
Karya. Agustin Handayani
Dia selalu di sini.
Duduk tepat di bawah rona merah dan jingga bertemu. Di atas hamparan lautan
yang luas. Ia duduk bersila dengan pandangan menatang langit. Bola matanya
sangat tajam, dengan bingkainya yang bulat. Ia selalu diam disaat-saat terakhir
senja. Menunggu dalam diam tanpa gerak sama sekali. Seakan menunggu masa
peralihan langit menjadi gelap. Dari samping, pemuda itu terlihat sangat
tampan. Pahatan wajahnya yang sempurna. Aku selalu berandai, andai aku bisa
menatap pemuda itu dari samping, merengkuh wajah itu ke dalam kedua tanganku.
Meski kadang pikiranku bertanya-tanya, siapa pemuda itu dan mengapa pemuda itu
di sana?
“Dia
selalu seperti itu sejak kekasihnya menghilang.”
Aku ingat. Salah satu
teman kostku pernah membicarakan lelaki itu saat tak sengaja kami bersama ke
tempat ini. Katanya, dulu dia adalah lelaki yang periang dan selalu tersenyum
kepada siapa pun yang menyapanya. Dia juga pemuda yang tampan di desa ini. Hanya saja, sejak dua
tahun yang lalu, dimulai saat kekasih yang sebulan lagi akan menjadi isterinya
pergi. Wanita itu pergi ke arah barat dengan lelaki pelayar dari pulau
seberang. Padahal menurut berita yang didengar, mereka sudah lama menjalain
kasih hingga akan mengakhiri hubungannya dalam sebuah iktan halal. Namun
manusia tak pernah merasa puas dan mudah tergoda dengan sesuatu yang lebih
sempurna. Waniat itu terpikat pada seorang pelayar yang lebih kaya dan
memutuskan pergi meninggalkan pemuda itu. Sejak itu, pemuda yang ditinggal
calon isterinya itu menjadi pendiam dan terpuruk. Menutup diri dan tak pernah bertegur
sapa dengan penduduk. Seakan pusat dirinya sudah hilang tersedot black hole.
Aku sudah sejak
beberapa bulan menatapnya. Sejak aku mulai hidup mandiri dan jauh dari kedua
orang tuaku. Setiap senja, aku selalu ke tempat ini. Menatap persatuan rona
jingga dan merah itu. mengabadikan semuanya dalam sebuah lensa yang aku bawa.
Sebenarnya bukan hanya itu maksudku. Aku tak hanya mengabadikan senja, namun
aku juga mengabadikan pemuda yang aku juluki “Pemuda senja”. Sesekali aku
mencuri pandang padanya yang tak pernah bereaksi. Dia datang saat waktu Ashar
dan pulang saat Magrib berkumandang.
Pernah sekali waktu aku
mencoba mendekatinya. Namun seperti yang pernah orang bilang. Bagaikan
berdekatan dengan batu, diam tak bergerak. Dia hanya bernapas tanpa bergerak.
Tak pernah tertangkap mencuri pandang ke arah mana pun seperti pemuda lainnya.
Sempat juga berpikir mungkin aku tak menarik untuknya. Namun semua itu segar
kutepis saat ia pun tak merespon wanita yang terang-terangan berada di
depannya. Wanita berbikini yang melenggak-lenggok itu bahkan tak pernah
berhasil mengalihkan tatapan menantang itu.
“Kamu menyukainya?” tanya
salah satu teman sekamarku saat kami tengah bersama.
Aku diam. Menghentikan segala aktivitasku
tentang laporan-laporan penelitian yang harus aku kumpulkan esok. Sedari tadi
otakku sudah berpusat pada berlembar-lembar laporan dan juga ratusan huruf yang
tertata dalam laptop kecilku. Kini saatnya aku mengistirahatkan pikiran
sejenak.
“Aku hanya penasaran,”
jawabku sekenanya.
Memang benar. Aku hanya
penasaran pada pemuda itu. ingin sekali kuberbincang dengannya dan tertawa bila
dimungkinkan. Hanya saja mungkin aku harus menanam keberanian dan percaya diri
yang lebih lagi. Karena selama ini, bahkan dia belum pernah menyadari bahwa aku
sering mantapnya dengan penuh minat.
