Beberapa waktu
terakhir ini, kesibukan saya berubah. Dari menulis novel/cerpen menjadi
peresensi sebuah buku karya teman-teman penulis. Jelas ini adalah suatu
kehormatan bagi saya karena bisa secara langsung menikmati karya teman-teman
seperjuangan. Dari beberapa teman dengan bermacam-macam penulis, mulai dari
Indie, Mayor atau self publishing
ini, saya belajar banyak sekali ilmu yang akan saya bagikan kepada seluruh
teman-teman yang membaca artikel kali ini.
Niat yang Menggebu-gebu akan mudah surut bila
salah takaran.
Kenapa bisa?
Jadi begini ceritanya. Saya pernah memiliki seorang teman yang masih
giat-giatnya menulis. Sangat giat malah menurut saya. Saat dia terlalu
berambisi menulis dan menerbitkan bukunya, dia ingin ambil jalur cepat. Dia memakai
jalur indie agar bisa cepat-cepat memiliki karya yang sudah dibukukan. Apakah itu
salah? Jelas tidak. Hanya saja niat dari awal yang salah. Dari niat yang salah
tersebut, mereka tidak bisa menakar mana yang untuk mental dan mana yang untuk
semangat. Mental? Yep. Penulis itu
tidak gampang, kawan!. Menulis itu berdarah-darah. Menghabaiskan waktu yang
seharusnya untuk istirahat, menulis dan menggali ide yang jelas mempekerjakan
otak, setelah selesai akan mendapat beberapa apresiasi dari para pembaca. Nah,
di sinilah tulisan kita akan dinilai kualitasnya. Dan yang kita harus siapkan
adalah mental yang kuat. Kita harus berlapang dada sata karya kita dikritik
dengan bahasa yang sopan atau bahkan cacian sekalipun. Jangan hanya karena
beberapa orang menilai tulisan kita abal-abalan dan tidak layak, kita menjadi
drop dan berhenti menulis. JELAS INI YANG SALAH.
Penulis yang
benar menurut sudut pandang saya saat ini adalah dia yang mau berkembang maju,
terus memperbaiki diri dan bermental baja. Tetap kokoh meski diterjang angin
topan. Sampai saat ini, sudahkah kawan-kawan paham dengan takaran semangat dan
mental? Bila sudah paham, mari kita lanjut.
Hargai tulisanmu, Karyamu!
Di sini
sebenarnya juga berhubungan dengan mental. Kenapa? Jadi gini, beberapa penulis
pemula merasa malu-malu kucing untuk mempublikasikan karyanya ke khalayak umum
dengan alasan malu atau merasa karyanya tidak pantas untuk dibaca. Oke. Dari sini
sebanarnya saya memiliki banyak argument yang ingin saya sampaikan. Bila
alasannya adalah tidak layak, bukankan
sebaiknya kawan-kawan terus berlatih dan berlatih agar tulisan yang tidak layak
tadi menjadi layak untuk dibaca oleh khalayak umum. Yang kedua, alasan malu? Sebentar.
Jadi gini, siapa lagi yang akan memuji dan menghargai karya kita bila bukan si empunya. Jika dari empunya saja sudah berkata jelek dan malu, terus kita bisa apa saat
pembaca juga tidak akan tertarik sama sekali dengan apa yang kita tulis.
Pernah
ada pengalaman begini, seorang penulis pemula, dia sudah menyiapkan mentalnya
dan dengan percaya diri menyodorkan naskahnya pada teman untuk diapresiasi. Dia
(penulis) bercerita dengan menggebu-gebu dan bersemangat tentang keunggulan
karyanya. Si teman sendiri (pembaca) bukan terfokus pada naskahnya, namun
dengan semangat yang penulis berikan. Ia seakan ingin mendapatkan bayaran dari
kerja kerasnya selama ini. Bayaran yang dimaksud adalah berupa apresiasi dari
teman-teman yang membaca karyanya. Dari sini, seharusnya ada ilmu yang kita
petik.
Terakhir tapi bukan yang akhir, tentang
Penerbit itu sendiri. Mayor or Indie?
Jadi gini,
sebenarnya apapun itu penerbitnya semuanya jelas sudah bagus. Penerbit Mayor
memang menjadi impian semua penulis karena akan ada kebanggaan tersendiri saat
karya kita yang sudah lulus kurasi bisa mejeng
di toko buku besar. Namun, untuk bisa lolos ke penerbit mayor pun tidak
semudah membalik tangan. Banyak kerja keras dan usaha yang harus dilakukan
penulis. Kita harus terus berkembang dan memperbaiki tulisan kita sendiri.
Nah, di
sinilah kegunaan dari penerbit indie. Mereka datang dengan uluran tangan kepada
para penulis yang ingin menerbitkan karyanya. Jelas tidak gratis, kan? Jangan terlalu
tergiur dengan harga murah. Kenapa? Karena sebenarnya jasa itu mahal. Mereka
yang bekerja di penerbitan mengeban banyak tanggung jawab, seperti pengurusan
ISBN, editing, layout, cover, bahkan kepuasan dari pelanggan. Jadi, berpikirlah
cerdas dalam memilih penerbit itu sendiri. Sekali lagi, kembali ke poin-poin
sebelumnya. Kita juga harus teliti memilih penerbit. Kenapa? Karena di zaman
dimana penulis pemula bermuculan, para penerbit indie pun juga mulai menjamur. Hal
ini juga rawan terjadi penipuan. Mulai dari ISBN palsu atau uang yang dibawa
kabur oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Cek terlebih dahulu penerbit
tersebut di Perpsunas. Bila karya kita sudah terbit, tetap cek ISBN nya valid
atau tidak.
Dari beberapa
poin yang saya jabarkan, pastinya banyak kekurangan. Jadi, saya berharap akan ada masukan dari teman-teman agar artikel ini bisa disempurnakan lagi. Hal-hal
yang belum saya jelaskan di sini, akan saya jelaskan di postingan lain kali. Terima
kasih, kawan!.
Probolinggo, 19 Mei 2018
No comments:
Post a Comment