Monolog Rindu

Yani, Just it




Sebenarnya aku yakin, di luar sana kamu hanya diam dan tak beraksi apapun. Hanya menandaskan kopi yang entah sudah gelas keberapa. Mungkin juga, kamu tengah menghisap beberapa putung rokok yang kamu beli di warung Mpok Jum. Warung yang letaknya di pojok kompleks dekat rumahmu. Atau, kau sedang melakukan hal lain yang sebenarnya tidak aku ketahui. Percayalah, apapun itu, aku yakin kau pasti sedang bersantai.
Keadaan berbalik padaku. Aku masih duduk di kamar dengan sebuah laptop di pangkuanku. Mengetik beberapa kata yang indah, tapi selalu gagal. Sesekali, aku akan beralih pada benda kotak pipihku. Mengeja beberapa kata yang mucul di layar, membalasnya dan berpaling pada laptop lagi. Mencoba focus dan aku gagal lagi. Bibirku terkedut samar. Malam ini aku berdialog dengan kamu. Tak bertatap sebenarnya, hanya melalui jaringan yang mengudara hingga bisa saling terhubung. Bahkan aku tak akan bisa menatapmu dengan mata bulatku, dan juga tak bisa memeluk erat ragamu. Tapi, ternyata semua itu tak penting sekarang. Mendapat sebuah kabar darimu saja, aku sarasa mimpi jatuh ke jurang. Menebarkan dan membuatku sadar, aku mulai merasakan lagi ilusi itu.
“Aku mulai merindu, apakah salah?” tanyaku pada angin yang bergilir menyapaku.
Mereka datang silih berganti, tersenyum lantas pergi. Semua ingkar dan aku mulai menepi. Sewajarnya, semua mengalami apa itu perpisahan. Namun, aku bukan sewajarnya. Aku hanya manusia yang terlahir dari rahim kokoh seorang ibu. Di sana, aku dibelai agar semakin kuat menghadapi hidup. Datang dan pergi. Kenal dan pisah. Semuanya seperti partikel-partikel yang menyusun suatu massa. Atau semacam senyawa yang terkumpul hingga menjadi sebuah campuran.
“Kamu tahu, aku mulai merindu?” tanyaku lagi pada aksara-aksara yang kutata rapi. Pada mereka-mereka yang terangkai dalam sebuah arti. Aksara-aksara yang beralur cerita. Menjelaskan bagaimana asal muasal rinduku padamu.
Namun semuanya diam. Tak ada sedikit saja petunjuk atau aba-aba. Aku buntu dalam ilusi yang aku ciptakan. Mundur, terjatuh. Maju, tersesat. Maka, bisakah aku memintamu membalas ilusiku? Merasakan bagaimana rongga-rongga dalam dada yang mulai terisi namamu. Nama yang seyogyanya tak akan pernah aku miliki, lantaran kau yang enggan berbagi. Enggan merasakan ilusi yang sama. Bagaimana kita akhiri saja monolog ini?


Kamar Yani. 12 04 2018

2 comments:

  1. bacaannya sederhana, tetapi mengalir... perbaiki terus kak

    ReplyDelete

Resensi Novel Ikan Kecil

Radar Madura, 16 Maret 2020 Menerima Takdir dan Belajar Kesabaran dari Cobaan Judul               : Ikan Kecil Penulis...