Bisakah dunia berjalan seperti negeri dongeng di mana kecupan menjadi pengobat segalanya.
"Aku
nggak mungkin bisa menemani kamu seumur hidup." Kepalanya menggeleng
pelan. Ia semakin menatap mantap wanita yang kini duduk di sebelahnya.
"Tapi, aku bisa menghabiskan umurku denganmu, apa itu sudah cukup?"
ujarnya lagi
Wanita
di depannya menoleh. Ada sembab di kedua matanya. Bahkan aliran air mata di
pipinya masih serupa jalan bagi para semut. Dia adalah Anggun.
Pada
sore yang mendung, Anggun dan Dimas sedang duduk di bawah sebuah pohon yang
rindang. Sebentar lagi akan hujan, mungkin langit sedang menabung air yang akan
ditumpahkan ke bumi. Mungkin lagi, dapur langit sedang sibuk dengan bawang
merah agar semua Dewa di sana menangis dan airnya jatuh ke bumi. Itu adalah
kemungkinan yang sedang dipikirkan Anggun.
Namun,
sebenarnya bukan ini yang menjadi pokok pikiran kali ini. Ini tentang Dimas
yang membawa segenggam bunga-bunga melati di tangannya. Ada sekotak cokelat dan
selembar surat berwarna merah jambu. Semuanya berbau sama, perpisahan.
"Apa
gunanya kita bersama, kalo kamu nggak bisa jadi milik aku seutuhnya," ujar
Anggun dengan isakan kecil yang masih tersisa.
Dimas
menggenggam kedua tangannya. Memberikan sebuah kekuatan agar Anggun bisa lebih
tegar dan percaya bahwa semuanya bisa mereka lalui.
"Aku
nggak mampu melawan takdir. Nyatanya, sekuat apapun aku berusaha, keajaiban
Tidak pernah datang."
"Tapi,
aku belum bisa merelakan kamu," ujar Anggun pilu. Ada nada berat yang
selaras dengan hatinya. Mana mungkin ia bisa melepaskan kepergian seseorang
yang sudah lama berada di hatinya. Itu sangat mustahil. Lagi pula, Anggun sudah
memiliki impian untuk bersama Dimas sampai mereka sama-sama menutup mata.
Terdengar
helaan napas kasar. Dimas meraup wajahnya yang mulai kusut. Ini sudah pukul
lima sore. Setengah jam lagi, ia harus pergi dan mau bagaimanapun, Anggun harus
merelakannya.
Memang
tidak ada yang mudah dalam sebuah keikhlasan. Namun, kita juga tidak bisa
membiarkan hati dimakan oleh segala perasaan yang menyakitkan. Berlapang dada
mungkin menjadi salah satu alasan kita untuk mulai bahagia.
"Aku
harus cepat pergi. Ini mungkin jadi pertemuan terakhir kita. Namun, jika besok
keajaiban datang, aku harap sisa umurku bisa terisi oleh kamu lagi," ujar
Dimas nanar.
Anggun
menggelengkan kepalanya pelan. Menolak kepergian Dimas. Namun, ada sebagian
kecil hatinya ingin agar kepergian Dimas bisa membawa lembaran baru untuk
mereka
"Kamu
harus sembuh dan janji kembali lagi ke aku!" perintah Anggun.
Dimas
tersenyum sebelum berkata, "bagi seseorang yang hanya memiliki 10% peluang
hidup, aku nggak bisa berjanji."
Dan
tangis Anggun semakin pecah. Ia memeluk badan yang semakin kurus itu. Wajah
Dimas semakin pucat karena terlalu lama di luar sedangkan tubuhnya harus selalu
dipantau dokter. Hidup Dimas sudah terlalu sering bergantung pada obat-obatan.
Apakah Tuhan tidak memberikan Dimas kesempatan untuk terbebas dari obat
tersebut?
Dalam
hati, Anggun selalu bertanya, bisakah kali ini keajaiban datang pada mereka
yang percaya? Bisakah sekali saja, ia hidup di negeri dongeng di mana sebuah
kecupan berhasil menyembuhkan segalanya. Andai bisa ...
Probolinggo,
14 Februari 2019
No comments:
Post a Comment