Agustin
Handayani
Wanita
ini terus saja duduk dalam dia. Sejak tadi, tiga puluh menit yang lalu tidak
ada percakapan yang berarti antara dua manusia yang saling membisu. Memberi jeda
dan jarak bagi kesunyian untuk duduk di atara mereka. Bahkan muk-muk bening
hanya bisa diam tanpa gerakan. Kopi yang sejak tadi panas, mulai menghangat dan
dingin di detik ini.
“Jika
kamu kuliah, apakah kamu bisa menjamin kamu bisa kerja?” tanya wanita yang
lebih tua. Umurnya mungkin sudah setengah abad. Sangat kentara dengan keriput
yang nampak jelas di sekitar matanya. Meski begitu, bekas sisa senyum bibirnya
tak pernah hilang. Masih membekas sempurna yang selaras dengan cetakan mata
bulatnya.
“Aku
tidak tahu, Bu. Namun, aku sangat ingin kuliah. Ada jalur undangan dan bidik
misi yang bisa aku ambil nantinya. Masalah biaya tidak akan jadi masalah lagi,”
jawab Lela, seorang gadis yang sejak tadi mengutarakan impian dan cita-cita
pendidikannya. Ia sudah tak memiliki ayah, jadi semua yang memerlukan diskusi
dan pertimbangan selalu bersama dengan sang ibu. Ayahnya sudah sejak delapan
tahun lalu meninggal akibat kecelakaan motor saat berangkat kerja. Kehidupan mereka
setelahnya sangat berat. Kepala keluarga yang menjadi pondasi rumah, sekaan
runtuh seketika. Dari sinilah Lela diajarkan untuk bisa bersikap mandiri dan
memandang jauh ke depan.
“Ibaratkan
rumah. Kuliah ibaratkan perabotannya seperti meja, kasur, kursi, dan lain-lain.
Sedangkan pekerjaan adalah rumah itu sendiri. Dan masa depan adalah unsur
keduanya. Dari sini coba kamu piker. Apa yang kamu butuhkan terlebih dahulu? Rumah
atau perabotannya?” wanita itu diam terlebih dahulu. Ia menghirup udara
sedalam-dalamnya dan menghembuskan napas perlahan. Pemikirannya mungkin berbeda
dari orang tua kebanyakan. Namun, ia hanya ingin memberikan sedikit pencerahan
tentang apa namanya masa depan dan keberhasilan.
Di
luar sana, banyak para wisudawan yang berakhir dengan menjadi pengangguran
hingga banyak pula kertas lamaran yang terbuang sia-sia. Siapa yang salah? Apakah
perkuliahan atau lembaga pelatihan tenaga kerja yang salah? Sebenarnya ini
bukan salah siapa-siapa. Menurut wanita ini, kesalahan terbesar hanya berada
pada awal pemikiran yang kurang matang. Beberapa orang kurang memperhitungkan
langkah yang akan mereka tuju ke depannya. Beberapa pemuda bahkan hanya asal
kuliah dan menjalaninya dengan bermain sesuka hati. Apakah itu salah?
“Kamu
bisa jawab pertanyaan Ibu?” wanita ini kembali bertanya pada Lela yang
sepertinya sedang mencerna apa yang akan dipilihnya untuk menuntun langkahnya
kelak.
“Aku
ingin memiliki rumah dahulu baru perabotan,” jawab Lela mantap.
Wanita
itu tersenyum. Setiap manusia memiliki apa yang namanya pilihan dalam masa
depannya masing-masing. Sementara orang tua hanya bisa memberikan arahan dan
pengertian. Mau apa jalan yang diambil nantinya, orang tua hanya harus
merelakan dan memberi dukungan.
Probolinggo, 2 Maret 2019
No comments:
Post a Comment