Gambar. I Made Sunjaya
Bali dan Kenangan yang Kembali
Judul
: Purple Prose
Penulis
: Suarcani
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Terbitan
: Oktober 2018
Halaman
: 304 Halaman
ISBN
: 9786020614137
Tidak
ada sebuah masa lalu yang bisa terbebas dalam diri kita. Sejauh apapun kita
berlari untuk menjauh, masa-masa kelam dahulu sebenarnya tidak pernah pergi. Ia
tepat berada di balakang kita. Bisa jadi berupa bayang-bayang hitam yang selalu
menemani kita disetiap langkah. Itulah yang sepertinya ‘pas’ untuk mengungkapkan
bagaimana masa lalu dan keberadaaannya dengan diri kita sendiri.
Lantas,
apa yang harus kita lakukan untuk terbebas dengan masa lalu? Terus berlari dan
mengindar seperti pengecut yang penakut? Mungkin seperti itulah yang Galih
lakukan selama tujuh tahun ini. Karena masa lalu kelamnya, bahkan teramat kelam
hingga membuatnya terjebak dalam suatu dimensi bernama penyesalan, ia melarikan
diri ke Jakarta dan mencoba memulai babak baru dalam hidupnya. Kejadian yang
membuatnya diburu oleh mimpi serta rasa bersalah.
Bali dan
segala keindahan ternyata membuainya dalam sebuah pergaulan yang benar-benar
membuatnya berada di masa-masa kelam. Mahasiswa
yang seharusnya fokus belajar, malah membuat Galih berada di jalan yang salah. Narkoba
dan teman yang salah. Semuanya berakibat fatal. Dimulai dari Galih yang dihadapkan
pada sebuah musibah kematian Reza dan juga peristiwa yang menariknya dalam
kubang dosa. Tidak cukup ia menerima amukan warga serta keluarga Reza yang
tidak terima anaknya meninggal lantaran overdosis. Galih bahkan harus
mendapatkan musibah saat ayahanya terkena serang jantung dan meninggal dunia.
Seperti kata pepatah, ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’. Itulah masa-masa
sulit bagi Galih, hingga ia memustuskan lari sebagai pengecut.
“Jakarta
menyelamatkan masa depannya, tapi tidak bisa melindunginya dari masa lalu. Dan,
masa depan yang damai tercipta jika kita masih takut pada masa lalu.” –Hal 15
Sejauh
apapun, Galih harus kembali lagi ke Bali lantaran tugas kerjanya. Ia harus rela
dipindah tugaskan ke Bali sekaligus menghadapi masa lalunya. Bertemu dengan
teman-teman lama yang membuatnya masuk dalam masa kelam hingga pertemuan dengan
Roya. Wanita aneh dengan kebiasaan unik setiap sedang gugup atau dalam banyak
pikiran. Roya akan selalu menghidupkan dupa yang asapnya tebal untuk
menenangkan segala pikirannya. Wanita kikuk, pendiam, selalu ditindas, dengan
kata meminta maafnya tanpa tahu apa yang salah dari dirinya. ia hanya tahu
bahwa ia pembuat kesalahan dan ceroboh.
“Puple prose, kalau
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya prosa ungu.” - Halaman 162
Galih
dan Roya, tanpa mereka sadari mereka sedang berada dalam zona yang disebut
dengan prosa ungu. Sebuah kesia-siaan dari penyesalan yang belum mampu mereka
hadapi dengan tegas. Roya dengan segala rasa bersalahnya terhadap masalah yang
menimpa adiknya, Kanaya. Roya selalu menyalahkan diri atas trauma yang menghancurkan
Kanaya hingga detik ini. Dengan setting waktu yang sama, tujuh tahun lalu.
Dengan
waktu yang sama tersebut, Kanaya, Galih, Roya, dan kenangan itu seakan memiliki
benang merah yang menyambungkan perkeping kenangan dan membuat sebuah batas
antara mereka masing-masing. Kemarahan yang memuncak, penyesalan yang semakin
mendalam, dan juga kepasrahan untuk saling melepaskan. Bukankah dunia memang
sangat sempit dan sulit?
Novel
ini bukan hanya melulu tentang kisah cinta. Namun, banyak nilai social yang
dapat dipetik. Tentang hubungan manusia dalam suatu instansi yang harus bisa
saling menghargai. Bagaimana kita harus bertanggung jawab bila berbuat kesalah
tanpa harus lari dan malah menghindari masalah.
Kisah
yang bersetting di Bali juga membawa banyak kebudayaan Bali dan cara
beribadahnya. Meski tempat-tempat tidak
digambarkan dengan sangat meneliti, tapi sudah cukup membangun gambaran tentang
Bali dan segala situasinya. Apalagi dengan beberapa upacara keagamaan atau
perayaan desa, semuanya menjadi pengetahuan baru bagi orang-orang yang belum
menginjakkan kakinya ke sana.
Purple
Prose juga mengajarkan bagaimana hidup yang sebenarnya. Hidup tidak selalu baik
dengan akhir yang bahagia. Ada saatnya sebuah kisah akan melekat dalam ingatan
yang kita sebut masa lalu, ada kisah yang hanya sebagai tempat singgah
sementara seperti yang dijalani Galih dan Roya, serta ada kisah yang harus kita
tapaki berikutnya dengan pandangan yang lebih berani. Inilah yang disebut masa
depan.
Probolinggo, 12 Maret 2019
Peresensi
Agustin
Handayani. Anggota FLP Probolinggo. Seorang mahasiswa yang aktif menulis
cerpen, puisi, novel, dan resensi.
No comments:
Post a Comment