“Jangan sampai rasa
penasaranmu menjadi rasa suka. Suatu saat dia pasti akan pergi menyusul
wanitanya,” saran teman sekamarku itu sama sekali tak aku gubris.
Aku masih menatap
kosong keluar jendelaku, menatap pada ilalang yang telah tumbuh tinggi di
halaman rumah. Tanah cokelat itu bahkan tak pernah aku lihat lagi. Sudah
tertutupi lebatnya ilalang. Mungkin nanti akan aku cabut ilalang tersebut
setelah aku bertemu dengan pemuda itu. jadi seharusnya aku memikirkan cara
mendekati pemuda itu sebelum berpikir kapan akan mencabut ilalang.
Dengan keberanian yang
sudah aku susun sejak beberapa hari, aku mulai melangkah dengan pasti mendekati
pemuda yang masih duduk di tempat yang sama. Di atas laut tepat di bawah
pertemuan jingga dan merah. Kini dia memakai kaos jingga yang sangat kontras
dengan langit. Tatapannya masih tajam ke arah barat, menantang lagit yang kini
menenggelamkan surya.
Aku hanya duduk di
sampingnya dengan diam. Tak berniat menimbulkan gerakan sedikit pun. Meski bibirku
gatal ingin bertanya lebih. Untuk hari ini, biar aku diam dulu. Mungki besok
akan ada perkembangan yang berarti.
Sudah beberapa kali
begini. Kira-kira sudah tiga bulan aku hanya menemaninya dalam diam. Dan dia
pergi saat suara panggilan sholat berkumandang, meninggalkan aku sendiri dalam
sebuah kesunyian. Aku bosan juga sebenarnya. Namun bertahan untuk memetik hasil
yang indah, mungkin.
Kali ini musim hujan.
Sudah beberapa kali aku gagal melihat senja dan berakhir dengan basah kuyup.
Namun aku dan pemuda itu tak jera. Masih menggu senja datang meski kecil
peluangnya.
“Pakai ini,” ujar
sebuah suara yang benar-benar membuatku kaget.
Kutolehkan ke arah
samping dan mendapati pemuda senja itu mengulurkan jaket denimnya. Matanya tetap tajam hingga aku mengambil jaket tersebut.
“Terima kasih,” ucapku
kaku. Masih cukup terkejud dengan tingkahnya yang tiba-tiba. Sempat terbersit
sedikit harapan ke depannya. Mungkin aku bisa menggenggam tangannya dan beralih
ke hatinya. Meski saat ini hanya jaket yang ia berikan, namun aku tahu ada
masanya semua akan berkembang.
Hingga aku sadar. Masa
juga bisa membuat waktu berhenti dan menghancurkan asa yang sudah tertumpuk
dalam angan. Pemuda senja itu masih berada di tempat yang sama saat aku datang.
Tak ada yang berubah. Kecuali seorang wanita dengan rambut sebahu yang tengah
memeluknya dengan erat. Seperti meluapkan segala kerinduan yang menumpuk.
Aku diam. Samar-samar
aku mendengar percakapan para nelayan yang melintas.
“Sayang
sekali. Kenapa pemuda baik seperti dia mau kembali kepada wanita yang
membuangnya.”
“Iya
namanya juga cinta, Bu. Kotoran saja berasa kue donat.”
Satu pemahaman
tertangkap olehku. Masa menghentikan gerakanku, semesta melarangku bersama
dengan lelaki itu. laut pun telah membawa wanita yang ditunggu oleh pemuda
senja itu. Aku paham. Banar kata orang jika kesalahan akan terasa benar jika
sudah disambung dengan cinta. Benar juga usahaku selama ini meski sebenarnya
orang mengatakan itu salah. Berharap pada hati yang menjadi milik orang wanita
lain.
Aku memutuskan berbalik
pergi. Sesak juga rasanya meninggalkan hal yang belum didapatkan. Sepintas
tatapan pemuda itu terasa menghujamku. Namun aku tahu, tatapan itu hanya tatapan
tanpa arti. Tetap saja aku harus melangkah pergi.
Selesai.
No comments:
Post a Comment