Monolog Sepi dan Pergi

Yani, Just it


Karya. Yani

Malam terakhir bulan Mei. Itu yang sedang aku catat dalam sebuah kertas yang kuhias cinta. Apakah aku sedang jatuh cinta? Tidak. Nyatanya aku tak berteman baik dengan rasa-rasa merah jambu itu. Terlalu bermusuhan layaknya kucing dan anjing.

Hanya saja, malam tetaplah malam. Sebentar datang, sebentar pergi. Aku tak pernah mengecewakan malam. Karena dari malam aku mulai belajar. Hitam, tak selalu gelap. Ada Bulan dan Bintang yang menyinari.

"Meski malam tetap akan datang keesokan harinya, mengapa kamu pergi dan enggan kembali?" Bisikku lirih pada angin-angin yang menyapa.

Mereka seakan berkata 'hay' dan 'selamat tinggal' secara bersamaan. Apakah aku marah? Jelas. Hanya saja, aku bisa apa. Tak ada yang bisa aku hentikan. 

Sama halnya dengan dia. Aku mengenalnya pada bulan yang tak genap tiga puluh. Ah, Februari yang basah. Dalam percakapan, aku tahu bahwa dia juga mulai mengenalku. Tak pernah serumit dengan lainnya. Perkenalan itu bagai air yang mengalir. Hanya saja, kesan pertama amat penting bukan?

Kesan-kesan yang tak pernah aku lupakan. Di sini, dia menempati tempat tersendiri dalam hati. Ego-ego dan amarah merajai perasaan lembutku kala itu. Hingga sebuah kesabaran mulai membawa arti sebuah persahabatan. Apakah cukup sampai disitu? Tidak.

Manusia adalah makhluk yang sangat rakus. Setelah persahabatan, ada kalanya aku meminta lebih. Dia untuk aku, sekarang dan secepatnya. Egois dan pemaksa. Namun, aku tak peduli. Nyatanya, keegoisanku terimbangi oleh kesabarannya. 

Ah, aku tak ingin bercerita bagaimana kami bersama. Lebih dari itu, aku ingin menuliskan sedih perih yang tiada tara. Nyatanya, melepaskan memanglah tak pernah gampang. Terlalu sakit untuk dilakukan. Akan tetapi, bertahanpun tetaplah kesalahan. Mengiris hati secara perlahan. 

Dia hanya seseorang dengan kehidupan bebas. Pahit manis hidup tlah dirasakan lebih dulu. Pun dengan cinta. Bisa kukatakan, ia berpengalaman.

Cinta masih tetap buta hingga saat ini kan? Ah, sepertinya aku harua berganti retina mata. Perbedaan yang awalnya menjadi kata "Tak Bermasalah" kini berubah "Bermasalah". Terlalu banyak kata beda yang terucap lisan. Pun dengan orang-orang yang menghujat dan menolak. Aku menyerah.

Kini, di persimpangan aku mencoba mengambil langkah yang berbeda. Aku hanya menatap segala tingkahnya. Berharap suatu saat rasa ini semakin pupus dan aku bisa merasakan cinta yang tulus -Meski bukan dirinya. 

Kepergian adalah kawan dari kedatangan. Tak dapat terpisah sedikitpun. Maka, bila Februari yang basah aku mengenalnya, izinkan aku melepasnya di Mei yang panas ini. Pada angin-angin yang dengan keji menampar tiap malam. Memberi kedinginan tanpa pengobat penghangat. Angin-angin yang aku kutuk setiap malam keberadaannya. 

Februari selamat tinggal.
Mei bawa saja dia yang ingin pergi.
Maret dan April, terima kasih atas Rasa-rasa yang manis itu. Meski sesaat, aku sangat berterima Kasih.

Juni dan lainnya, aku tunggu kisahku esok dengan rasa yang baru -Dan aku harap cinta baru. 

Malam, izinkan aku terlelap
Sebelum lusa kisahku dan Juni dimulai.

Probolinggo, 30 Mei 2018


No comments:

Post a Comment

Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...