(Gambar dari net.)
Semua
masih segar dalam ingatanku. Tak terkecuali. Seakan memutar kaset usang yang
selalu kuputar berulang kali tanpa kata henti dan juga bosan. Kali ini kuputar
kembali bukan dengan air mata seperti yang lalu, namun sebuah senyum terbit
sebagai tanda pelepas rindu.
Tanah
ini bahkan sudah dipenuhi ilalang liar yang tanpa izin menyelimuti gundukan
tanah sejak lima tahun silam. Sejak terbaring sebuah jasad yang pernah kusayang
dan hingga kali ini selalu kukenang.
“Manusia
akan kembali ke pencipta-Nya. Kita di sini hanya untuk berpulang,” ucapmu kala
itu masih terngiang dengan sangat jelas dalam pikiranku.
Aku
ingat, saat itu aku hanya tersenyum. Mengaggapnya hanya sebuah ucapan receh
pemuda yang baru saja belajar agama islam di sekolah.
“Lalu
apa tujuanmu?” tanyaku
“Aku
ingin ke Surga,” jawabmu dengan penuh semangat.
Bahkan
kornea matamu memancarkan sinar yang entah mengapa menurutku kala itu sangat
indah dan bercahaya. Aku mengangguk paham. Berpikir memang semua manusia
mencitakan surga sebagai tempat peristirahatnya yang terakhir. Tak ada yang
aneh menurutku kala itu.
Semua
tetap berjalan dengan semestinya. Berkenalan denganmu adalah hal yang belum aku
pikirkan dalam hidupku. Itu semua di luar keinginanku. Hanya saja, semesta
dengan ajaibnya memperkenalakan kita dalam sebuah ketidaksengajaan. Kita berpasangan
dalam sebah urusan yang tak memungkinkan kita untuk bersama.
“Aku
nggak mau kerja sama dengan kamu,” ucapku tegas dengan nada yang sanagt sebal. Bagaimana
tak sebal saat harus berpasangan dengan orang asing.
“Oke.
Biar aku saja yang mengerjakannya. Kamu terima jadi,” ucapmu dengan nada lembut
tanpa merasa tersinggung dengan penolakanku.
Keegoisan
kala itu tetap menyambutku, namun entah dari mana hilang dan tergantikan rasa
luluh atas segala kesabaranmu. Hingga sebuah kebiasaan baru muncul, aku mulai
mengadalkanmu. Pada setiap kesempatan, kamu harus selalu ada di depanku.
“Bagaimana
jika aku tak ada, pada siapa lagi kamu akan bersandar?”
Aku
diam. Menimang jawaban yang harus aku berikan.
“Aku
akan ikut tiada,” ujarku singkat. Tak berpikir apa arti jawabanku. Yang aku
tahu hanya aku akan selalu ikut kemanapun kamu pergi.
“Bersandarlah
pada Tuhan. Aku nggak bisa selalu ada, dan kamu nggak bisa selalu mengikutiku.”
Diamnya
aku kala mendengar jawabanmu mungkin sebagai tanda bahwa aku kalah berdebat
denganmu. Namun lebih dari itu, satu pemahamanku muncul, aku harus mengenal
tuhanku dan bersandar padanya. Aku juga selalu berdoa semoga Tuhan selalu
menjadikan kamu sandaran setelah penciptaku.
Namun
itu sangat singkat sejak aku berdoa. Tuhan menjawab doaku. Seharusnya aku
senang bila jawaban itu adalah sebuah jawaban yang menggembirakan, namun jawaban
itu adalah jawaban yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Tuhan seakan
berkata ‘Selamat Datang’ padamu. Tuhan ajak dirimu melangkah terlebih dahulu
pada cita-cita yang selalu kau ucapkan.
Bahkan
masih kuingat pada setiap rembesan darah di kemeja putih itu. Seharusnya kau
kesakitan karena aku yakin luka itu bukan luka gores silet seperti biasanya. Itu adalah luka
yang cukup panjang hingga sanggup membuatmu memuntahkan darah itu berkali-kali.
Namun, kau tersenyum. Mengusap pipiku dengan sangat lembut meski berlumuran
darah. Membisikkan kata-kata cinta yang seharusnya aku ucapkan padamu. Namun aku
tahu, lidahku sudah teramat kelu untuk berkata.
“Aku
tunggu kamu di Surga.”
Itu
kalimat terakhirmu yang aku barengi dengan isakan kencang. Sebuah pelukan pun
tak dapat aku berikan sebagai hadiah terakhir untuk segala cinta yang kau
berikan. Bahkan aku tak dapat membalas ajakan indahmu saat itu. Hanya menangis
dan memangis yang dapat mata ini lakukan.
“Jangan
pergi, sayang. Aku tak bisa menggapaimu bila kamu di surga.”
Itu
hanya kata-kataku lima tahun silam. Kini aku tahu, aku bisa menggapaimu. Aku bisa
menyentuhmu dalam doa-doa yang selalu aku panjatkan saat bersujud pada Tuhan. Meminta
dengan sepenuh hati agar dapat bersamamu dalam satu tempat yang indah. Membangun
rumah dalam surga, itu mimpiku.
Aku
tabur lagi bunga terakhir yang kugenggam. Mengusap nisan itu terakhir kalinya sebelum aku
harus pergi dan melanjutkan perjalananku. Langit mungkin tak terbatas,
terlampau luas dan tinggi. Begitupun dengan doaku padamu. Semoga di kehidupan
kedua, kita dapat lebih lama bersama dan bertemu dengan Maha Kekal. Kisahmu selalu
aku hidupkan dalam peradapan dan terselimut cinta kasih yang halal.
Seelsai.
No comments:
Post a Comment