Belajar Koplak bersama si
Lambe Akrobat
Judul :
Lambe Akrobat ; Kisah Geng Koplo dan Keluarga Hansip
Penulis :
Agus Mulyadi
Terbitan :
Mei 2018
Penerbit :
Mojok
ISBN :
978-602-1318-69-0
Jumlah Halaman :
165 Halaman
Peresensi :
Agustin Handayani
Agus Mulyadi atau kerap disapa GusMul adalah seorang penulis
yang sangat piawai dalam membawa sebuah cerita sederhana yang sering terjadi
sehari-hari menjadi sebuah karya yang sangat bagus dan sukses membuat pembaca
puas. Dari karya pertama hingga karya yang kesekian, Agus rupanya tetap
menampilkan gayanya yang ceplas-ceplos,
njawani dan juga konyol.
Seperti dalam judulnya, Agus membagi buku ini menjadi dua
cerita. Cerita pertama, yaitu tentang, ‘keluarga Hansip,’ yang kiranya terdiri dari
17 kisah komplak dan yang kedua tentang kisah ia dan teman-temannya yang
berjudul, ‘Marcopolo dan Geng Koplo.”
Dalam bagian Keluarga Hansip, banyak sekali cerita yang Agus
jabarkan di dalamnya. Kisah yang sangat konyol dari banyak pengalaman yang
pernah penulis lakukan. Misalnya dalam salah satu judul cerita yaitu, “Nama
Anak, Nama Bapak.”
“Yo biar ada keertarikan keturunan, Gus. Nama bapak dan nama
anak itu baiknya ada keterikatan dan kesamaan. Pokoknya minimal ada unsur
pengikat. Makanya unsur Mul dari Mulgiyanto ini sengaja bapak wariskan. Jadinya
kamu tak kasih nama pakai Mulyadi, sedangkan kedua adimu itu tak kasih nama
pakai Mulyani.” Hal. 5
Dalam cerita ini, Agus memaparkan bagaimana keterikatan
nama-nama dalam keluarga pada umumnya. Bukan sebagai alasan nyentrik dan
kompak, Orang lampau memang suka mewariskan salah satu suku namanya kepada sang
anak. Hal ini juga menjadi sebuah tradisi yang biasanya dilakukan oleh keluarga
kerajaan dengan menyisipkan Marga
keluarga pada keturunannya.
“Ki lho, Gus, conto adimu kuwi, lulus SMK jadi lulusan
terbaik, ndak seperti kamu, ndak ada prestasi, nilai Matematika pun cuma empat,
sudah jelek, bodho sisan! Koyo ngono kok pengin punya isteri.” Hal. 32
Njawi
banget. Itu adalah hal yang saya tangkap dari
percakapan Agus dan Sang Bapak disebuah cerita yang berjudul, “Sang Anak
Pesakitan”. Kali ini Agus seakan menceritakan sebuah kesialan yang sangat
mengenaskan dari hidupnya. Dengan tetap mempertahankan cara berceritanya yang
asal tapi tapi tidak asalan, Agus mulyadi membawa kita pada sebuah kisah
seorang bapak yang sering membesar-besarkan prestasi salah satu anaknya kepada
anak yang lain. Penghargaan, seperti itulah yang dilakukan sang Bapak lakukan
dengan menindas anak-anak yang belum berprestasi. Hingga saat roda berputar dan
anak yang lain mulai menunjukkan sebuah prestasi juga, maka sang Bapak akan
berpindah haluan dan menyanjung anak tersebut. derita anak yang hanya bisa
‘raja’ bila ia berprestasi hingga bisa terbebas dari bulan-bulanan sang Bapak.
Berpindah pada bagian kedua dalam buku ini adalah tentang
Marcopolo dan Geng Koplo yang terdiri dari 16 cerita kocak dan ngenes menurut saya.
Berawal dari Agus yang akan mengunjungi desa Neneknya dengan
membawa Rudi agar ikut serta. Agus dengan gayanya yang sok mengenalkan Rudi pada alam desa sang Nenek agar bisa membuat
Rudi terkagum nantinya. Hampir semua keindahan alam yang Agus kenalkan tak
lantas bisa membuat Rudi terkagum. Agus mulai putus asa. Sepertinya Rudi memang
sangat susah untuk mengagumi kenampakan alam dan pegunungan di desa. Hingga saat
Agus sudah putus asa, Rudi malah berteriak histeris karena melihat sekumpulan
anakan lele di kubangan. Keantusiasan Rudi membuat Agus mulai percaya diri dan
menyombongkan desa tersebut dan berkata bahwa banyak anakan lele di desanya.
Dalam hati ia bersyukur bahwa masih ada sesuatu yang bisa membuat Rudi terkagum
dengan desanya, meski sebenarnya hati kecilnya merasa miris bersamaan.
“Namun di satu sisi, saya juga merasa sedih. Sedih karena
anakan lele yang dilihat Rudi di Kali Kanci tadi sebetulnya bukan anakan lele
melainkan kecebong. Ya, kecebong.” Hal. 76
Oh, ada lagi satu cerita yang akan saya angkat dari buku
ini. Kisah ini sebenarnya sudah sangat terkenal di masyarakat. Religi yang
dicampur dengan humor kocak yang berhasil membuat perut serasa diaduk.
Bagaimana tidak? Saat kita kecil dulu, pastinya film Tuyul yang dibintangi oleh
alm. Darto adalah sebuah film yang akan sangat disukai oleh anak-anak dan
bahkan berhasil mempengaruhi anak-anak. Salah satunya adalah sebuah anggapan
bahwa dhemit sangat takut dengat ayat
suci dan bacaan Al-Quran. Mungkin persepsi orang ulama atau dewasa, ayat atau
bacaan Al-Quran tersebut tak lain adalah sebuah ayat atau surah yang sering kita
baca saat ngaji atau selesai shalat. Tapi rupanya ada hal lain terjadi pada
Karyo.
“Alip ba t a, alip ba ta, alip ba ta” dengan harapan si dhemit bisa segera enyah dari
hadapannya. Hal. 82
Sebagai akhir dari ulasan yang saya sampaikan, mungkin
banyak sekali saran dan pesan yang sebenarnya ingin Agus sampaikan dalam
tulisannya. Utamanya mengenai sebuah kesialan, kegagalan dan semua jenis
musibah yang kadang membuat orang-orang drop dan meratapi nasibnya. Di sini,
Agus seakan mengajak kita semua untuk woles
dalam menghadapi segala jenis kegagalan. Bukankah kegagalan adalah tangga
menuju kesuksesan? Meski sebenarnya kita juga tidak akan tahu kesuksesan itu
akan kita raih setelah melalui berapa tangga kegagalan. Hanya saja, Agus seakan
berkata, “Nikamti, Syukuri, dan Tertawalah!”
Di akhir buku ini, rupanya Agus juga memberikan sedikit
belas kasihnya pada kita sebagai pembaca dengan adanya sebuah Glosarium. Semua
kata njawi yang tertera dalam cerita di dalamnya telah
diterjemahkan dengan sangat mudah oleh Agus sehingga kita tak perlu takut untuk
membaca buku kumpulan cerpen komedi ala Agus Mulayadi. Jangan lupakan juga
untuk memperhatikan batasan umur yang sudah tertera di bagian belakang cover
bahwa kumpulan cerita ini bersifat 17+, dimana masih memerlukan bimbingan bagi
anak-anak di bawah umur. Sekian terima kasih.
Probolinggo, 04 Juli 2018
Mantap
ReplyDelete