Kabar Madura
Personifikasi Kisah yang
Menyentuh Lainnya.
Judul
: Sepasang
Sepatu Tua
Penulis
: Sapardji Djoko
Darmono
Penerbit
: Gramedia Pustaka
Utama
Terbitan
: Cetakan Pertama,
Maret 2019
ISBN
:
978-602-06-2672-7
Peresensi
: Agustin Handayani
Tidak
ada yang mengecewakan dari hasil tangan seorang Sapardji Djoko Darmono atau
sering disapa Eyang Sapardji. Sastrawan yang terkenal dengan Hujan Bulan Juni
ini selalu bisa menampilkan hal beda dan menyentuh tepat ke hati pembaca. Tidak
seperti karyanya yang lain yang lebih banyak berupa puisi atau novel, kini
Eyang Sapardji hadir dengan kumpulan cerpen yang terkumpul dalam judul Sepasang
Sepatu Tua. 19 cerpen yang dikemas dengan sangat apik dan menarik.
“Mereka itu ternyata telah jatuh cinta padamu. Mereka senang kau membelinya, sebab sudah belasan tahun berada di toko itu tanpa ada yang menawarnya.” –Hal. 5
Kisah
pertama yang dibuka dengan sebuah judul cerpen Sepasang Sepatu Tua yang juga
menjadi judul dari buku ini. Majas personifikasi yang ditampilkan tentang
sepasang sepatu tua yang milik tokoh aku. Sepatu yang awalnya jebol, hingga
tokoh aku memutuskan membeli sepasang sepatu baru di China Town. Tidak seperti
sepatu buntutnya yang bisu, sepasang sepatu tua yang baru ia miliki ini sangat
ramai dan selalu berbicara dengan bahasa yang belum dimengerti oleh si empunya.
Di mana pun berada, sepasang sepatu ini seakan terlihat sangat tertarik dengan
keadaan baru yang ditemuinya setelah keluar dari toko yang menjadi rumah
lamanya.
Dalam
cerpen ini, mungkin akan banyak penafsiran yang didapatkan oleh pembaca. Tidak
ada yang salah, karena tafisran yang beragam tersebut mengandung kebenaran dari
buah pikir pembaca. Bila dilihat dari sudut pandang tokoh ‘Aku’, sifat yang
dimilikinya dalam menghargai barang-barang milik pribadi dan bagaimana ia yang
seakan menganggap bahwa sepasang sepatu itu adalah teman yang paling sejati. Ia
tidak pernah merasa sendiri atau sepi karena selalu mencengarkan ocehan-ocehan
dari sepasang sepatu tersebut. Dan bila kita lihat dari bagaimana sepasang
sepatu yang tetap bersama meski berbeda dari kulit sapi, kita diingatkan
tentang hakikatnya sepasang manusia.
Manusia
selalu ditakdirkan bersama meski berasal dari perbedaan. Laki-laki dan wanita.
Dari Jawa atau Sunda, tetap saja dari mana asal mereka, tetap tidak bisa
membuat mereka berpisah. Manusia harus menerima takdir yang membuat mereka
bersana atas dasar perbedaan. Karena yang sama, belum tentu bersama.
Melompat
ke sebuah cerita yang berjudul, “Seorang Rekan di Kampus Menyarankan Agar Aku
mengusut Apa Sebab Orang Memilih Menjadi Gila.” dalam cerpen ini memang sedikit
berbeda dari cerpen lainnya yang mengusung majas personifikasi. Cerpen ini
lebih membahas tentang hubungan atau interaksi manusia dengan sesama. Hidup
adalah pilihan, seperti itulah yang sering kita dengar. Begitupun dengan orang
gila di sekitar. Dalam cerpen ini, mereka percaya bahwa orang gila pasti
memiliki alasan kenapa mereka akhirnya memutuskan menjadi gila. Maka dari itu,
seorang mahasiswa yang melihat orang gila di tepi jalan, memutuskan mengajak
orang gila itu berinteraksi dan bertanya perihal alasan menjadi gila. sebuah
interaksi yang aneh sebenarnya. Bagaimanapun kita tahu, bahwa orang gila tidak
pernah merasa dirinya gila, dan orang waras yang berbicara dengan orang gila
makan akan terlihat gila oleh orang lain. Bukankah ini adalah hal yang aneh?
Meski begitu, saya menangkap sebuah inti dari cerita ini di bagian akhir yang
sengaja di tuliskan sebagai jawaban dari interaksi tersebut.
“Orang-orang lalu lalang, kendaraan lalu lalang, hari berjalan tertatih-tatih sampai saat mendengar suara azan.” –Hal.20
Menurut
Eyang Sapardji dalam sebuah acara bedah bukunya, ke-19 cerpen ini tidak
memiliki benang merah karena ditulis dalam waktu yang berbeda dan bahkan
beberapa sudah dimuat oleh media massa. Meski begitu, kepiawaian dan bagaimana
amanat yang terkandung selalu sukses membuat pembaca puas dan terkesan secara
bersamaan.
Probolinggo, 10 Mei 2019
Agustin
Handayani. Anggota FLP Probolinggo dan KomunLis Probolinggo.
No comments:
Post a Comment