Lelaki itu diam. Tatapannya kosong. Tak ada emosi di sana.
"Aku nggak suka kamu jadi penulis. Ka---"
"Menulis adalah duniaku," potongku cepat.
Perdebatan ini selalu terulang. Bukan hanya topik aku yang ingin menjadi penulis atau aku yang suka menulis. Kesibukanku yang lain juga didebat olehnya.
"Untuk apa kamu menulis?" Lelaki itu masih saja bertanya dengan nada mencemoohnya.
Aku terbakar. Hatiku terasa diremas kuat-kuat. Menulis adalah hidupku. Saat aku sepi, menulis adalah caraku meramaikan hati. Menenangkan kegalauan saat dia pergi entah kemana.
Sekarang dia meminta aku berhenti? Aku mendecih pelan. Apakah dia bisa mengganti waktu kemarin saat dia pergi? Apakah dia bisa setia seperti pena pada kertas-kertas putih. Dia hanya datang layaknya angin musiman. Sekali dalam setahun. Meninggalkan rindu dan janji yang kadang teringkari.
"Aku akan berhenti menulis saat jiwa dan ragaku terpisah. Hanya itulah waktu dimana aku akan berhenti menulis," jawabku mantap.
Mungkin terdengar sangat dramatis. Akan tetapi itulah kenyataannya. Aku akan berhenti bila waktuku juga ikut berhenti.
"Kamu milih jadi penulis ketimbang aku?" Dia bertanya lagi. Mungkin belum paham dengan kata-kata yang aku tegaskan tadi.
Aku mengangguk. Menatap kedua netranya. Mencoba menyalurkan segala ketegasan atas keputusanku kali ini.
"Ini bukan cinta seperti yang kamu ucapkan. Kamu tidak pernah ada di belakangku bahkan di sampingku pun tidak. Kamu terlalu menuntut aku jadi sempurna. Tapi maaf. Aku jauh dari kata itu."
Aku berhenti sejanak. Menghela napas pelan sebelum melanjutkan penjelasanku.
"Aku serasa hidup dan memiliki emosi saat menulis. Aku serasa dihargai dengan menjadi penulis. Emosi dan perasaan yang belum pernah aku rasain saat sama kamu," lanjutku.
Diam. Keadaan menjadi hening seketika. Dia menataku tajam. Tatapan yang dulu mampu mendebarkan hatiku. Entah kemana debaran itu sekarang. Tatapan itu sudah tak banyak berpengaruh lagi padaku.
"Aku pergi."
Dan dengan angin yang semakin dingin, aku melangkah pergi terlebih dahulu. Bukan karena aku jahat telah menyakitinya. Akan tetapi, takdir kami memang berbeda. Dia tak pernah mendukungku atau menguatkan segala yang aku lakukan. Menuntut kesempurnaan yang nyatanya sangat jauh dariku. Aku lelah dan akhirnya menyerah.
Hanya dengan menulis aku memiliki emosi
Dan menjadi penulis bisa membuatku sedikit berharga.
Itulah aku dan ambisiku.
Probolinggo, 16 Juni 2018
No comments:
Post a Comment