkan segala cinta yang telah lama aku simpan.
“Tuhan! Aku mencintainya!!!” teriakan yang entah sudah berapa kali
aku lontarkan. Mencoba meluapkan segala pernyataan-pernyataan yang bersarang
dan mendesak keluar.
Lelaki bermata sipit dengan kaca mata yang membingkainya. Wajahnya
terpahat sempurna dengan lesung pipinya. Manis saat ia tersenyum. Coba saja dia
melirikku sedetik saja, maka kakiku seakan lumer seperti cokelat-cokelat yang
kepanasan. Seperti cacing-cacing yang berada di bawah terik. Ah, memalukan
sebenarnya. Namun, itu adalah pengakuan terdalam yang sedang aku rasakan tiap
kali ia melirikku tak sengaja.
Tak akan ada tepukan bila hanya dilakukan sebelah tangan. Tak akan
ada langkah bila hanya sebelah kaki. Dan bukan cinta bila hanya dirasakan sepihak.
Itu yang aku rasakan. Lelaki bermata sipit itu, memiliki kekasih. Memiliki tambatan
hati yang telah melarang siapapun untuk masuk. Pun dengan aku yang telah
kesulitan masuk.
Aku memujanya sangat lama. Namun, takdir sekarang tak adil padaku.
Ia malah bersama dengan wanita yang baru sedetik menyapanya. Meninggalkan aku
yang menatap nanar segala senyum dan tawanya. Bahagia yang dia rasakan, malah
semakin menyesakkanku. Bukan, bukan aku sumber bahagianya. Melainkan wanita
lain dengan hati yang lain. Dia bahagia dengan aku yang berduka.
Hati ini teriris. Semakin perih dan sedih. Aku tahu apa itu cinta
dan tawa dengannya. Akan tetapi, dia pun yang ajarkan aku dukan dan lara. Impas!!!
“Aku berhenti!!! Aku berhenti mencintainya!” teriakku lagi. Berharap
ini adalah teriakan terakhirku. Sebelum mata terpejam erat dan tersambut
alam-alam mimpi dengan seluruh
godaannya. Aku terbuai. Di sana, aku bisa menciptakan sendiri mimpiku
bersamanya. Hanya ada aku, dia, keindahan, kebahagian, tanpa orang lain. Meski sebenarnya
semua adalah kesemuan. Setelah terbangun, aku sadar, aku bukan siapa-siapa.
Probolinggo,
15 mei 2018
No comments:
Post a Comment