Kabar Madura, 27 Agustus 2019
Belajar Memandang dari Kacamata Orang Lain
Judul
: Cinta & Senja
Penulis
: Pelangi Tri Saki
Penerbit
: Pastel Books
Terbitan
: Cetakan pertama, Mei
2019
ISBN
: 9786026716484
Peresensi
: Agustin Handayani
Sebenarnya
tidak ada nilai mutlak dari suatu keberhasilan seseorang. Keberhasilan itu
relative menurut beberapa orang. Pasalnya satu hal yang disebut keberhasilan
bagi seseorang, belum tentu akan dinilai sama oleh orang lain. Setidaknya
seperti itulah yang akan dibahas dalam novel Cinta dan Senja. Meski mengusung
tema remaja, nyatanya kisah yang lebih pelik seakan mengikuti cerita seorang
perempuan bernama Cinta ini.
“Jangan jadiin keadaan orang benalu buat ngekang hidup lo sendiri, karena hidup bukan begitu. Hidup bebasin lo sendiri yang nentuin.” –Hal 142
Jika
bisa dikatakan, Cinta itu tidak bahagia. Bagaimana bisa ia bahagia jika selama
hidup dalam kesehariannya selalu menjadi bayang-bayang kakak perempuannya yang
sangat sempurna. Seorang kakak yang cantik, pintar dalam akademis, mantan ketua
OSIS dan banyak digandrungi oleh lelaki di luar sana. Sementara Cinta? Tidak
sampai seujung kuku dari kesempurnaan itu. Mereka seperti dua sisi yang
berlawanan.
Cinta
seakan memiliki trauma yang membuatnya selalu memadang skeptis sekitaranya.
Pengalaman memang adalah guru paling bijak dalam kehidupan. Pengalaman Cinta
yang selalu dimanfaatkan oleh sekitar untuk mendekati kakaknya, membuatnya
meresa selalu dimanfaatkan. Tidak pernah dipandang sebagai seorang Cinta yang
sesungguhnya.
“Sementara dalam kehidupan, sebenarnya kita dituntut buat bisa melihat dari kacamata orang lain juga.” –Hal. 101
Memiliki
seorang tetangga yang bernama Senja atau dipanggil Jaja, padahal lebih enak
dipanggil Irgi adalah awal mula trauma yang Cinta miliki. Mungkin tak masalah
jika lelaki lain mendekatinya untuk bisa berkenalan dengan sang kakak, tapi
jangan Irgi. Karena lelaki yang berhasil mencuri hatinya itu selalu berpengaruh
pada hidupnya dan membuat dirinya jatuh-sejatuhnya.
Hal
yang menarik dari novel ini mungkin dari segi Cinta yang memadang semua hal
dari kaca matanya sendiri. Kebiasaan lingkungan yang selalu membuatnya
berprasangka buruk nyatanya membuat percaya dirinya jatuh. Cinta menjadi
perempuan yang emosian, karena baik keluarga dan lelaki yang ia cintai lebih menyukai
kakaknya kebanding dirinya.
Pencarian
sebuah masa depan dan passion turut
menjadi hal yang menarik dari novel ini. Bagaimana saat remaja yang berumur 16
tahun dituntut untuk mulai berpikir dewasa dan mengambil belajar kesabaran.
“Karena memaafkan bukan tentang kepuasan diri, tapi tentang kedamain hati.” –Hal. 249
Dari
semua masalah yang dihadapi, rasa kepercayaan diri yang hilang, dan kekecewaan
dari sekitar, semua hanya perlu satu tindakan yang harus dilakukan; memaafkan.
Sedangkan buah dari memaafkan itu sendiri adalah rasa ikhlas. Itu yang
diajarkan oleh Kakak iparnya tentang bagaimana seorang Cinta harus bertindak
saat di semua sisi meenyudutkannya dan memandangnya seakan orang yang paling
menyedihkan.
Dalam
novel inipun, pembelajaran tentang sikap bullying
baik verbal maupun fisik turut menjadi pelajaran bagi pembaca. Bagaimana
kita yang tidak harus selalu memandang semua hal dari sisi kita, tapi juga dari
kaca mata sekitar. Itulah kuncinya.
Probolinggo, 2 Juli 2019
Agustin
Handayani. Seorang aktivis literasi daerah. Anggota KomunLis dan FLP
Probolinggo.
No comments:
Post a Comment